"We have a responsibility as elected officials to do good public policy in the best interest of all the people", demikian ungkap Maxine Waters. Kata-kata bijak itu sepertinya sedang menguji para anggota dewan perwakilan di Senayan saat  Revisi UU No.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) telah disahkan dalam Rapat Paripurna pada hari Senin, 12 Februari 2018. Beberapa pasal dari Undang-undang tersebut telah mengundang polemik hangat di masyarakat.
Sampai dengan tanggal 17 Februari 2018, hampir 170 ribu orang telah menandatangani penolakan terhadap revisi UU tersebut di situs change.org.Kehadiran Pasal 73, Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 di dalam UU MD3 dianggap telah menghambat kehidupan berdemokrasi yang justru sedang pemerintah kawal perjalanannya saat ini.
Dalam konteks administrasi publik, UU MD3 yang digelontorkan para wakil rakyat justru memberikan teladan negatif terhadap penegakan right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan public atau administrator publik. DPR, sebagai lembaga legislatif, adalah salah satu pelayan publik yang utama di negeri ini melalui undang-undang yang mereka buat yang diharapkan, salah satunya, mampu meningkatkan kecerdasan berpolitik dan bernegara rakyat banyak.
Mengapa UU MD3 patut dikritisi?
Pasal 122 huruf k membuat Mahkamah Dewan Kehormatan (MKD) dapat mengambil langkah hukum terhadap individu, sekelompok orang atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggota DPR. Hal ini tentu sangat rentan menyasar mereka yang selama ini bertugas mengawasi konsistensi moral aparat negara seperti KPK. Dan bisa jadi, kritik ringan semacam memedi media sosial, atau sekedar cuitan kritis di twitter dapat membuat seseorang terjerat dengan mudahnya di bawah pasal karet ini.
Lalu pada Pasal 245 membuat pemeriksaan terhadap anggota DPR harus mendapatkan pertimbangan terlebih dahulu dari MKD sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Hal ini justru sangat berpotensi memperlambat proses hukum terhadap anggota dewan yang melanggar hukum  dan menjadi preseden yang buruk terhadap DPR sebagai institusi yang mestinya menjadi garda terdepan penegakan hukum dan menjadi teladan bagi rakyat yang diwakilinya.
Sementara itu dalam Pasal 73 ditambahkan penekanan kuat kata "wajib" bagi aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, untuk memanggil paksa mereka yang menolak undangan pemeriksaan oleh DPR, dan bahkan di dalam ayat 6 pasal itu, pihak kepolisian dapat menyandera pihak yang menolak hadir dalam pemeriksaan DPR paling lama 30 hari. Pasal ini sangat berpotensi mencederai proses hukum yang selalu menegakkan asas praduga tidak bersalah.
Banyak pihak khawatir pasal-pasal karet tersebut justru menjadi tameng bagi para anggota dewan untuk meredam kritik masyarakat terhadap perilaku mereka di Senayan, sesuatu yang bisa dikatakan sebagai paradoks, saat rakyat justru membutuhkan DPR sebagai representasi kehadirannya di dalam setiap keputusan besar yang dibuat di negara ini.Â
Sebagai 'wakil rakyat' yang dalam konteks pemerintahan diberi label sebagai pejabat publik, dengan konteks kewenangan dan sumber daya yang dimiliki diharapkan rakyat dapat memperjuangkan misi dari setiap kritikan yang diberikan masyarakat.
Menarik yang dikatakan Heryatmoko dalam bukunya Etika Publik, bahwa etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik, buruk, benar atau salah perilaku, tindakan, dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.