Mohon tunggu...
Purwanto Hadi
Purwanto Hadi Mohon Tunggu... Administrasi - Guru dan Penembang Jawa

"....jangan menunggu sempurna untuk berkarya..."

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi Pilpres PDIP ‘Tidak Cerdas’?

30 Januari 2014   11:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:19 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_292904" align="aligncenter" width="640" caption="Jokowi for President 2014 (baranews.co)"][/caption] Pernah saya tulis di media ini beberapa waktu lalu dua judul sekaligus, pertama, “Musuh Utama Jokowi adalah Megawati” dan kedua, “Menduetkan Mega-Jokowi, Sia-sia?”. Kedua tulisan itu mengupas bahwa selama ini wacana pencapresan Jokowi oleh PDIP hanyalah bubble (gelembung) yang tak kunjung direalisasikan pada sebuah keputusan politik.

Judul pertama memuat kebuntuan pencalonan Jokowi karena masih adanya ambisi tersembunyi Megawati untuk kembali bertarung pada pilpres mendatang. Sedangkan tulisan kedua mengungkap betapa beratnya jago PDIP dalam memenangi pilpres 2014 andai Mega-Jokowi di duetkan.

Dan, naga-naganya tulisan itu mendekati kebenaran. Sebagaimana diungkapkan oleh Tjahyo Kumolo, petinggi PDIP yang dekat dengan Megawati, mengatakan bahwa prioritas utama capres PDIP adalah Megawati, baru kemudian Jokowi (JP, 30/01/14). Jika perolehan suara pileg PDIP mencapai 30% (memenuhi ambang batas pencalonan presiden) maka Megawati sendiri yang akan bertarung dengan didampingi Jokowi. Jokowi baru akan diajukan menjadi capres jika suara PDIP jeblok.

Dengan suara pileg yang 30%, PDIP memprediksi Mega akan memenangi kursi presiden. Ditambah dengan pendukung Jokowi, prediksi itu sepertinya akan terjadi. Hem, namun menurut saya sebenarnya telah terjadi sesat pikir di internal PDIP khususnya Megawati bahwa akan memenangi kursi presiden dengan modal suara pileg. Mengapa?

Pertama, bahwa suara pileg itu tidak linear dengan suara pilpres. Karakteristik pemilih di Indonesia memang demikian. Mereka mempunyai standar yang tidak sama ketika menentukan memilih wakil dan ketika memilih presiden. Di pilpres, profil seorang capres lebih mampu menyihir pemilih ketimbang partai yang mengusungnya. Dengan bahasa sederhana, diusung oleh partai apapun asalkan pesona capres mengkilap akan lebih berpeluang memenangi kontes lima tahunan ini.

Kedua, Megawati adalah stok lama pemimpin negeri ini yang citra personalnya sudah ketinggalan jaman. Terlebih catatan Mega ketika menjadi Presiden maupun Wakil Presiden tidak bagus-bagus amat. Sangat mudah bagi lawan untuk ‘menghabisi’ PDIP jika Mega maju, terlebih Mega dipersepsikan publik sebagai pemimpin yang lambat dan maaf ‘bodoh’.‘Kediktatoran’ Mega ketika memimpin PDIP, yang ‘D’-nya berarti demokrasi, adalah isu empuk yang pasti disambar oleh lawan-lawannya. Genre pemimpin yang kini sedang diimpikan publik adalah yang muda, cerdas, sederhana, cepat, tidak lebay dan tidak gemar pencitraan. Sulit mengatakan bahwa Mega masuk dalam kategori ini.

Ketiga, sulit mengharapkan dukungan dari para pendukung Jokowi jika ia hanya di pasang pada RI-2. Dukungan fanatik para Jokowi lovers hanya untuk RI-1 bukan RI-2. Dan, tidak menutup kemungkinan akan ada eksodus besar-besaran para Jokowi lovers untuk menyeberang ke capres lain atau setidaknya abstain. Mereka hanya mendukung Jokowi tidak mendukung Megawati.

Keempat, budaya sungkan di internal PDIP bisa jadi akan menjadi bumerang. Realita bahwa tidak sedikit kalau tidak mau dikatakan banyak, bahwa di jajaran PDIP pusat hingga ke daerah-daerah banyak yang tidak sreg dengan majunya Megawati, bisa tak terbaca dengan cerdas. Sepeninggal Taufik Kiemas, tidak ada orang PDIP yang mampu menasehati Mega. Di Ngawi Jatim, tempat tinggal saya, Bupati Ngawi yang ketua DPC PDIP, kini terang-terangan sudah memasang banyak sekali baliho besar bertuliskan Jokowi Capres 2014 dengan gambar dirinya dan Jokowi. Dan rasanya ini juga terjadi di banyak daerah.

Jadi, kalau memang Duet Mega-Jokowi itu direalisasikan, maka tidak hanya sebuah strategi yang tidak cerdas, terlebih peluang PDIP untuk kembali ke tampuk kekuasaan sulit terwujud. Dan momentum bagus ini hanya akan menjadi momentum biasa. Nah, kalau seperti itu masihkah Mega akan ngotot maju capres? Akankah PDIP menyia-nyiakan Jokowi? Kita tunggu (mr.poor12).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun