Awalnya saya posting artikel Kucing-Kucingku pun Bertanya di kanal catatan harian, karena isinya catatan untuk refleksi. Baru 10 menit tayang, artikel saya didelete admin, disusuli surat cinta yang menjelaskan artikel saya didelete karena terlalu pendek, kurang dari 70 kata. Kalau di kanal Fiksiana boleh kurang dari 70 kata. Oke, saya cek ternyata memang hanya berisi 64 kata. Rencananya sih akan saya revisi biar sesuai T&C, eh ladhalah ternyata ide saya malah mentok, tapai deh... -__-
Yo wis, daripada cuma saya simpan percuma, akhirnya artikel itu saya posting di kanal Fiksiana. Seumur-umur saya belum pernah posting di sini, bingunglah karena tidak familier. Mengira-ngira kanal mana yang cocok, saya masukkan ke kanal Cermin. Lha tampilan artikelnya kok aneh, tidak ada paragraf, semua baris nyambung jadi satu, piye iki. Lagi bingung mau ngedit, ternyata oleh admin dipindah ke kanal Puisi. Ooh, salah kanal rupanya tadi. Woaaduh jadi malu dan minderlah saya sama fiksianer, ini kan belum layak disebut puisi, lha kok nangkring di situ yah...
Kemudian seorang fiksianer, mbak Jingga, memberi link Lomba Menulis Puisi Desa Rangkat di kolom komen. Saya buka artikel woro-woro lomba puisi itu, temanya keren yaitu “Perempuan dalam Aksara”. Kompasianer yang daftar lomba sudah puluhan dan semuanya kompasianer beken macam Pak Bain Onthel, Pak Astokodatu, Pak Gunawan, Bang Dosman, Oma Eni, Tante Paku, Mbak Gaganawati dsb. Pikir saya, boro-boro mau ikutan lomba, lha seumur-umur saya belum pernah nulis puisi, kecemplung di kanal Puisi juga admin yang masukin.
Sehari kemudian saya lihat-lihat lagi woro-woro lomba itu. Melihat kompasianer laki-laki pada bersemangat ikutan lomba menulis puisi bertema perempuan, insting keperempuanan saya (*haiyaah opo kuwi) jadi merasa tertantang untuk ikutan. Untuk belajar, iseng-iseng saya buka index kanal Puisi. Wuuih, bagus-bagus dan indah-indah semua. Jadi tidak pede kwadrat saya. Lha selama ini kan saya biasanya nulis artikel di kanal Green yang jauh dari keindahan bahasa puisi.
Sore-sore lagi memandangi pohon rambutan tetangga (*sebenarnya sih pengin metik buahnya yang merah menggoda) tiba-tiba cling, eureka! Yes, dapat ide puisiiii... Ide lalu saya tuangkan dalam draft dulu, setelah jadi saya baca. Ya ampuun, sambil baca itu saya ngakak tidak bisa mingkem, lha hasilnya mirip tulisan orang lagi kena virus Vickynisasi, hancuurr cuur.... wkwkwkwk....
Revisi, revisi dan revisi lagi sambil bolak balik buka KBBI. Susah juga mencari diksi yang tepat. Rupanya otak ini lebih familier dengan istilah-istilah environment, jadi loadingnya agak lambreta untuk nemu diksi yang indah-indah untuk puisi hihihii...
Setelah 4 jam revisi sana sini (*hah lama amiir), jadilah sebuah tulisan yang agak-agak mirip puisi berjudul Perempuan-Perempuan Penjaga Asa. Dengan modal puisi KW13 itu, saya beranikan diri daftar Lomba Menulis Puisi Desa Rangkat, dapat nomor pendaftaran 91. Hadeww deg-degan saya, kuatir jangan-jangan nanti panitianya pada mabok kalo baca puisi ala saya itu, saking tidak jelasnya. Lha saya sendiri juga bingung bacanya... -__-
Motivasi saya ikut lomba sekedar menjajal bagaimana sih belajar menulis puisi itu. Meskipun hasilnya satu puisi ecek-ecek kayak gitu saja, saya sudah sueeneng poll sampai nyaris koprol (*tapi gak sambil ngemut jempol apalagi ngemil jengkol) wkwkwk..... Wuuah ternyata buat saya menulis puisi itu tidak mudah, lebih mudah menulis artikel untuk habitat saya, kanal Green tercinta. Kurang imaginatif kali saya. Kalau panitia lomba memasukkan kriteria PUISI TERCULUN, pasti puisi sayalah juaranya hihihi... ^__^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H