Mohon tunggu...
Puspanagri Mas Bayu Sadewa
Puspanagri Mas Bayu Sadewa Mohon Tunggu... Jurnalis - Staf Komunikasi

Bekerja di Neliti

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Partai Politik dalam Pencitraan

23 Juli 2024   21:25 Diperbarui: 23 Juli 2024   22:04 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemilihan Umum 2024 telah usai, namun dampak dari berbagai strategi politik yang digunakan selama masa kampanye masih terasa hingga sekarang. Strategi-strategi andalan yang digunakan oleh para kontestan pemilu untuk meraih dukungan publik baik untuk legislatif maupun eksekutif menunjukkan bagaimana pendekatan Public Relations dan pencitraan politik memainkan peran yang sangat penting dalam meraih kemenangan. Melalui program-program yang melibatkan partisipasi masyarakat, para politisi dan partai politik berupaya membangun citra positif yang berdampak terhadap reputasi mereka.

Jika politisi diibaratkan sebagai sebuah produk, pencitraan adalah sebuah keniscayaan. Pencitraan, yang selama ini identik dengan produk atau jasa yang akan dipasarkan, telah menjadi bagian integral dari pemasaran politik sejak pemilu dilakukan secara proporsional terbuka untuk DPR dan pemilihan langsung untuk presiden. Pemasaran politik adalah metode praktis dalam konteks komunikasi politik, dengan pencitraan politik berada di persimpangan antara pemasaran dan humas sebagai objek studi dalam ilmu komunikasi.

Dalam konteks pemasaran, partai politik kini menjadi produk yang perlu dipasarkan sebagaimana halnya dalam pemasaran komersial. Melalui pencitraan, diharapkan terjadi pergeseran opini publik ke arah yang lebih baik. 

Dengan adanya opini publik yang positif, keputusan memilih menjadi lebih mudah bagi politisi yang sedang bertarung di arena politik. Opini publik sendiri merupakan metode persuasi dengan sistem komunikasi yang lebih luas. 

Dalam dunia politik, media telah menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang realitas dan perkembangan isu politik yang terjadi. Media juga memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan opini dan pandangan mereka tentang situasi politik yang sedang terjadi.

Sebagai alat komunikasi persuasif, media massa sering kali mengukuhkan nilai-nilai yang diyakini masyarakat sebelumnya. Seorang individu yang awalnya tidak memihak pada suatu partai politik bisa berubah aspirasi politiknya karena terpengaruh pemberitaan di media massa. 

Media massa juga mampu menggerakkan seseorang untuk bertindak atau tidak bertindak. Kepemilikan media massa saat ini memiliki pengaruh kuat terhadap tayangan yang disajikan, seringkali mencerminkan kecenderungan politik pemilik media. Apalagi ketika pemilik media tersebut terlibat dalam politik, maka tayangan yang disajikan kepada masyarakat cenderung melakukan pencitraan partai politik tertentu.

Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media massa, menjadi ruang ekspresi yang tak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang digelar oleh elite politik dalam suksesi pemilu. Teknik pemasaran politik dengan mengemas citra tentang sosok calon kepala daerah dalam praktik politik pencitraan menempatkan media massa sebagai pemegang kendali utama pemberitaan, karena salah satu kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah kekuatan menciptakan opini publik. 

Media Massa memiliki power luar biasa dalam dunia modern mengingat perannya dalam mempengaruhi opini dan kebijakan publik melalui informasi, reportase, ulasan, dan investigasi yang disajikan. Tak heran para pemangku kekuasaan berupaya berinteraksi secara sejajar, kalau tidak dikatakan tergantung, pada pihak media. Kekuatan media massa untuk mempengaruhi khalayaknya sangat berdampak keras dan dapat menjadikan sebuah partai politik maupun aktor politik yang ada di dalamnya mempunyai citra negatif atau positif.

Jika kita berbicara mengenai strategi pencitraan, tak dapat dilepaskan dari peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media (wadah) untuk memberitakan kepada publik serta memberi citra dari aktivitas para aktor politik yang diberitakan dan menjadi konsumsi media massa. Di sini peranan framing maupun agenda setting menjadi penting, karena agenda media (dalam hal ini media memilih berita-berita yang akan menjadi headline dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik, artinya adalah publik disodorkan headline berita yang memang telah diagendakan oleh media untuk menjadi berita utama (headline). 

Media massa mempunyai peranan penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Hal tersebut tampak dari fungsi yang dijalankan oleh media massa yaitu sebagai alat untuk mengawasi lingkungan, menghubungkan bagian-bagian dalam masyarakat, mengirimkan warisan sosial, dan memberikan hiburan. Pemanfaatan media yang tepat juga akan membantu meningkatkan branding parpol.

Perkembangan media yang cukup pesat seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan praktik politik pencitraan. Maraknya penggunaan internet seharusnya bisa dilirik dalam praktik politik pencitraan karena sifatnya yang sangat cepat dalam menyebarkan informasi dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah dibandingkan media televisi. Para tokoh politik dan parpol ternyata sudah mulai menyadari akan pentingnya media sosial untuk mendekatkan diri ke publik. 

Banyak tokoh politik yang sukses mendekatkan dirinya ke publik melalui media sosial. Tidak hanya di media sosial Facebook, mereka juga berkomunikasi ke publiknya melalui Twitter. Penggunaan media sosial ini sangat efektif karena media sosial bisa mengejar atensi publik secara luas. Tidak hanya anak muda yang menjadi target publiknya, tetapi masyarakat secara luas juga mengakses media sosial tersebut dikarenakan kemudahan akses internet dan lahirnya gadget yang memudahkan kita untuk online.

