Hallo,
Nama saya Silviana Puspita (Anne), saya berdarah Jambi dan bersekolah disana hingga lulus SMU. Lebih dari 50% orang terdekat saya saat ini tidak lagi bisa menghirup udara segar, tidak perlu segar, bahkan yang sehat sekalipun sudah tidak mungkin. Foto yang beredar rasanya sudah banyak yang menunjukan kini kabut asap yang menyelimuti Jambi tidak lagi berwarna putih melainkan kekuningan dengan partikel halus besertanya.Â
Sejak 3 hari yang lalu, saya berusaha mengumpulkan petisi  "Presiden RI @Jokowi: Segera Tetapkan Kabut Asap Sebagai Bencana Nasional" . Hingga Rabu ini telah terkumpul lebih dari 1000 dukungan.Â
Kenapa saya melakukan ini?
Sederhananya.. status bencana nasional akan memungkinkan kita bergerak dengan kapasitas yang lebih besar. Bukan hanya untuk Jambi, namun juga daerah lain yang terkena dampak di sebagian Sumatera dan Kalimantan
Seberapa besar? Apa masih perlu yang lebih besar? Bukannya para petinggi kita setiap hari sudah bercerita tentang besarnya kekuatan yang telah dikerahkan untuk memadamkan api, membagikan masker. Well... sayangnya dengan besar hati kita harus mengakui bahwa apa yang dilakukan masih belum cukup baik.
Mari mundur sedikit, kita ilustrasikan ini dengan bercerita tentang bencana :
1) Apa itu bencana?
Mari kita lihat dari definisi yang paling sering digunakan yaitu dari Gerakan Kepalangmerahan
 disaster is a sudden, calamitous event that seriously disrupts the functioning of a community or society and causes human, material, and economic or environmental losses that exceed the community’s or society’s ability to cope using its own resources. Though often caused by nature, disasters can have human origins
Â
               (VULNERABILITY+ HAZARD ) / CAPACITY   = DISASTER   Â
Â
A disaster occurs when a hazard impacts on vulnerable people.
The combination of hazards, vulnerability and inability to reduce the potential negative consequences of risk results in disaster.
Saya simpulkan sedikit, jadi bencana terjadi saat masyarakat fungsi sosialnya terganggu, kemudian kapasitas yang dimiliki ternyata tidak mampu mengatasi bahaya/ancaman yang tadi menyebabkan gangguan itu. Bahaya/ ancaman ini adalah sesuatu yang bisa terjadi secara natural (misalnya gempa) atau ulah manusia (kebakaran hutan, gagal teknologi, dst)
Mari bermain dengan contoh kasus, saya gunakan Jambi untuk ilustrasi ya: misalnya terjadi kebakaran hutan di pedalaman Jambi. Apakah ini bisa disebut bencana?
Tidak -Belum tentu. Ini hanya sebuah peristiwa (alam), tidak ada gangguan pada fungsi sosial masyarakat
Namun, apabila ada kebakaran di hutan di Jambi yang menyebabkan 2 juta penduduknya tidak bisa menghirup udara sehat, bekerja dan bersekolah. Bisakah disebut sebagai bencana?
Nah. Bisa dibedakan bukan mana yang bencana dan bukan bencana? Kita ke bagian berikutnya tentang mengatasi bencana
2) Mengatasi Bencana
Kegiatan penanggulangan bencana dilakukan untuk memulihkan fungsi fungsi dasar yang dibutuhkan dalam masyarakat untuk kembali normal. Akan banyak bentuk intervensi yang dilakukan, yang pasti adalah pada saat-saat tanggap darurat, hal hal yang diprioritaskan adalah kebutuhan dasar yang sifatnya life saving atau dibutuhkan untuk bertahan hidup. Bentuknya bisa dari SAR, penyediaan air, makanan, kebutuhan medis.Â
Semakin besar kapasitas yang kita miliki (termasuk apa saja yang sudah kita siapkan pada masa siap siaga bencana), maka akan semakin baik tindakan kita saat terjadi bencana. BNPB tentu sangat paham ini, karena mereka juga memiliki banyak program pengurangan resiko bencana dan kesiapsiagaan bencana.
Oh tidak lupa juga, Presiden SBY pernah menerima penghargaan atas prestasinya dalam kegiatan Pengurangan Resiko Bencana. Yang artinya kita ciamik sekali dalam urusan bersiap untuk bencana.
Nah.
Pahitnya pekerjaan di bidang pengurangan resiko bencana, atau berkaitan dengan bencana, hal hal yang kita siapkan itu baru kentara baik atau tidaknya,cukup atau tidaknya, hanya pada saat bencananya sudah benar-benar terjadi. Bisa saja resiko yang sudah kita kalkulasikan pada masa sebelum bencana dan segala persiapan yang dilakukan ternyata gak cukup baik hingga bencana tidak bisa dihindari dampaknya. Â Kerugian tetap terjadi, Â nyawa tetap melayang.
Iya, mengerikan memang pekerjaan ini.
kembali ke petisi saya lagi...
Baik, dari teori kita kembali ke bencana yang terjadi hari ini. Setelah lebih dari 1 bulan masa tanggap darurat dicanangkan oleh para kepala daerah, ancaman yang menyebabkan bencana belum bisa diatasi. Iya masih bicara ancaman karena apinya masih berkobar-kobar.
Nah ini namanya slow onset disaster --- bencana yang ancamannya melanda pelan-pelan bertingkat, tidak sekaligus, kaya gempa gitu, dampaknya baru kerasa ketika si ancaman sudah terlalu liar untuk diatasi
AAHHHH TIDAK. LALU TERLAMBATKAH KITA?Â
kalau saya melihat, mengamati pemberitaan, fokus saat ini adalah memadamkan api - paling sering diberitakan adalah berapa banyak unit pesawat yang dipakai untuk memadamkan api, berapa banyak dana hujan buatan, berapa banyak pasukan dikerahkan terjun ke hutan, presiden saya pun sampai ikut repot bermandikan abu di Palangkaraya.
Bagaimana dengan upaya mengatasi dampak: oh kita sudah lakukan juga, mulai dari bagi-bagi masker, liburkan sekolah, sayangnya menyediakan tabung oksigen gratis belum jadi bagian dari intervensi yang banyak dilakukan (oleh pemerintah kita)
Lalu gimana? Apa kurang? IYA KURANG BANGET.
Melihatnya mudah sekali, apakah hingga saat ini kebutuhan dasar dan fungsi masyarakat sudah kembali normal? apakah ancamannya sudah hilang? apakah dampaknya sudah bisa diminimalisir. Kayanya belum ya? Kecuali kita hidup di dimensi lain dimana udara bersih bukan kebutuhan dasar untuk hidup.Â
Kenapa ya kok bisa? kembali ke teori sih dengan komponen tadi ya mungkin kapasitasnya ya yang kurang- tidak sebanding dengan bahaya yang mengancam? atau gimana?
kata UNOCHA begini..
the response to most slow-onset emergencies often ends up resembling the response to rapid-onset events – a large influx of resources aimed at saving lives, the creation of temporary and often parallel coordination structures, and a response dominated by food aid. Time after time, the international community waits until a slow-onset event reaches the acute phase and then needs be dealt with using the tools created for a rapid-onset disaster. This is both inefficient and ineffective, wasting resources and exacerbating human suffering.
Â
Sepertinya itulah yang terjadi sekarang ya? UNOCHA (Pusat Kordinasi PBB untuk Aksi Kemanusiaan) Â bilang orang banyak yang salah kaprah mengatasi slow onset disaster, pendekatannya seperti rapid response.. merujuk angka korban, kurang pangan dan seterusnya. .
Tiap diberitakan pemerintah bilang, aduuuh kitong tra bisa kasih kapasitas lebih besar, ini bencana daerah atasi saja sudah.Â
terus katanya lagi, mau dibuat skala nasional habis prasyaratnya menurut undang -undang tidak dipenuhi.... ada lima ya kalau tidak salah?
- kan belum ada banyak korban jiwa (Ya Alloh amit amit atuh pak bu.. itu sodara saya loh yang dibahas..)
- terus katanya lagi belum ada kerugian materiil (lah Garuda Indonesia sempat diberitakan 450 kali batalkan pesawat, eh ya terus yang sudah bayaran sekolah gak dihitung rugi kitu? mungkin karena bukan bapak ibu kali yak yang bayarin jadinya ga kerasanya ruginya........)
- saya capek nulis point lainnya... sudah diulang ulang.. habis susah kalau bacanya gak pakai hati nurani pasti sulit untuk memahami....Â
Pak Jokowi kalau kebetulan baca, saya percaya bapak orang baik, saya pernah liat bapak pas kita sama-sama nonton konser Metalicca.Â
From one rocker to another, from one music lover to another. Saya mohon buka hati nurani Bapak.Â
Kita perlu sumber daya yang lebih besar, kita perlu strategi baru pak. kita perlu kekuatan lebih besar. Apa mau beneran kata si UNOCHA diatas, salah strategi menghadapi ini bisa bikin korban jatuh terlalu banyak karena sudah terlalu terlambat
Kita harus bertindak tidak hanya fokus menghentikan api, tapi melihat dampak dampak lain yang sudah dirasakan. Untuk itu kita harus lebih besar dan lebih kuat dalam sumber daya
Status Bencana Nasional bisa ditetapkan oleh Presiden, itu mungkin salah satu indahnya berkah berada di posisi Bapak.Punya kesempatan menyelamatkan banyak hidup orang sebelum terlambat. Saya iri pak, mau begini doang aja musti colongan saat jam kerja pake bonus lembur juga pak.
Saya paham bahwa ada ketakutan kita disetir asing. Ah jangan takut pak, pas masih di NGO temen-temen saya itu nasionalisnya luar biasa, bahkan kita punya banyak ahli tanggap darurat yang sampai dikirim ke Nepal Sudan dll, yang sayangnya karena status belum bencana nasional menjadi tidak bisa bergerak.Â
Saya doakan bapak sehat selalu, ayo pak saya dan 1000 lebih orang dalam petisi ini mendukung Bapak.Â
Jari saya sudah pegal meretweet minta dimentioned artis biar banyak yang tandatangan nih Pak kalau Bapak masih kurang pede.
Semoga barokah ya Pak, saya rela cantengan demi Bapak jadi lebih pede.
Selamat malam, Tuhan bersama orang-orang yang mengikuti kata hati nuraninya yang terdalam.
Silviana Puspita (Anne)
Â
Tujuan kami adalah untuk mencapai sebanyak banyaknya tanda tangan dan kami membutuhkan dukungan lebih banyak. Anda dapat membaca lebih banyak petisi dan menandatanganinya di sini:
 https://www.change.org/p/presiden-republik-indonesia-tetapkan-kabut-asap-sebagai-bencana-nasionalÂ
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H