Mohon tunggu...
Puspo Lolailik Suprapto
Puspo Lolailik Suprapto Mohon Tunggu... Lainnya - Esais/Bookstagrammer

Nulis apa saja :)

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Filosofi Duka, Bagaimana Kita Bersimpati dan Memaknainya

9 Juli 2024   10:34 Diperbarui: 10 Juli 2024   09:32 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Depan Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring | Sumber: Gramedia Pustaka Utama

Kajian tentang kedukaan, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti rasa susah atau sedih, sudah banyak dibahas dalam berbagai buku. Namun, pembahasannya sering kali terasa suram dan menakutkan. Jarang sekali ada yang membahas duka dengan cara yang ringan dan lucu.

Hal ini mungkin terjadi karena kebanyakan orang menganggap kedukaan adalah sesuatu yang sakral, sehingga tidak pantas dijadikan bahan bercandaan. Terutama duka akibat kematian, menertawakannya dianggap tidak sopan dan tidak simpatik.

Namun, buku berjudul "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" ini membahas kedukaan dengan cara yang ringan dan penuh humor. Tujuannya bukan untuk mengolok-olok situasi duka, tetapi untuk menciptakan suasana yang tenang dan menyenangkan, sehingga orang yang sedang berduka lebih mudah menerima topik yang dibahas.

Ditulis oleh Andreas Kurniawan, seorang dokter spesialis jiwa, buku ini menceritakan tentang pengalamannya menghadapi dan pulih dari duka. Dokter Andreas mengalami duka tiga kali akibat kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Pertama, ketika ayahnya meninggal tiga bulan sebelum wisuda kelulusannya dari sekolah spesialis jiwa. Kedua, saat sahabatnya meninggal. Terakhir, ketika anaknya meninggal pada usia sekitar satu setengah tahun.

Dokter Andreas mengingatkan beberapa hal penting yang harus dihindari saat mencoba pulih dari duka. Jangan membandingkan kesedihan seseorang dengan orang lain, hindari mengatakan hal-hal yang bisa menyakiti perasaan, dan jangan mengajari orang lain cara pulih dari duka karena setiap orang memiliki cara yang berbeda sesuai dengan keadaannya.

Kita sering melihat kecenderungan membandingkan duka dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang kondisi unik setiap orang yang berduka. 

Duka adalah perasaan yang sangat personal. Membandingkan duka seseorang dengan orang lain justru membuat mereka merasa lebih terpuruk karena beban emosional dan merasa perasaannya tidak dihargai. Ucapan seperti, "Kamu masih mending, si A lebih parah dari kamu." Mungkin dimaksudkan untuk memotivasi, tetapi sebenarnya tidak simpatik.

Di samping itu, ungkapan-ungkapan yang sering dianggap bijaksana karena tujuannya untuk menghibur, ternyata bisa terasa tidak nyaman bagi yang menerimanya. 

Contohnya, ucapan seperti, "Nanti akan diganti dengan yang lebih baik." Terkadang bisa membuat orang yang berduka merasa tidak dihargai atau seolah orang yang meninggal kurang berharga sehingga bisa digantikan dengan yang lain. Dalam hal ini, Andreas menulis,

 Orang yang sudah meninggal tidak perlu digantikan. Dia akan menempati suatu tempat khusus di hati kita, selamanya. - hal 28.

Ungkapan-ungkapan tersebut dapat dianggap sebagai contoh dari pola perilaku yang disebut sebagai Toxic Positivity. Perilaku ini adalah sikap yang mengharuskan seseorang untuk menekan atau menyalahkan diri sendiri atau orang lain untuk menyembunyikan perasaan atau emosi negatif. Dampaknya bisa berupa stres yang berkelanjutan atau bahkan depresi karena merasa terpaksa untuk selalu bersikap, berpikir, dan merasa positif dalam segala situasi. 

Oleh karena itu, Dokter Andreas menantang kepura-puraan tersebut. Cara-cara yang biasanya dianggap wajar saat berinteraksi dengan orang yang sedang berduka dipertanyakan kembali relevansinya dan diperlihatkan bahayanya. Usaha ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan perspektif kita, sehingga diharapkan kita dapat menyampaikan simpati dengan lebih jujur, rasional, dan realistis.

Selanjutnya, Dokter Andreas membagikan pengalaman tentang cara dia mengatasi duka dengan mencuci piring. Baginya, aktivitas mencuci piring memiliki prinsip dan tahapan yang mirip dengan proses pemulihan dari duka. 

Dia mengibaratkan mencuci piring sebagai membersihkan luka-luka yang dirasakannya, menghilangkan kotoran di piring sebagaimana membersihkan kesedihan dan penderitaan. Meskipun cara ini unik, itu adalah pilihan yang dipilih Dokter Andreas. Dia menulis,

Duka itu seperti mencuci piring, tidak ada orang yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya, seseorang harus melakukannya. - hal 36.

Semua cara untuk mengatasi dan memulihkan duka yang sedang dialami adalah valid. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Setiap orang dapat memilih aktivitas yang paling cocok dan dirasa efektif untuk mereka dalam proses pemulihan.

Dalam bukunya, Dokter Andreas menceritakan tentang seorang anak yang sering menonton film pahlawan super di bioskop bersama ayahnya.

Setelah ayahnya meninggal, dia tetap membeli dua tiket setiap ada film baru dan menonton dengan kursi kosong di sebelahnya. - hal 81.

Dokter Andreas menggunakan pengetahuan ilmiah tentang kesehatan mental dan pengalaman pribadinya untuk menyajikan buku ini dengan cara yang menyeluruh dalam menjelaskan bagaimana mengelola dan pulih dari duka. 

Dia secara detail menggambarkan psikologis dari pengalaman kehilangan seseorang. Pemahaman ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk membantu membangun hubungan yang empatik dan jujur.

Jika kita familiar dengan buku-buku psikologi atau psikiatri, buku ini akan memunculkan asosiasi dengan karya legendaris Elisabeth Kubler-Ross, seorang psikiater asal Swiss, yang berjudul On Death and Dying (1969). Namun, berbeda dengan buku Kubler-Ross yang cenderung teoretis, buku ini lebih fokus pada penerapan praktis.

Identitas Buku 

Judul: Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring

Penulis: dr Andreas Kurniawan SpKJ

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, 2023

Tebal: xv + 192 halaman

ISBN: 978-602-06-7467-4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun