Lebih lanjut, filsafat pendidikan juga harus mampu mengkritisi dogma-dogma ilmiah yang seringkali menjadi penghalang bagi kemajuan. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Kuhn, "Paradigma ilmiah yang mapan cenderung menolak teori-teori baru yang tidak sesuai dengan konsensus yang ada."Â
Dalam konteks ini, filsafat pendidikan bertugas untuk mendorong masyarakat ilmiah agar bersedia membuka diri terhadap perspektif-perspektif baru, mengembangkan pengetahuan yang lebih holistik dan responsif terhadap perubahan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Jean-Jacques Rousseau, yang menekankan pentingnya pendidikan yang berpusat pada peserta didik, memfasilitasi mereka untuk mengembangkan potensi dan kemampuan belajar secara mandiri.Â
Dengan demikian, filsafat pendidikan harus mampu mengubah paradigma pembelajaran, dari yang semula berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Guru tidak lagi ditempatkan sebagai pemilik otoritas tunggal, melainkan sebagai fasilitator yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri.
Dalam upaya mendobrak konservatisme ilmu, filsafat pendidikan juga harus mampu menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik. Sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles, "Teori tanpa praktik adalah hampa, sementara praktik tanpa teori adalah buta." Oleh karena itu, filsafat pendidikan harus mampu mengintegrasikan pemikiran teoritis dengan realitas lapangan, menghasilkan inovasi-inovasi yang dapat diterapkan secara nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Di sisi lain, filsafat pendidikan juga harus mampu menjawab tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi yang begitu pesat. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan, "Teknologi adalah perpanjangan dari diri manusia." Dengan demikian, filsafat pendidikan harus mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk memperluas cakrawala pengetahuan, mendorong kolaborasi global, dan memfasilitasi pembelajaran yang lebih efektif dan inovatif.
Dalam konteks Indonesia, filsafat pendidikan harus mampu menjawab tantangan keberagaman budaya dan sosial yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Confucius, "Pendidikan yang baik adalah yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lokal."Â
Oleh karena itu, filsafat pendidikan harus mampu mengembangkan kurikulum dan metode pembelajaran yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta menghargai kearifan lokal sebagai sumber pengetahuan.
Selain itu, filsafat pendidikan juga harus mampu menghadirkan ruang bagi partisipasi aktif masyarakat, termasuk orang tua dan pemangku kepentingan lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey, "Pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman."Â
Dengan demikian, filsafat pendidikan harus mampu mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pembelajaran, sehingga pendidikan dapat menjadi wahana untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang dihadapi oleh komunitas.