Mohon tunggu...
Puspa Agustin
Puspa Agustin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis - Sastra Indonesia

Seseorang yang memiliki ketertarikan pada bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Belalak

15 November 2024   01:27 Diperbarui: 18 Desember 2024   01:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: material cahaya yang melukai (Sumber gambar: pinterest/franz kafka)

Tahun 1990-an merupakan masa kemakmuran yang relatif damai. Tembok Berlin, simbol utama Perang Dingin, runtuh pada bulan November 1989. Kemudian Jerman bersatu kembali pada tahun 1990, setelah 45 tahun terpisah. Perang Dingin secara resmi berakhir dengan jatuhnya Uni Soviet pada Hari Natal 1991, dan tampaknya era baru telah dimulai.

Pada tahun ini pula, International Modeling & Talent Association (IMTA) menjadi satu-satunya ajang kompetisi modeling bergengsi yang sangat digilai oleh anak-anak muda dari berbagai belahan dunia. Tidak terkecuali di Indonesia.

Saat itu, ketika koran pagi baru saja mendarat di muka pintu rumah tepat pukul 06.15 WIB, Gadis, seorang anak remaja 19 tahun terperangah melihat cover koran dengan wajah 3 finalis IMTA, acara modeling favoritnya.

Dalam koran tersebut diberitakan, bahwa 3 finalis IMTA bersama 2 jurinya akan melakukan sesi pemotretan di Wukir Negoro, Malang-Indonesia. Sejak mengetahui hal itu, Gadis tidak berhenti memikirkan bagaimana cara untuk bisa ke sana bertemu muka dengan Sara Dawson, salah satu finalis, yang sangat ia idolakan.

Siang malam Gadis terus merengek pada kekasihnya, Roy, untuk membantu ia merealisasikan mimpinya itu. Roy yang sangat mencintai belahan jiwanya tak mampu menolak atau membiarkan Gadis pergi sendirian. Tanpa banyak pertimbangan, Gadis, Roy, dan satu sahabat Gadis bernama Mia, pun akhirnya melakukan perjalanannya dari Banten ke Malang dengan menunggangi bus Continental'90 rute Jakarta-Malang.

-----

"Ieu tempat katuhu?" Ujar Gadis yang terkejut melihat penampakan Wukir Negoro yang masih sangat asri dan terbilang jauh dari pusat kota. Ia tidak menyangka para finalis mau ke tempat seperti ini, dan ia lebih tidak menyangka kalau akan bertemu dengan finalis-finalis IMTA.

"Iya betul di sini." Jawab Roy.

Karena hanya membawa uang pas-pasan, mereka tidak menyewa pondok penginapan. Namun Roy sudah mempersiapkan tenda 200 x 200 x 125 cm, dengan kapasitas empat orang.

"Ini aku pinjem sama temen, namanya Kang Arman. Anjeunna resep nak gunung." Jelas Roy pada Gadis dan Mia saat mendirikan tenda setelah 3 jam berjalan menyusuri hutan Wukir Negoro.

Saat hendak melihat-lihat pemandangan sekitar, Gadis membeku takjub sebab tanpa disengaja ia melihat Jessica White, salah satu juri IMTA dari kejauhan.

"Nuturkeun atawa henteu ya? Geus, ikutin ajalah, siapa tau papanggih jeung Sara Dawson." Pikir Gadis, sambil ia berjalan sembunyi-sembunyi mengikuti Jessica.

Di tengah ia menguntit, tiba-tiba Gadis kehilangan jejak juri cantik IMTA itu.

Gadis mencoba tenang sambil memperhatikan sekitar, dan berpikir untuk mengambil cabang jalan yang mana.

Namun perasaannya tidak bisa berbohong, ia takut, cemas, dan sedih.

30 menit sudah Gadis diliputi kebingungan di tengah hutan, ia tidak bisa berpikir jernih. Ia hanya terus menangis bersender di bawah pohon besar.

