Malam itu, masyarakat satu kota berhamburan, sesegera mungkin mereka berlari memasuki bilik-bilik rumah masing-masing, menutup dan mengunci pintu dengan rapat dan penuh cemas. Seketika lapangan pertunjukan sepi bak kota mati, dengan tertinggal satu tubuh manusia yang terlentang tak berdaya di tengah tanah lapang itu.Â
Dewi Laksmi, seorang wanita dewasa berusia 42 tahun, wanita tersohor di kota Tahribat, seorang penari sintren yang juga dikenal sebagai pelacur yang sudah meniduri sekurangnya 87 laki-laki yang di antaranya merupakan tentara Belanda, Jepang, dan jawara ataupun prajurit-prajurit pribumi. Selama 21 tahun ia menyandang gelar pelacur tercantik dengan bentuk tubuh yang masih seperti perawakan gadis perawan usia 18 tahun.Â
Di tengah pertunjukan sintren yang cukup menegangkan, tiba-tiba tubuhnya terbanting jatuh dengan sendirinya, dan hanya dalam beberapa menit, kulitnya yang semula putih bersinar berubah mengeluarkan bintik-bintik merah kebiruan. Kata Dasimah, seorang pelayan setia yang hidup serumah dengan Dewi Laksmi sejak 19 tahun silam, Dewi Laksmi mengalami demam dan gatal-gatal di bagian sekitar kemaluannya dari dua hari yang lalu.Â
Pada hari itu, sebelum demam dan gatal menyerang, Dewi Laksmi sempat melayani seorang gerilyawan Kekaisaran Jepang di rumah pelacuran Mama Lenjeh, panglima militer yang sekaligus dikenal sebagai pemburu ajak-ajak yang baru keluar dari hutan. Terkenal agresif, bengis juga temperamental selama bergerilya dan tak bisa menahan birahi selama di dalam hutan. Tidak sedikit anak buahnya yang bercerita sempat memergokinya memperkosa ajak-ajak buruannya.Â
Di hari itu, ketika pertama kalinya ia, Sang Panglima keluar dari hutan, ia langsung mendatangi rumah Mama Lenjeh sebab makin tak tahannya dengan birahi dan muak dengan ajak-ajak yang kurang kenikmatannya ketika ditiduri. Sang Panglima meminta untuk dilayani oleh pelacur paling mahal dan cantik di rumah pelacuran tersebut, untuk membayar semua rasa gundah gulananya selama bergerilya dan bersetubuh dengan ajak-ajak coklat kemerahan dengan ekornya yang tebal kehitaman.Â
Ia langsung ditujukan ke kamar Dewi Laksmi yang didapatinya sedang duduk di pinggir ranjang dengan sigaret di sela jari jemarinya dan tersentak oleh kedatangan tamu yang seharusnya di malam itu ia tak melayani seorang pria mana pun. Dengan memasang mimik wajah jijik, Dewi Laksmi memalingkan wajahnya dari tatapan Sang Panglima ketika ia melihat ke arah pintu dan mendengar laki-laki itu berbicara.Â
"Layani aku."
"Aku libur, cari pelacur lain saja," kata Dewi Laksmi tanpa melirik sedikit pun.Â
"Aku bayar lima kali lipat dari hargamu."
Dewi Laksmi dibuatnya geram, ia langsung membuang sigaret ke lantai dan menatap Sang Panglima, "Kau, lihatlah dirimu. Betapa menjijikkannya, sepuluh kali lipat pun aku tidak sudi tidur denganmu."
Merasa dilecehkan dengan lidah perempuan itu, Sang Panglima mendorong Dewi Laksmi ke tembok dan membentengi tubuh Dewi Laksmi dengan kedua tangannya yang begitu kekar. Dengan tatapan tajam dan penuh, Sang Panglima menatap mata, hidung, bibir dan bentuk tubuh Dewi Laksmi yang begitu indah dan mempesona. Dengan segenap nafsu birahinya, ia membuka paksa kancing-kancing gaun berwarna merah muda yang dikenakan oleh Dewi Laksmi.Â
"Kau akan memperkosaku?"
