Hari ini tepat diriku memasuki usia 31 tahun menjalani hidup di dunia yang fana. Selalu ada getir dan khawatir setiap kali pengulangan waktu di setiap tahunnya tiba. Sebab, seiring bertambahnya usia di tanggal ini, maka berkurang lagi jatah mengembus nafas di muka bumi.
Dalam bahasa Inggris biasa kita sebut sebagai "birthday". Namun, bagaimana jika kata "birthday" ini kita maknai sebagai a day to celebrate that you haven't died in the last year? Yang artinya adalah hari untuk merayakan bahwa Anda belum meninggal dalam setahun terakhir. Membaca kalimat tersebut, maknanya cukup membuat hati bergetar, 'kan?
Bagaimana tidak? Aku hanya menumpang di bumi Allah secara gratis, bahkan disediakan berbagai pangan oleh alam yang Dia ciptakan. Dengan leluasa aku menikmati hingga kini bisa bertahan hidup. Namun, aku belum bisa berbalas budi atas kebaikan-Nya. Masih saja terlena atas nikmat yang tiada batas ini hingga lalai untuk sekadar mengucap syukur kepada-Nya.
Setiap kali berganti tahun, semakin banyak nikmat yang telah kudapatkan. Namun, itu semua tak sebanding dengan perlakuanku terhadap Sang Pemberi Nikmat. Diri ini sungguh tak tahu berterima kasih. Bahkan terkadang merasa bahwa apa yang hilang dariku merupakan suatu masalah dan kusebut sebagai ujian hidup. Padahal apa yang hilang dariku tersebut hanya titipan yang Allah beri dan amanahkan untukku. Yang sudah menjadi hukumnya bahwa sewaktu-waktu itu semua akan hilang.
Seketika aku mengingat Puisi "Makna Sebuah Titipan" karya WS. Rendra.
Seringkali aku berkata, ketika orang memuji milikku. Bahwa sesungguhnya ini hanya titipan. Bahwa mobilku hanya titipan-Nya. Bahwa rumahku hanya titipan-Nya. Bahwa hartaku hanya titipan-Nya. Bahwa putraku hanya titipan-Nya. Namun, mengapa aku tak pernah bertanya, "Mengapa Dia menitipkan kepadaku? Untuk apa Dia menitipkan ini kepadaku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu kembali diminta oleh-Nya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah. Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka. Kusebut itu dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku. Aku ingin lebih banyak harta. Ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit. Kutolak kemiskinan seolah semua derita adalah hukuman bagi diriku. Seolah keadilan dan kasih sayang-Nya harus berjalan seperti matematika: Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dan nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagamg dan bukan kekasih. Kuminta Dia membalas perlakuan baikku dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku.
Gusti, padahal tiap hari ku ucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah. Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.
Lantas, pantaskah aku berkeluh kesah menyesali titipan-Nya yang hilang itu? Pantaskah aku menyebutnya sebagai ujian meskipun aku tahu itu semua bukan milikku? Apalah arti memiliki jika diri ini saja bukan milikku. Ada yang lebih berhak dariku atas itu semua. Begitu juga denganku, ada yang lebih berhak atas diri ini, yaitu Allah.
Aku hanya khawatir jika setelah ini dan tanpa aba-aba, malaikat datang menjemput. Aku tak punya kuasa untuk menghindar. Bahkan sekadar berontak pun, itu tak akan mungkin. Tanpa bekal dan persiapan apa pun, diri ini ditinggalkan oleh ruh yang selama ini membersamai layaknya bayangan.
Lalu ruh melihat diri ini yang diam dengan mata tertutup dan tanpa gerakan perut juga dada akibat putusnya embusan nafas terakhir. Ruh ingin sekali kembali memasuki ragaku. Ingin mengulang kembali menjalani kehidupan dengan sebaik mungkin. Namun, ruhku tak punya kuasa. Malaikat menuntunnya pergi meninggalkan ragaku bersama orang-orang yang sedang mengerumuniku.
Beberapa hari lalu, aku melihat huruf "A" kapital berukuran besar di sebuah mall di Singapura. Dengan seketika terlintas di benak bahwa perjalanan hidup ini aku ibaratkan seperti huruf "A" kapital tersebut. Yang mana titik sudut atas diibaratkan sebagai titik kelahiran kita ke dunia. Dua garis berlawanan seperti arah jalan kebaikan dan garis lainnya adalah jalan sesat. Lalu satu garis yang menghubungkan dua garis berlawanan itu aku ibaratkan sebagai jembatan atau jalan hijrah. Sedangkan dua titik bawah merupakan titik akhir kita setelah melewati garis kehidupan, yaitu titik surga dan neraka.
Bagaimana? Bisa dipahami? Entahlah, ada-ada saja penemuanku ini.
Jadi, mula-mula kita terlahir di satu titik yang sama. Kemudian kita mulai tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Di saat transformasi masa-masa itulah kita sendiri yang memilih ingin menjalani hidup di jalan yang baik atau buruk. Aku yakin, semua orang mendambakan titik akhir perjalanan hidupnya yaitu surga. Namun, kebanyakan dari kita tak sadar bahwa kita telah memilih jalan yang salah.
Ada sebagian yang sadar dan hijrah ke jalan yang benar dengan berbelok melewati garis (yang kusebut sebagai jembatan) yang menghubungkan dua garis berlawanan tersebut. Namun, ada juga yang awalnya sudah benar melewati jalan yang baik, tetapi mereka terbawa arus oleh lingkungan hingga berbelok melewati jembatan tersebut ke arah garis yang salah.
Hingga akhirnya, mereka yang telah berjalan melewati lebih dari garis penghubung (jembatan) tersebut, semakin mendekat titik akhir perjalanan hidup. Orang-orang yang berada di jalan kebenaran akan mudah saat mengalami hisab dan ada kemungkinan untuk berkumpul dengan orang-orang saleh di surga. Namun, orang-orang yang berada pada jalur garis keburukan dan tak sempat bertaubat hingga titik ajal menjemput, akan mengalami hisab yang sulit serta dengan mudah mereka dimasukkan ke neraka.
Di usiaku yang sudah menduduki kepala tiga ini masih terus belajar dan berusaha untuk memperbaiki diri. Meskipun sulit akibat godaan dan hawa nafsu yang terkadang menghampiri.
Di usia ke-31 ini, membuatku semakin mengerti akan esensi hidup di dunia, bahwa sewaktu-waktu aku akan meninggalkan dunia ini dan apa pun yang ada di bumi hanya titipan. Semua yang ada pada diri sewaktu-waktu akan Dia ambil dengan maksud yang terkadang berbeda-beda. Ada yang Allah cabut nikmat harta dengan tujuan sebagai pembelajaran untuk kita supaya lebih memanfaatkan harta ke jalan yang lebih berkah. Ada juga yang Allah cabut nikmat harta karena alasan lain yang terkadang tak masuk akal. Namun, perlu kita pahami bahwa akal dan logika manusia terbatas. Sedangkan Allah Maha Tahu segalanya yang ada di bumi dan di langit, yang awal dan yang akhir.
Semoga di usia sekarang ini, aku bisa lebih memaknai hidup dengan penuh seni yang berwarna serta bermakna. Diberi kemudahan dan kelancaran dalam setiap usaha. Kesehatan dan keselamatan yang mengiringi. Juga semakin istikamah untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat hingga maut memisahkan.
Aku hanya ingin hidupku bisa meninggalkan bekas yang baik di hati orang-orang yang mengenalku. Yang ketika masaku di dunia telah usai, mereka hanya mengingat kebaikanku tanpa menemukan keburukan dari diri ini. Aku hanya ingin Allah selalu menutup aib-aibku hingga aku tiada, bahkan hingga dunia ini hancur tak sersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H