Mohon tunggu...
Purwo Sutanto
Purwo Sutanto Mohon Tunggu... -

AKu alumni FTP-UGM 1992, Sejak tahun 2000 sampai sekarang menjadi guru swasta di SMK Jayawisata Surakarta. Selain itu sejak 2004 saya mulai beraktifitas sebagai penyusun beberapa bahan ajar untuk beberapa penerbit di Klaten. Sambilan lainnya bersama istri, menjadi agen penjualan bahan ajar untuk tingkat SD-SMA/K......

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Trik Menyulap Nilai yang Benar

31 Maret 2011   00:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai hari kemarin (Rabu 30 Maret 2011) sekolah-sekolah direpotkan dengan kriteria kelulusan 2011. Dampak negatif dari penggunaan UN sebagai satu-satunya parameter kelulusan jenjang sekolah telah menggelitik banyak orang, dan banyak pihak. Ada yang pro dan banyak juga yang kontra. Bahkan usulan penghapusan UN (Ujian Nasional) pun sangat kuat, dan masih banyak yang memperjuangkan sampai detik ini.
Penggantian pajabat menteri pendidikan nasional dari Bambang Sudibyo ke Muh. Nuh ternyata juga berdampak pada pergantian parameter kelulusan sekolah. Kelulusan sekolah tahun 2011 (apakah berlanjut?) tidak lagi menjadikan nilai UN menjadi satu-satunya parameter kelulusan siswa dari jenjang sekolah tertentu. Namun posisi nilai UN tiap mata pelajaran (mapel) masih memiliki kekuatan sebesar 60%, sedangkan yang 40% lainnya ditentukan oleh nilai sekolah, sebagai nilai akhir, dengan tidak boleh kurang dari 4,00. Kemudian Indek kelulusan nasional dihitung dari rata-rata nilai akhir mapel UN. seorang siswa peserta ujian dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan tertentu (SD atau SMP atau SMA/SMK) dengan ketentuan indeks kelulusannya minimal 5,50.
Nah, saat ini yang menghebohkan bukan lagi bagaimana peserta ujian agar bisa mendapatkan nilai lolos kriteria minimum UN, karena kata kunci dari kelulusan sekolah tahun 2011 adalah justru pada nilai sekolah. Menurut kriteria kelulusan dari kemendiknas, nilai sekolah yang digunakan sebagai penentu kelulusan adalah nilai mapel UN semester 3, 4, 5 dan 6 atau ujian sekolah. dengan demikian sekolah memiliki otoritas penuh melalui dua jalur dalam menentukan kelulusan peserta didiknya, yaitu dari kuantitas nilai raport dan kuantitas nilai ujian sekolah. Formula skenario kelulusan siswa berdasarkan komponen nilai yang sudah ada (nilai semester, dan nilai ujian sekolah) pun siap digelar. Siapa saja peserta ujian yang lulus dan yang tidak lulus bisa terdeteksi dengan akurasi 99%. Bagaimana mengatasi nilai siswa yang diskenario tidak lulus menjadi luluspun bisa disiapkan untuk di dieksekusi.
Bagi sekolah-sekolah yang belum mengisi raport peserta didik (biasanya raport siswa diisi menjelang kelulusan atau ditahun ketiga) tidak begitu report terhadap kondisi kuantitatif nilai siswa di semester tersebut, namun bagi sekolah yang tertib admin, dan mengisi raport sejak siswa tingkat pertama, sekarang ini seolah-olah kebakaran jenggot. Karena ketika mengisi raport dahulu tidak mengira kalau kuantitatif nilai raport bakal turut andil dalam menentukan indek kelulusan siswa.
Urusan kuantifikasi nilai ujian sekolah tidak merepotkan sebagaimana nilai raport, karena sekolah masih bisa dengan mudah dan murah merekadaya nilai tersebut. Hasil rekadayanya adalah kuantitas nilai ujian sekolah yang spektakuler amat sangat bagus. Di sini saya menggunakan istilah kuantitas nilai, padahal nilai juga dalam bentuk angka-angka, dengan alasan makna kunatitatif angka di sini tidak sejalan dengan kualitasnya.
Kata kunci berikutnya adalah rekadaya atau rekayasa nilai peserta ujian. Sesuatu yang tidak bisa dicegah di tingkat sekolah adalah menolong siswa agar bisa lulus. Dan pertolongan yang paling mudah adalah dengan rekayasa atau rekadaya nilai siswa baik tadi. Kenapa tidak bisa dicegah? Sudah menjadi rahasia umum, bahwa langkah ini merupakan konspiratif dalam dunia pendidikan di negeri ini. Ibarat iklan ...apapun makanannya... teh xxx minumannya...
Ada sekolah-sekolah tertentu yang melewati jalur ini dengan hantam kromo alias asal-asalan menaikkan nilai siswa. Misalnya berdasarkan pesan sponsor... kedekatan guru-siswa..pengamatan subyektif terhadap keseharian siswa, dan lain-lain. Kalau hal ini yang terjadi, dampaknya adalah ada sebagian siswa yang dirugikan, terutama dari sisi perubahan peringkat (rangking). Pernah ada berita media cetak yang memuat perkara manipulai nilai seorang siswa, oleh pihak sekolah, dengan motiv agar si siswa bisa lolos seleksi ke PTN tertentu.
Bagaimana menaikkan nilai siswa yang benar dari sisi akademis, maupun gradasi kompetensi/prestasi siswa? Dalam konsep penilaian ada dua jenis acuan penilaian, yaitu Penilaian Acuan Kriteria (PAK) dan Penilaian Acuan Norma (PAN). Konsep PAK menyebutkan bahwa seorang siswa dinilai dengan skor nilai tertentu bila siswa tadi bisa memenuhi kriteria tertentu. dalam konsep PAK, makna kuantitatif angka sejalan dengan makna kualitatifnya. Dan konsep PAK ini juga yang lebih tepat digunakan dalam penilaian kompetensi (kurikulum KTSP bin KBK). Nah, konsep ini oleh mendiknas digunakan sebagai kriteria kelulusan nasional (indeks kelulusan).
Pada konsep penilaian acuan norma (PAN), nilai siswa kemudian diperbandingkan dengan kemampuan peserta didik lainnya, sehingga diperoleh rangking urutan nilai, dari urutan pertama atau rangking satu sampai urutan terakhir. Dalam konsep PAN bisa saja dikombinasikan dengan PAK, namun kalau kemampuan siswa dirasa sangat minim (misalnya sekolah swasta kecil yang inputnya dari out off grade sekolah negeri dan swasta favorit), maka konsep PAN diterapkan berapapun skor nilai siswa. Misalnya sebaran nilai siswa dari 3,5-6,0, maka siswa yang mendapatkan skor nilai 6,0 termasuk nilai peringkat teratas atau rangking satu, dan nilai 3,5 termasuk peringkat terakhir.
Nah dalam kasus mengupgrade nilai (merekayasa nilai) yang lebih baik (benar/akademis), semestinya kita tidak boleh merubah urutan posisi grade siswa secara ekstrem, misalnya yang tadinya peringkat pertama menjadi peringkat tengah atau sebaliknya.
Pada contoh nilai di atas, cara mengupgrade nilai siswa tidak lantas ditambah angka tertentu sedemikian hingga, misalnya nilai 6,0 menjadi 8,0 dan nilai 3,5 menjadi 7,0. Namun dengan sistem peringkat dan menggunakan rumus matematis tertentu, kita bisa mengupgrade nilai itu tanpa merubah performanya. Misalnya kita tentukan nilai tertinggi siswa dari 6,0 menjadi 8,5. Maka rumus matematisnya untuk mengubah skor nilainya adalah (nilai siswa AAA /nilai tertinggi siswa) x 8,5. Jadi kalau rumus itu diterapkan pada rantang nilai 3,5-6,0 hasilnya menjadi 4,96-8,5. Penghitungannya (3,5/6,0 ) x 8,5 = 4,96, dan (6,0/6,0) x 8,5 = 8,5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun