Hari Pertama aku menjadi guru 15 tahun silam masih teringat dengan  jelas di benakku. Ibu kepala sekolah dengan senyum ramahnya berkata " Dek, njenengan seminggu ini jangan pegang kelas dulu, mengamati anak - anak belajar saja dulu biar tahu". Akupun mematuhi pesan beliau.Â
Seminggu itu aku hanya berkunjung ke kelas - kelas, memperkenalkan diri ke bapak ibu guru dikelas - kelas sebagai calon guru baru sambil mengamati cara belajar anak - anak.Â
Tak terasa seminggu sudah waktu berlalu. Â Waktuku pagi itu untuk menghadap ibu kepala sekolah untuk memutuskan sudah siapkah menjadi guru disekolah yang beliau pimpin.Â
Pagi itu sehabis sholat subuh hatiku jadi galau tidak karuan. Aku bingung. Aku teruskan menjadi guru disekolah ini apa tidak ya?Â
Bagaimana tidak galau? Selama seminggu aku mengunjungi sekolah yang  tidak biasa dan lebih cocok aku sebut sekolah aneh atau sekolah unik yang memunculkan rasa syukur.Â
Sekolah itu  kecil seukuran SD Negeri di desa - desa. Meskipun kecil, sekolah itu menampung murid - murid dari berbagai jenjang mulai dari TK,SD, SMP sampai SMA. Tiap satu ruangan yang berukuran 7x8 meter ada empat bilik.Â
Satu bilik  dihuni 4-7 siswa dengan 1 guru kelas.  Yang membuat aku kaget adalah  hampir semua siswanya mengalami gangguan bicara.Â
Andaipun ada yg bisa bicara, ucapannya tidak begitu jelas. Â Wajah anak - anak itu lugu dan bahkan ada yang lucu seperti wajah anak - anak bangsa mongolia.Â
Di Sekolah itu ada 2 anak yang lancar berbicara namun yang membuatku sedih adalah mereka berdua mengalami gangguan pengelihatan. Yang satu hanya mampu memandang benda yg sangat dekat sedangkan satunya Tunanetra atau buta. Salah satu dari mereka dengan santainya bercanda " iya Pak, bagi kami  dunia ini SMS. " lho apa maksudnya SMS, Niko?Â
Dia menjawab :" Siang Malam Sama " . "Ha..ha..ha.."mereka pun tertawa. Â Aku yang mendengar candaan mereka hampir menangis membayangkan betapa gelapnya hari - hari kedua anak ini dan bagaimana masa depan mereka nanti karena mereka buta.Â
Seminggu bergaul dengan anak - anak yang sulit menerima pelajaran dan dua anak Tunanetra disekolah itu membuatku banyak bersyukur.Â