Satu jam, Gadis masih menangis. Ia kedinginan dan merasakan energi yang primitif dan sakral. Hingga tiba-tiba, lewat di sisi barat, segerombolan orang berseragam dengan nuansa serba hijau lumut.

Mereka menjinjing tandu. Dengan samar-samar, Sekilas Gadis melihat Roy berada di atas tandu tersebut.

"Mbak, tangi tangi." Salah seorang warga membangunkan Gadis.

Gadis terperanjat.

"Akhire ketemu.  Kok iso tekan Gunung Kawi, Mbak? Ini daerah sakral, ora bisa sembrono." Ungkap salah seorang warga yang lain.

Gadis masih bingung, ia mencoba mencerna segala yang terjadi.

"Pak, saya tadi nyasar, ngikuti..."

"Tadi? Sudah tiga hari sampeyan hilang, Mbak!" Potong warga menanggapi.

Gadis menjadi gugup.

-----

Tanpa berlama-lama, para warga yang menemukan Gadis segera membawanya pergi dari sana. Kembali ke area camping untuk menemui Roy dan Mia.

Sesampainya di sana, Gadis dihadang sekitar tujuh orang yang entah siapa berkumpul dengan kepala ditutup karung goni.

"Kalau betul kamu Gadis, anjeun pasti mikawanoh. Hah tebak urang saha?" Suara salah seorang dari balik karung goni. Konon ini dilakukan agar tidak terkecoh oleh makhluk gaib yang kerap menyerupai orang hilang di Gunung Kawi.

"Mia." Tebak Gadis.

Baru sepersekian detik Mia membuka karung goni yang menutupi kepalanya, tiba-tiba datang seorang kakek tua usia 70-an dengan postur tubuh sedikit membungkuk.

Dari sepenglihatan Gadis dan Mia, kakek tersebut seperti orang yang tidak waras. Ia komat-kamit seperti sedang membacakan sebuah mantra atau semacamnya, sambil memutar-mutar tangan hingga kukunya memanjang dan menghitam.

"Heleh, kolot glo!"

Setelah 1 jam lamanya mereka membeku memperhatikan si kakek, tiba-tiba mereka terjatuh lemas.

"Aduhh, ini kenapa yah?" Tanya Mia.

"Kowe sing edan!" Umpat seorang bocah laki-laki dengan perawakan umur 13 tahun yang tiba-tiba muncul dari belakang si kakek.

"Kalian itu dalam pengaruh guna-gunanya Mas Roy. saya beberapa kali liat dia bolak-balek ke Gunung Kawi untuk melakuken ritual-ritual, pesugihan. Mungkin sampeyan digawa mrene kanggo kurban."

Gadis terkejut mendengar penjelasan si kakek, ia berdiri dan bertanya, "apa iya? Sekarang Roy di mana?" sambil celingukan.

Kakek menunjuk ke arah tenda mereka.

Gadis dan Mia perlahan mendekat ke tenda.

"Astaghfirullah al adzim." Sontak mereka beristighfar.

Mereka mundur perlahan.

Gadis menatap getir ke wajah kakek tua, seperti memberi sinyal untuk dijelaskan atas apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Ketika Mbak hilang, Mas Roy melakuken perjanjian gaib lagi di Gunung Kawi itu, Mbak. Saya ndak tau perjanjian opo. Tapi, Mas Roy dumadakan meninggal ing njero tenda dari 2 hari yang lalu. Tubuhnya seperti berat sekali, warga wis nyoba nulung nanging tetep ora bisa metu. Matanya juga terbelalak, kita ora bisa nutup."

Gadis menangis tersedu-sedu dipelukan Mia. Ia tidak menyangka kalau Roy, kekasihnya yang manis berakhir seperti ini.

Tiba-tiba dering alarm berbunyi. Sudah pukul 09.00 WIB, Gadis kesiangan. Ia terlambat berangkat ke kantor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun