Teori Andragogi yang dibumingkan oleh Knowles pada hakikatnya sudah pernah difirmankan oleh Tuhan di dalam kitab suci umat Islam yakni al-Qur’an. Rosidi menulis disertasi dan saat ini sudah dibukukan, ia meneliti, mengkaji dan menganalisa ‘Konsep Andragogi Dalam al-Qur’an’ (صورة الدراسة الأندرجوجي فى القرءان الكريم), kajian itu menarik dan sepengetahuan saya, Rosidi adalah orang yang pertama mengkombinasikan teori Andragogi versi Malcolm Shepherd Knowles dengan konsep Andragogi dalam al-Qur’an.
Kajian konsep Andragogi dalam al-Qur’an merupakan sebuah keharusan, mengingat pendidikan Islam belum memiliki teori pendidikan orang dewasa, sedangkan pendidikan di dunia Barat sudah mengenal dan mempraktekkan, yang melahirkan teori Andragogi, hal itu menuntut Rosidi mengkaji guna memformulasikan konsep Andragogi dalam al-Qur’an dengan nuansa Islami, agar nantinya teori Andragogi yang diwacanakan Barat bisa selaras dengan nilai-nilai keislaman.
Bahasa Rosidi dalam beberapa diskusinya, kajian yang ia lakukan demikian untuk mengislamisasikan Andragogi. Terlepas perbedaan konsep dan tokoh antara penulis dengan Rosidi dalam memandang pengislamisasian sebuah karya, pemikiran dan sejenisnya. Saya berasumsi tokoh utama yang digunakan oleh Rosidi dalam mengembangkan islamisasi Andragogi yakni Syaikh Naquib al-Attas, sedangkan penulis lebih setuju dengan pernyataan Fazlur Rahman bahwa ilmu pengetahun itu tidak perlu diislamisasikan.
Knowles pernah berujar bahwa pendidikan orang dewasa kurang mendapat tanggapan yang serius dalam dunia pendidikan disebabkan karena para pendidik atau guru mengajari orang dewasa seolah-olah mereka masih anak-anak. Jika ditelusuri sejarahnya, dahulu orang-orang semisal Confucius dan Lao Tse di China, nabi-nabi dari bangsa Yahudi dan Jesus pada masa bibel, Aristoteles, Plato dan bahkan Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada sahabatnya dengan menggunakan teori Androgogi. Bukti dimana Nabi Muhammad mengajarkan dengan metode Andragogi bisa kita lihat pada tehnik metafora, diskusi, reward and punishment dan lain sebagainya.
Perbedaan mendasar antara cara pembelajaran orang dewasa (andragogi) dengan anak-anak (pedagogi) yakni konsep diri, pengalaman hidup, kesiapan belajar, orientasi belajar, kebutuhan pengetahuan dan motivasi. Di dalam Islam khususnya, para ulama masih selalu menyajikan pembelajaran kepada anak-anak, misalnya Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji, kitab ini sangat populer di kalangan pesantren, bahkan bisa dibilang kitab wajib bagi para santri, penulis sendiri sudah mengkajinya sebanyak 10 kali selama dipesantren.
Saya sangat bersyukur dengan hadirnya tokoh muda NU ini, ia mengkaji dan memformulasikan teori Andragogi dengan Konsep Andragogi versi Al-Qur’an, ia mencoba mencari ayat-ayat yang relevan dengan prinsip the need to know (kebutuhan pengetahuan), the learners’ self concept (konsep diri pembelajar), the role of experiences (peran pengalaman pembelajar), readiness to learn (kesiapan belajar), orientation to learning (orientasi belajar) dan motivation (motivasi). Rosidi mengkaji teori andragogi tersebut dengan pendekatan metode tafsir maudhu’i karya Abdul al-Hayy al-Farmawi.
Prinsip the need to know ini ia bagi menjadi dua yakni: 1. Jenis-jenis kebutuhan pengetahuan orang dewasa yang didukung oleh ayat al-Qur’an Qs. Maryam/19: 42, jika ditinjau dari segi objeknya maka akan terbagi menjadi 7 jenis yaitu kebutuhan pendidikan keimanan, moral, fisik, akal, jiwa, sosial dan seksual. Jika dari redaksinya akan meliputi seluruh kata tanda tanya 5W1H (ماذا, من, متى, لما, كيف ); 2. Upaya fasilitasi kebutuhan pengetahuan orang dewasa, ini di dukung dengan ayat al-Qur’an Qs. Al-A’raf/7: 59, 65, 73 dan 85.
Prinsip the learners’ self concept ini ia bagi menjadi tiga yakni: 1. Self esteem. Konsep ini menitikberatkan pada harga diri seseorang, penilaian seseorang terhadap kualitas pribadinya, ini didukung oleh ayat al-Qur’an Qs. Al-Isra’/17: 70; 2. Self-Directed Learning (SDL). Konsep ini didukung dengan adanya kisah-kisah para nabi seperti Nabi Adam (Qs. Al-Baqarah/2: 30-34), Nabi Ibrahim (Qs. Al-An’am/6: 74-79) dan Nabi Musa (Qs. Al-Naml/27: 7 dan al-Qasas/28: 29); 3. Pembinaan Self-Directed Learning, pada konsep ini di dalam al-Qur’an terdapat dua metode yaitu empirik dengan jenis kata أفلا يرون, أفلا ينظرون, أفلا تبصرون, أفلا يبصرون, أفلا تسمعون dan metode logik dengan jenis kata أفلا تعقلون, أفلا تتفكرون, أفلا يعلم, أفلا يتدبرون, لعلكم تعقلون, لعلكم تتفكرون. Pada konsep ini al-Qur’an memberikan bagaimana penghormatan antara peserta didik dan pendidik (self esteem).
