Mohon tunggu...
Purwanto
Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - Menulis dari Kota Minyak

Eksplorasi kehidupan, pelajaran abadi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesan Moral Cerita Rakyat Kalimantan: Legenda Batu Menangis

10 Januari 2021   11:03 Diperbarui: 10 Januari 2021   11:33 7018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri ini memiliki banyak keanekaragaman budaya, salah satunya adalah cerita rakyat. Mulai dari dongeng, legenda, bahkan mitos sekalipun. Masa kecil selalu punya bahan untuk diceritakan kembali.

Dahulu orang tua sering kali membacakan cerita sebelum anak-anaknya tidur, baik itu dongeng. Sampai hari ini pun kebiasaan ini turun temurun masih ada dijumpai orang tua yang berkisah sebelum anak-anaknya tidur.

Di awal tahun 2021, kali ini kita akan membahas  kisah cerita rakyat yang sangat familiar bahkan hingga kini tak lekang oleh waktu. Siapa yang tak kenal Legenda Batu Menangis? 

Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda dan seorang anak gadis yang berada di desa Kalimantan Barat. Anak gadis ini sangat cantik, bentuk tubuhnya sangat indah, rambutnya terurai hingga mata kaki. 

Gadis ini memiliki rambut yang indah tersisir rapi dan berponi. Tersibak kening nya yang halus membuat mata siapa pun yang memandang akan terkesima. Namun sayang perilakunya yang buruk dan manja. Dia sangat pemalas dan setiap hari kerjanya hanya bersolek. Tiap hari selalu menyusahkan ibunya saja dan tanpa mempedulikan keadaan ibunya yang miskin dan bekerja setiap hari untuk mencari sesuap nasi.

Suatu hari, ibunya mengajak anak gadisnya pergi ke suatu desa yang cukup jauh untuk berbelanja. Si gadis ini dengan santai dan mengenakan pakaian yang kontras dengan ibunya yang ala kadarnya. Bak langit dan bumi perbedaan mereka.

Selama di perjalanan, banyak orang yang bertanya kepada si gadis ini tentang siapa yang berjalan di belakangnya. Si gadis ini pun menjawab bahwa ibu yang berada di belakangnya adalah seorang pembantunya. Orang-orang yang lain bertanya lagi, namun si gadis ini tetap menjawab bahwa ibu yang bersamanya adalah seorang budak. Bahkan jawaban itu dilakukan berulang-ulang.

Awalnya si ibu masih bisa menahan diri dari celoteh anaknya menjawab pertanyaan orang-orang sepanjang perjalanannya. Ternyata lama-kelamaan anaknya kian menjadi-jadi dan membuat si ibu merasa kesal dan marah. Ibunya pun berdoa.

"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Begitu teganya anak ini memperlakukan hamba seperti ini.

"Ya, Tuhan, hukumlah anak durhaka ini! doa si ibu.

"Hukumlah dia ...." Tandas si Ibu lagi.

Atas Kemahakuasaan Tuhan, dengan sekejap berubahlah anak gadisnya yang durhaka itu menjadi batu.

Perubahan dimulai dari bawah kaki hingga badan. Ketika itu anaknya menangis dan meminta kepada ibunya untuk mengampuninya. Waktu sudah terlambat. Kini tubuhnya telah menjadi batu seutuhnya. Batu ini mengeluarkan air seperti orang menangis. Oleh karena nya lah legenda ini disebut sebagai "Batu Menangis".

Begitulah kisah legenda yang sangat menyayat hati. Seorang anak satu-satunya yang diharapkan menjadi pelipur lara si ibu memiliki karakter yang sangat jauh dari kata "shalihah". 

Harapan orang tua menjadikan anak-anaknya adalah menjadi pribadi yang senantiasa taat kepada orang tuanya. Bertutur kata yang santun dan selalu berwajah yang ceria ketika di hadapan orang tua khususnya ibu adalah kewajiban seorang anak. Perjuangan orang tua khususnya ibu yang telah melahirkan sejak kecil hingga dewasa bukanlah perjuangan yang ringan. 

Tak terhitung peluh keringat, jiwa, dan raga dipertaruhkan untuk anaknya bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik. Namun, sangat disayangkan jika kita membalas dengan keburukan. Kita terlahir di dunia ini adalah sebuah anugerah terindah, betapa banyak orang di luar sana yang menginginkan anak, namun ada juga yang sampai detik ini pun belum dikarunia seorang anak.

Marilah di awal tahun 2021, kita memperbaiki diri kita dan minta ma'af tidak perlu menunggu momen hari raya Idul Fitri, jika saat ini kita masih diberikan umur dan kesempatan. Mintalah ampun dan maaf atas kesalahan yang seringkali kita lakukan pada ibu kita dan berjanji kepada beliau untuk tidak mengulangi lagi. Kesalahan yang lalu biar melebur dalam ampunannya.

Yakinlah, dengan memperbaiki diri dan memohon restunya dalam aktivitas apapun, semoga kita senantiasa dalam kebaikan dan keberkahan hidup.

Salam hormat untuk Ibunda yang telah menjadi penyemangat dan pendorong kesuksesan hingga detik ini.

Salam dari Ananda yang selalu Mendo'akanmu dari kejauhan,

Purwanto

Balikpapan, 10012021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun