Belakangan ini, masyarakat heboh dengan beberapa aplikasi buatan Pemerintah Daerah (Pemda) yang dianggap seksis. Contohnya, Sisemok (Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan) dari Pemkab Pemalang, Sipepek (Sistem Pelayanan Program Penanggulangan Kemiskinan dan Jaminan Kesehatan) dari Pemkab Cirebon, Simontok (Sistem Monitoring Stok dan Kebutuhan Pangan) dari Solo, dan Siska Ku Intip (Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Berbasis Kemitraan Usaha Ternak Inti Plasma) dari Pemprov Kalimantan Selatan.
Dan ternyata, tidak hanya aplikasi, program pemerintah juga tidak kalah kacau. Contohnya, Mas Dedi Memang Jantan (Program Masyarakat Berdedikasi Memerhatikan Angkatan Kerja Rentan) dari Pemerintah Kota Tegal.
Selain dari aplikasi dan program kebijakan yang seksis, para pejabat juga berlomba-lomba menunjukkan siapa yang paling seksis di tahun ini. Kita tentu ingat saat pandemi Covid-19, Ribka Tjiptaning, anggota Komisi IX dari PDIP, dalam rapat menyebut Korona sebagai singkatan dari Komunitas Rondo Mempesona. Pernyataan seksis lainnya juga datang dari Mahfud MD saat mencalonkan diri sebagai wakil presiden, yang menyebut banyak suami korupsi karena tuntutan istri.
Bagaimana bisa institusi dan politisi terhormat justru menjadi pendukung utama objektifikasi tubuh perempuan?
Saya jadi bertanya-tanya :
Apakah para pembuat kebijakan benar-benar tidak tahu istilah-istilah seksis? Sebagai orang terdidik yang melayani masyarakat, bukankah mereka seharusnya berpikir matang sebelum membuat keputusan?
Kekuatan Bahasa
Bahasa memainkan peran penting dalam komunikasi dan memahami satu sama lain. Bahasa juga mencerminkan nilai-nilai sosial, budaya, dan pandangan masyarakat, sehingga tidak pernah benar-benar netral.
Dalam bukunya Discourse as Social Interaction (1997), Fairclough dan Wodak menjelaskan bahwa bahasa bisa menunjukkan ideologi dan menciptakan serta mempertahankan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai kelompok, seperti kelas sosial, pria dan wanita, atau mayoritas dan minoritas. Singkatnya, bahasa bisa dipandang sebagai bentuk politik kekuasaan, yaitu tentang siapa yang menindas siapa.
Dalam konteks ini, penggunaan bahasa seksis dalam aplikasi pemerintah menunjukkan adanya politik kekuasaan. Hal ini berarti perempuan dipandang sebagai pihak yang tertindas karena tubuh mereka diobjektifikasi oleh pria.
Jika pemerintah mengabaikan kritik ini, humor seksis di media sosial akan semakin meluas. Aplikasi yang seharusnya memudahkan kehidupan masyarakat malah menjadi alat untuk mempermalukan perempuan. Akibatnya, perempuan kembali menjadi korban kekerasan akibat penggunaan bahasa yang tidak tepat.
Lebih berbahaya lagi, penelitian dari Western California University berjudul The Effect of Sexist Humor on Women's Sense of Possible-Selves menunjukkan bahwa paparan bahasa atau humor seksis dapat membuat kita lebih toleran terhadap perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Penelitian ini juga menemukan bahwa orang yang sering melihat gambar dan humor seksis cenderung mendukung kebijakan yang merugikan perempuan.
Aplikasi pemerintah seharusnya mendukung layanan publik yang transparan dan akuntabel. Daripada membuat aplikasi yang seksis hanya untuk hiburan, lebih baik fokus pada kebijakan nyata yang benar-benar bermanfaat bagi perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H