Prinsip the role of experiences ia bagi menjadi tiga yakni: 1. Pengalaman sebagai sumber belajar. Pada tahap experiental learning ini mengambil pengalaman-pengalaman kisah-kisah para rasul, baik yang mempraktekkan metode demonstrasi seperti Nabi Adam, antara Nabi Adam dengan Malaikat. Kisah Nabi Nuh, Nabi Dawud, Nabi Ibrahim. Sedangkan metode field trip seperti Nabi Musa bersama Yusha’ bin Nun dan Nabi Khidir. Sedangkan pengalaman nyata dalam interaksi pendidikan seperti Nabi Musa ketika menempuh perjalanan dengan Nabi Khidir dan Nabi Yunus; kisah-kisah para tokoh di dalam al-Qur’an seperti Qabil dan Habil, Ashabul Kahfi, Zulaikha, Ratu Bilqis; 2. Pengalaman sebagai mental model. Pengalaman jenis ini dibagi menjadi dua yakni perumpaan al-Qur’an dan pengalaman sebagai mental model negatif; 3. Upaya pembinaan mental model. Sedangkan upaya pembinaan model positif ini bisa melalui tazkiyyah (pembersihan hati) seperti tercermin dalam Qs. Al-Baqarah/2: 151 dan dengan cara membina sikap inklusif dalam bentuk keterbukaan hati (Qs. al-Insyirah/94: 1.
Prinsip readiness to learn ini ia bagi menjadi dua yakni: 1. Kesiapan belajar dalam konteks life related. Kesiapan belajar ini bisa merujuk kepada ayat-ayat yang memuat term seperti يأيها الذين ءامنوا, يأيها الناس, يسألونك. Pada term يسألونك ini sangat kuat dijadikan patokan bahwa al-Qur’an membicarakan konsep kesiapan belajar, karena menurutnya term tersebut dinilai representatif. 2. Kesiapan belajar dalam konteks development task. Rosidi dalam mengemukakan argumen ini berpijak kepada teori yang dikemukakan oleh Erikson, dimana Erikson membagi tahap ini menjadi tiga yakni love (cinta), cure (kepedulian sosial) dan wisdom (hikmah).
Prinsip orientation to learning ini ia bagi menjadi dua yakni: 1. Orientasi belajar dalam pengertian problem centered. Pembahasan ini dibagi menjadi tiga: A). meliputi setiap ayat yang mempunyai asbab al-Nuzul (sebab musabbab ayat itu diturunkan). Ini sangat relevan, berhubung penulis saat ini sedang mengampu mata kuliah Tafsir Al-Qur’an, dimana penulis beberapa kali meneliti ayat-ayat yang mempunyai sebab musabbabnya, bahwa secara garis besar ayat yang memiliki asbab al-Nuzul disebabkan karena adanya permintaan dari sebuah masyarakat tatkala itu, baik itu ibadah, sosial, jihad dan lain sebagainya. B) Jika asbab al-Nuzul memaparkan secara implisit maka Qasas al-Qur’an memaparkan secara eksplisit seperti kisah Qabil dan Habil pada Qs. Al-Maidah/5: 30-31. C) ayat-ayat yang memuat term سأل beserta derivasinya seperti pada Qs. Al-Maidah/5: 101; 2. Orientasi belajar dalam pengertian kontekstual. Ini dibagi menjadi tiga: a) ayat-ayat yang memuat term أية dan ايات seperti pada Qs. Al-Qamar: 15. b) ayat-ayat yang relevan dengan prinsip kontektualitas seperti pada Qs. Ibrahim/14: 4. c) ayat-ayat yang relevan dengan metode pengkontektualisasian materi pelajaran dengan kondisi sosial yang nyata seperti pada Qs. Al-Baqarah/2: 258-260.
Prinsip motivation ini ia bagi menjadi dua yakni: 1. Motivasi Ekstrinsik. Motivasi ini seperti ayat-ayat yang berkonotasi perintah dan larangan seperti Qs. Al-‘Alaq/96: 1-5. Ayat-ayat yang berkonotasi targhib dan tarhib seperti Qs. Al-Abvuya: 90; 2. Motivasi intrinsik. Motivasi ini bisa dilihat dalam al-Qur’an melalui term أولوا الألباب, أولو الأبصار, أولى النهى, أولوا العلم و العلماء.
Demikian sekelumit isi dari buku Rosidi yang menurut saya wajib dimiliki oleh setiap pelajar yang sedang menempuh studi pendidikan Islam khususnya dan masyarakat yang ingin mengerti dan mengetahui hubungan atau penegasan bahwa al-Qur’an juga memiliki konsep andragogi seperti andragogi yang diwacanakan dunia Barat. Rosidi pada akhir disertasinya itu memberikan sekelumit hubungan similarisasi/paralelisasi, hubungan konfirmatif, hubungan kontemplasi, informatif dan hubungan korektif. Terlihat sangat jelas bagaimana Rosidi ingin memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan pada bidang pendidikan khususnya dan dunia Islam umumnya.
Silahkan baca lebih lanjut buku beliau dengan Konsep Andragogi Dalam Al-Qur’an – Sentuhan Islami pada Teori dan Praktik Pendidikan Orang Dewasa, dengan penerbit Litera Ulul Albab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H