"Aku membayarmu, nikmati saja."
Helaian demi helaian bajunya dibuka oleh Sang Panglima dengan sedikit perlawanan dari sang pemilik tubuh indah itu, semakin dibuka semakin terlihat buah dada yang terpasang indah bagaikan memang diciptakan untuk menjadi santapan nafsunya setelah keluar bergerilya dari hutan.Â
Setelah Dewi Laksmi telah telanjang bulat dibuatnya, ia mendorongnya lagi ke tengah ranjang yang dengan cepat pula ia menjatuhkan tubuhnya tepat di atas tubuh Dewi Laksmi. Dengan penuh nafsu ia menciumi setiap sisi wajah Dewi Laksmi, lalu turun ke tubuhnya dan sampai di antara buah dada yang begitu sekal dan matang membuat Sang Panglima benar-benar terpesona dan menjadi makin tak tertahankan untuk melepas birahinya.
Setelah memainkan buah dada yang manis itu, ia langsung membuka pakaian miliknya sendiri dengan tergopoh-gopoh seraya tak mau kehilangan momentum untuk menembak kepala tentara lawan semasa bergerilya di hutan. Satu kali dua kali Dewi Laksmi melakukan perlawanan yang cukup keras, namun memang tak dapat disangkal bahwa tubuhnya tak sekuat tubuh Sang Panglima mesum itu.Â
Hingga akhirnya ia kewalahan dan membiarkan tubuhnya menjadi sajian hangat untuk gerilyawan yang sedang lapar. Dewi Laksmi mencoba untuk tidak mengacuhkan semua perlakuan Sang Panglima dengan menutup matanya hingga ia ketiduran dan membuka mata dengan tubuh telanjang di tengah ranjang seorang diri di pagi hari.
Itu kejadian dua hari yang lalu, sebelum pertunjukan sintren di malam seren taun, sebuah upacara adat dalam perayaan panen padi masyarakat kota Tahribat yang dilakukan setiap tahun. Tubuh Dewi Laksmi yang menari dengan gerak gemulai yang kemudian tiba-tiba jatuh di tengah lapangan pertunjukan merupakan hal biasa yang terjadi, tetapi dengan keadaan tubuhnya yang tiba-tiba mengeluarkan bintik-bintik merah kebiruan, membuat masyarakat kota Tahribat yang melihat berasumsi bahwa itu merupakan kutukan dari para bidadari yang dipercaya pada setiap pertunjukan sintren memasukkan rohnya ke tubuh seorang pelacur 42 tahun itu.Â
Akan tetapi belakangan setelah pertunjukan yang berakhir dengan memilukan itu, Dewi Laksmi dibawa oleh Dasimah ke tempat pengobatan tradisional yang paling terkenal di kota tersebut, yang konon katanya tabibnya dapat mengetahui sekaligus menyembuhkan berbagai penyakit-penyakit kutukan nan berbahaya. Selama empat belas hari Dewi Laksmi melakukan pengobatan di rumah tabib Zhang Ji, di hari ke empat belas barulah diketahui penyakitnya.
"Kau terkena virus, Dewi Laksmi."
"Virus?"
"Ya, virus nipah. Sebuah penyakit zoonosis. Tidur dengan binatang 'kah kau, Dewi Laksmi?"
Dua hari setelah diketahuinya penyakit yang menyerang tubuh Dewi Laksmi, tabib Zhang Ji meninggal sebab selama dua minggu penuh berinteraksi dan mengobati Dewi Laksmi yang tidak kunjung membaik, diperkirakan pula bahwa sang tabib meninggal karena tertular penyakit mematikan yang diidap Dewi Laksmi yang hingga saat ini belum ditemukan obat penawarnya. Pada saat penyakit tersebut diketahui namanya, Dewi Laksmi bercerita ke tabib Zhang Ji bahwa ia diperkosa oleh Panglima Kekaisaran Jepang yang baru saja kembali dari bergerilya di hutan.Â
Dan ketika Dewi Laksmi dibawa kembali pulang ke rumahnya setelah kematian tabib itu, barulah terdengar ke telinga Dewi Laksmi bahwa panglima mesum yang menidurinya merupakan pemerkosa ajak-ajak buruan selama di hutan. Ramai sudah terdengar nama penyakit itu ke telinga-telinga penduduk kota Tahribat, bahkan seminggu sebelum kepulangan Dewi Laksmi ada beberapa keluarga yang mengalami penyakit kulit serupa dengannya, diduga karena ada anggota keluarganya yang berinteraksi bahkan sempat meniduri Dewi Laksmi di rumah pelacuran di hari setelah Dewi Laksmi tidur dengan panglima mesum.
Lambat laun, penyakit itu merebak dan menelan korban sebab mudahnya penularan virus dan belum ditemukannya ramuan obat penawar membuat kota tersebut seraya menjadi kota wabah. Anak cucu keluarga petani, gelandangan, bahkan saudagar dan pejabat pun kehilangan satu persatu anggota keluarganya. Korban terus berjatuhan, sedangkan Dewi Laksmi masih bertahan di ranjang rumahnya tergeletak lumpuh. Semua penduduk mengutuk pelacur tersohor itu.
Berbagai asumsi dimasak matang di tengah perbincangan penduduk kota Tahribat, di antaranya menyebutkan bahwa virus mematikan itu datang dari para bidadari yang mengutuk Dewi Laksmi sebab kerap kali mempermainkan tarian sintren dengan tidak semestinya, dilain bibir juga mengatakan bahwa itu hukuman Tuhan sebab ia sering menerima dan melayani tamu laki-laki yang sudah memiliki istri, dan yang lainnya mengatakan bahwa hal itu karena ia ditiduri gerilyawan penggila ajak-ajak, sang panglima mesum.Â
Setengah tahun berlalu dengan wabah dan kegundahan seisi kota, kini Tahribat menjadi kota mati yang begitu sepi, bahkan dapat dihitung dengan jari jumlah penduduknya yang masih bertahan hidup dan belum terdampak penyakit zoonosis. Selama setengah tahun itu, tempat pelacuran, lapangan sabung ayam, terminal, perairan, dan hampir semua tempat di kota tersebut menjadi sepi pengunjung. Sedangkan para pemuka agama mengencangkan mantra-mantra doa di rumah ibadahnya memohon keajaiban.
Satu bulan kemudian setelah setengah tahun banyak penduduk yang mati karena penyakit itu, kembali terdengar kabar mengenai panglima Kekaisaran Jepang si pemerkosa ajak-ajak, usut punya usut panglima itu mati disantap ajak-ajak ketika ia hendak membuang air kecil di bawah pohon rimbun, kemaluannya yang hitam legam dijadikan camilan pesta para ajak-ajak hutan, lalu tubuhnya dijadikan hidangan makan malam sekelompok ajak-ajak sebagai makanan beratnya hingga tak tersisa selembar kulit pun laki-laki biadab itu.
Di bulan ke sembilan dari merebaknya penyakit zoonosis di kota Tahribat, tepatnya di malam gerhana bulan, terjadi sebuah peristiwa yang tak disangka-sangka, Dewi Laksmi meninggal setelah dibantu Dasimah melahirkan seorang bayi manusia berkepala hewan ajak-ajak, padahal selama sembilan bulan belakangan perutnya tidak terlihat membesar layaknya wanita hamil.Â
Hal tersebut menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan dan tak terkecuali di kalangan pemuka agama. Berdasarkan musyawarah dari berbagai pemuka agama setempat, seluruh penduduk kota Tahribat menyetujui untuk membakar mayat Dewi Laksmi bersamaan dengan bayinya yang masih hidup. Upacara pembakaran akan dilaksanakan pada malam itu juga, di bawah langit yang sedang mengeluarkan cahaya merah darah.
"Semoga jauh jarak antara hari kebangkitan dengan hari kematianmu," ucap seorang pria tua bersorban putih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H