Bila dibandingkan dengan media massa, media sosial juga sangat berpengaruh dalam politik pencitraan. Salah satu media sosial yang banyak dipakai oleh tokoh politik untuk mendekatkan diri ke publiknya adalah Twitter atau yang sekarang dikenal dengan X. Tingginya popularitas Twitter menyebabkan layanan ini telah dimanfaatkan oleh berbagai kalangan termasuk tokoh politik dalam berbagai aspek, misalnya sebagai sarana komunikasi, kampanye politik, maupun pencitraan. Twitter dipandang sangat efektif dalam mendekatkan tokoh politik dengan publiknya, khususnya anak muda. 

Dari Twitter tersebut, bisa dilihat seberapa banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dari seberapa banyak follower yang dimiliki tokoh tersebut. Semakin banyak jumlah follower-nya, artinya semakin banyak publik yang menaruh perhatian terhadap tokoh tersebut dan semakin banyak yang melakukan mention tokoh tersebut, artinya semakin banyak pula publik yang ingin berkomunikasi dengan tokoh tersebut. Tweet yang ditulis tokoh politik mampu menunjukkan opininya terkait isu-isu politik sehingga follower-nya bisa mengetahui bagaimana stand politiknya terhadap suatu isu atau keadaan. 

Dari sinilah akan terjadi komunikasi dua arah antara tokoh politik tersebut dengan para follower-nya. Jadi, tak heran kalau akhirnya Predien Jokowi juga mempunyai akun media sosial seperti yang sudah lama dilakukan oleh Presiden Obama guna membangun komunikasi dengan para follower-nya.

Pemanfaatan Twitter sebagai media mendekatkan tokoh politik dengan publiknya memang cara baik dan paling murah. Masalahnya adalah bagaimana media sosial ini bisa dikelola dengan baik. Dalam melakukan tweet pesan-pesan politik, sebaiknya dilakukan dengan kuantitas yang normal karena kalau terlalu banyak melakukan tweet per hari, akan mengganggu follower-nya, apalagi kualitas pesan politik tersebut rendah. 

Jadi, pemanfaatan Twitter sebagai media dalam praktik politik pencitraan merupakan salah satu solusi cerdas dan murah sehingga dapat menghemat anggaran parpol. Pasar media sosial adalah pemilih pemula yang usianya 17 hingga 30 tahun. Media sosial bukan lagi sekadar sarana bagi netizen mempererat pertemanan melalui percakapan, namun sudah membahas tentang isu-isu politik. 

Tak pelak, pada tahun politik sekarang ini, media sosial dibanjiri dengan akun-akun para pegiat politik. Melalui media sosial, warga internet (netizen) bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan memproduksi konten. 

Media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang menjadikan suatu bentuk komunikasi menjadi lebih interaktif. Media sosial terbukti berhasil merebut hati netizen dalam memenuhi kebutuhannya dalam mendapatkan informasi dan berkomunikasi. Penggunaan media sosial bukan lagi sekadar sarana untuk mempererat pertemanan melalui percakapan, namun sudah membahas tentang isu-isu politik, kebijakan pemerintah, perilaku para public figure yang positif maupun yang negatif.

Menurut pengamat politik Effendi Gazali, media adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media berupaya mendekati objektivitas pemberitaan, namun di sisi lain media juga tak luput dari keberpihakan dan ketidakberimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim sukses untuk terus memasukkan pesan dan citra politik sosok kepala daerah. Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk menjadikan media sebagai sarana pemasaran massal. 

Tak heran bila beberapa pendapat mengatakan bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma menjadi ajang pemasaran massal yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran sentral. 

Kekuatan dari media juga sering digunakan partai politik dalam melakukan pencitraan yang dengan mudahnya memanipulasi publik karena faktor dibayar. yang seharusnya berisi info-info berita namun harus dipenuhi oleh visi dan misi yang tidak masuk akal demi kepentingan tertentu, kemudian berdampak untuk Masyarakat, sulitnya lagi menilai kredibilitas seseorang karena banyak pencitraan. 

Di tahun-tahun pesta demokrasi, iklan dan visi mulai menumpuk serta opini tentang politik pun penuhi halaman-halaman media, mulai dari media cetak hingga media elektronik karena media merupakan salah satu jalan yang ampuh melakukan dan menyebarluaskan sesuatu apakah itu benar atau salah. Kerasnya kepentingan politik merupakan dampak terburuk untuk melakukan pendidikan politik.

Di era digital saat ini, partai politik dan politisi harus memiliki literasi media digital yang baik. Media sosial dan internet telah menjadi alat utama untuk berkomunikasi dengan publik. Masyarakat tidak hanya membaca internet dan jarang menonton berita, oleh karena itu partai politik harus melakukan transformasi dalam pencitraannya untuk meraih simpatisan dan pendukung. 

Dengan semakin banyak like atau tombol suka yang didapat, semakin banyak juga yang kagum dengan foto atau video yang dicitrakan. Kegiatan-kegiatan politik yang menggambarkan kedekatan dengan masyarakat atau ketegasan dalam kepemimpinan sering dipublikasikan melalui media sosial dan media online lainnya.

Hal ini sangat penting bagi kepala negara, kepala daerah, dan partai politik untuk memiliki akun media sosial. Tujuannya adalah untuk dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat dan memanfaatkan kemampuan teknologi untuk membangun citra yang positif bukan untuk saling menyerang dan menjatuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun