Mohon tunggu...
Muhammad Eko Purwanto
Muhammad Eko Purwanto Mohon Tunggu... Dosen - ALUMNI S3 UNINUS Bandung

Kuberanikan diri mengubah arah pikiran dan laku. Menyadarinya tanpa belenggu, dan identitas diri. Memulai hidup, merajut hidup yang baru. Bersama Maha Mendidik, temukan diri dalam kesejatian. Saatnya berdamai dengan kesederhanaan. Mensahabati kebahagiaan yang membebaskan. Cinta, kebaikan, dan hidup yang bermakna, tanpa kemelekatan yang mengikat. Hidup berlimpah dalam syafaat ilmu. Mendidikku keluar dari kehampaan. Hidup dengan yang Maha Segalanya, Menjadi awal dan akhirnya dari kemulyaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup yang Tak Pernah di Uji, Tak Layak Dijalani?!

8 November 2024   19:14 Diperbarui: 8 November 2024   21:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Muhammad Eko Purwanto

Dalam perjalanan hidup, setiap manusia tak lepas dari cobaan dan ujian yang mewarnai kehidupannya. Namun, bagi sebagian orang, ujian sering kali lebih berat, seakan-akan mereka dipilih oleh  Allah, untuk menjadi objek kesalahpahaman, keremehan, dan fitnah. Dalam kondisi ini, pertanyaan pertama yang terkadang muncul adalah, mengapa saya menjadi sasaran perilaku negatif orang lain? Bagaimana penilaian mereka terhadap saya bisa menjadi begitu keliru? Perasaan ini bisa sangat melelahkan dan membebani, menjadikan hidup terasa tak adil dan membingungkan !!?

Penilaian dan persepsi orang lain sering kali terbentuk dari skenario sosial yang kompleks. Di satu sisi, Edmund Husserl, seorang filsuf fenomenologi, menyatakan bahwa persepsi kita dipengaruhi oleh horizon pengalaman kita sendiri. Demikian pula, masyarakat membentuk pkitangan mereka berdasarkan pengalaman terbatas dan prasangka yang sudah ada sebelumnya. Maka tidak heran, jika kadang penilaian mereka tentang diri kita menjadi jauh dari kenyataan yang sebenarnya.

Ibnu Khaldun, seorang filosof dan ilmuwan Muslim, pernah mengatakan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan untuk membentuk sikap berdasarkan konteks sosial dan budaya yang mereka alami. Dalam hal ini, bisa jadi Kita menjadi korban dari stereotipe yang keliru atau ketidakpahaman sosial. Adakalanya, orang cenderung mengikuti arus mayoritas tanpa mempertanyakan kebenarannya, memperburuk rasa keadilan dan kebijaksanaan dalam berperilaku sosial.

Sumber gambar: Dok. Pribadi (Ujian di STIE BII Bekasi)
Sumber gambar: Dok. Pribadi (Ujian di STIE BII Bekasi)


Namun, tidak semua akar masalah bersumber dari luar. Muhammad Iqbal, seorang pemikir dan penyair Muslim, menyarankan kita untuk bertanya, seberapa banyak dari dalam diri kita yang bisa diubah? Dalam cermin ini, mungkin kita dapat menemukan sumber kekuatan untuk menghadapi fitnah dan keremehan dari luar. Kadang kala, diri kita yang sesungguhnya lebih kuat dari sekadar penilaian orang lain. Kita harus bisa membedakan mana kritik yang membangun dan mana yang hanya suara-suara kosong tanpa dasar.

Kadang-kadang, cara kita mempersepsikan diri sendiri, juga turut menentukan bagaimana kita diperlakukan oleh orang lain. Ketika kita memberi ruang bagi keraguan dalam diri sendiri, atau ketika kita menyimpan rasa rendah diri, hal itu dapat terpancar ke luar !?. Albert Camus, meski bukan filsuf Muslim, menyinggung bahwa pejuang tak mengenal kekalahan, hanya kegagalan. Refleksi ini menekankan pentingnya keberanian kita dalam menghadapi hidup, seberat apapun ujian yang kita hadapi !!?

Ujian hidup, menurut Jalaluddin Rumi, bukanlah beban melainkan hadiah, karena melalui ujian tersebut, kita bisa mengenal kualitas diri kita sendiri. Melalui ancaman dan tantangan, sifat sejati kita lahir. Ini mungkin terdengar klise, namun sering kali benar bahwa mereka yang diremehkan bisa berkembang menjadi versi diri mereka yang paling luhur, menyatakan konsistensi dan ketahanan sepenuh jiwa.

Ketika orang lain berusaha menjatuhkan Kita, ada kalanya itu bukan karena kekurangan dalam diri Kita, tetapi karena ketidakamanan mereka sendiri. Rasa tidak aman ini bisa muncul dari rasa iri, cemburu, atau bahkan ketidakmampuan untuk bersaing dalam kesetaraan. Orang-orang ini sering kali tidak sadar bahwa mereka justru melemahkan diri mereka sendiri dengan berfokus pada kelemahan orang lain.

Al-Farabi, seorang filsuf Muslim terkemuka, menekankan pentingnya keharmonisan dan kolaborasi dalam masyarakat yang sehat. Untuk mencapai tatanan sosial yang adil dan harmonis, dibutuhkan orang-orang yang saling mendukung dan menghargai kemampuan satu sama lain. Ketika ini tidak terjadi, sering kali hasilnya adalah masyarakat yang terpecah-belah dan individu yang mengalami penderitaan emosional.

Tidak jarang perilaku negatif berakar dari rasa takut akan perubahan, atau hal yang dianggap asing. Rasa asing ini bisa datang dari perbedaan nilai, budaya, atau keyakinan. Ketika kita berada pada kondisi yang tidak mudah dipahami oleh orang lain, bisa jadi sebab bahwa kita menjadi target mudah untuk disalahpahami atau bahkan di fitnah. Penting untuk diingat bahwa keunikan adalah bagian dari kekayaan pengalaman manusia !!!

Bagi diri kita sendiri, tantangan ini mengajarkan satu pelajaran universal: nilai manusia sejati tidak ditentukan oleh orang lain, tetapi oleh tindakan dan keputusan kita sendiri. Ketika hidup menguji kita, ia juga memberi kita kesempatan untuk membuktikan komitmen kita terhadap kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai yang kita anut. Itulah hidup yang sesungguhnya 'layak dijalani' menurut prinsip-prinsip makna yang mendalam.

Upaya untuk melewati ujian ini, kita tidak harus berjalan sendirian. Membangun jaringan dukungan positif dengan orang-orang yang memahami dan menghargai kita, bisa menjadi pelindung berharga dari gangguan dunia luar. Bersama mereka, kita bisa membangun perisai ketahanan yang kuat, tidak hanya untuk bertahan tetapi juga untuk tumbuh dan berkembang !!?

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, kebenaran tidak bisa dirusak oleh suara mayoritas yang salah. Keyakinan dan nilai pribadi harus berakar kuat dalam batin kita, tidak mudah berubah dengan opini publik yang bergejolak atau serangan fitnah yang sering kali tidak berdasar.

Pada akhirnya, kita kembali kepada pertanyaan hakiki dari keberadaan kita. Hidup yang tidak pernah diuji tidak layak untuk dijalani, karena tantangan bukanlah penkita kelemahan, tetapi merupakan peluang untuk memperkokoh ketahanan dan integritas kita. Sebagai manusia, tugas kita adalah menjawab setiap ujian dengan integritas, kebijaksanaan, dan kasih sayang.

Jadi, setiap tantangan pasti akan datang pelajaran yang dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan manusiawi. Penting untuk melanjutkan perjalanan ini, kita bisa melihat setiap rintangan sebagai anak tangga menuju kebijaksanaan, dan menyadari bahwa jalan yang Kita tempuh bukanlah tkita kelemahan, melainkan kekuatan yang mungkin belum sepenuhnya kita sadari ?! Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 08 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun