Mohon tunggu...
Pusat KPMAK UGM
Pusat KPMAK UGM Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pusat Kebijakan dan Pembiayaan Manajemen Asuransi Kesehatan Fak Kedokteran UGM | Strengthening the Evidence Based Health Financing Policy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fact Sheet: Pendidikan–Kemiskinan

25 Maret 2013   11:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi Proses Mengajar di Bangladesh. Sumber: http://www.globalization101.org"][/caption]

Oleh: *dr. Firdaus Hafidz, MPH., AAK

Terdapat istilah “top-down” dan “bottom-up” dalam pendidikan. Beberapa kebijakan populer top-down adalah: pendidikan gratis dan hak pendidikan atau kalau di Indonesia wajib belajar.    Meskipun penduduk saat ini semakin banyak yang sekolah, namun ternyata tidak ada peningkatan yang signifikan dalam peningkatan income. Why?     Kebijkaan top-down untuk pendidikan tidak bisa berjalan dengan baik. Orang datang ke sekolah hanya untuk memenuhi kewajiban. Mereka tidak tahu apa yang hendak mereka capai. begitupula dengan guru dan orang tuanya. Banyak guru absen dari mengajar, dan orang tua tidak perduli dengan nilai anak mereka. Sehingga anak tidak belajar dengan benar. Sedangkan di negara maju, orang mau sekolah karnea mereka tahu bahwa pendidikan penting karena negara mereka terus berkembang, bahkan mereka butuh uang untuk dididik (bottom-up)   Bantuan donor internasional untuk pendidikan adalah sia-sia.    Namun untuk kebijakan top-down sebagai kegiatan awal sangat bermanfaat. Sebagai contoh Sekolah INPRES di tahun 1974-1978.  Pak harto membangun kurang lebih 62 ribu sekolah dari uang minyak. Ternyata orang-orang yang berada di tempat pembangunan INPRES tersebut memiliki kenaikan pendapatan dalam hidup mereka dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan pembangungan sekolah INPPRES. Secara kasar, pendidikan meningkatkan 8% gaji untuk  setiap tahunnya bersekolah. Di Taiwan, dengan meningkatnya pendidikan, menurunkan kematian bayi secara signifikan.  Di Nigeria, dengan meningkatknya pendidikan, menurunkan angka pertumbuhan penduduk.  Namun demikian, masih banyak masalah dalam pendidikan. Di antara lain: survei di India (ASER) menemukan 35% anak India (7-14 tahun)  tidak dapat membaca 1 paragraf.  dan 60% tidak dapat membaca cerita. Hal ini juga terjadi di Kenya, Uganda, Pakistan, ..apa masalahnya?   Ternyata guru seringkali hanya memperhatikan anak yang pintar dalam sekolah. Karena mereka mengejar target sebagai sekolah yang terbaik. Sehingga seringkali guru mengajar hal yang bukan menjadi konsumsi tingkat murid tersebut dan tentu saja ujian menjadi sangat sulit. Hal ini menjadikan murid yang kurang pintar kurang diperdulikan. Oleh karena itu, treatment dengan menggunakan guru pembantu khusus (program Balshaki di India) untuk anak-anak yang kurang pintar sangat membantu. Mereka adalah sukarelawan dari penduduk lokal untuk sekolah. Untuk mengukur keberhasilan program tersebut, diukur dengan melihat “intention to treat” yakni selisih/ difference antara tretment A dan B. Lalu karena ada sekolah yang tidak ikut dalam kegiatan (drop out), maka treatment effect adalah “intention to treat” / proporsi sekolah yang ikut dalam studi.   Pemberian program “Read India” juga sangat bermanfaat, yakni membuat program khusus untuk anak-anak pada saat liburan sekolah oleh guru-guru sekolah. Hal ini membuat anak-anak yang belum bisa membca bisa belajar secara khusus.   Hal ini membuktikan, bahwa peningkatan pendidikan bisa dicapai, bahkan motivasi untuk mengajar dari sukarelawan sangat tinggi. Pendidikan harus mulai dipisahkan antara yang pintar dan kurang pintar, sehingga guru pun bisa mengajar lebih fokus terhadap audience nya untuk target masing-masing.    Ada kecenderungan dari masyarakat di negara berkembang, berharap bahwa dengan semakin tinggi nya pendidikan mereka bisa bekerja di pemerintahan. Padahal fakta membuktikan, bahwa hanya 33% orang yang bisa mendapatkannya. Sehingga semakin tinggi pendidikan, terkadang tidak sesuai dengan harapan pendapatan.  Oleh karena pendidikan membutuhkan biaya, seringkali orangtua hanya menyekolahkan anak hingga tingkat awal saja. Setelah mereka melihat siapa yang pintar, dan hanya anak itu saja yang terus disekolahkan. Bahkan seringkali di negara tertentu, orang tua mereka  mengatakan anak saya ini pintar dan yang satu lagi bodoh. Sehingga si anak juga mengatakan “saya tidak sekolah karena saya bodoh”. Padahal belum tentu anak di tingkat awal kurang pintar tapi banyak juga yang masuk MIT. Bahkan di negara yang masih memiliki kasta, mereka guru yang memiliki kasta rendah akan menilai lebih rendah siswa yang berasal dari kasta yang rendah. Karena merasa ketidak percayaan pada diri dan kastanya. *Penulis adalah peneliti dan dosen di Pusat Kajian Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. dr. Firdaus Hafidz terlibat di berbagai penelitian yang berfokus pada pembiayaan kesehatan, terutama TB dan HIV AIDS sejak tahun 2009. Sumber : Blog pribadi dr. Firdaus Hafidz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun