Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Third)
Wira D. Purwalodra (Third) Mohon Tunggu... Guru - Terus menjadi pembelajar dan menjadikan rasa syukur sebagai gaya hidup.

Mimpi besarnya saya saat ini adalah menyelesaikan Studi-studi saya, kembali ke kampung halaman, memelihara ikan, bebek, berkebun, terus belajar, terus mengajar, sambil menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengalirkan Bahasa Nalar Ke Bahasa Universal (2)

24 Maret 2009   06:27 Diperbarui: 15 Oktober 2023   13:10 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Wira D. Purwalodra

Pada tulisan pertama dari dua tulisan dengan judul yang sama, saya mengutip pernyataan seorang ahli filsafat bahasa dari Austria, Ludwig Wittgenstein, bahwa hakekat bahasa bagi manusia merupakan suatu orientasi hidup manusia, yang bukan saja tentang pemahaman konsep hidup manusia, melainkan juga faktor individual yang mencakup perasaan, nilai, pikiran, budaya, hingga hal-hal yang tidak masuk akal (takhayul). Kedudukan bahasa sangat penting dalam kehidupan manusia, karena bahasa sangat menentukan hubungan, pergaulan, dan dinamika kehidupan manusia. Dengan bahasa, maka manusia mengembangkan budayanya secara dinamis.

Pada bagian lain, saya mengemukakan bahwa pengajaran bahasa merupakan upaya untuk melibatkan mata pelajaran bahasa, dengan perasaan, minat, dan kebutuhan siswa. Kemudian, untuk mampu mengalirkannya ke dalam bahasa universalnya, maka perspektif siswa harus benar-benar terbuka, agar kemampuan imajinasinya mampu menghidupkan intuisi siswa.

Dalam tulisan ini, saya akan mengemukan pentingnya diri kita dan peserta didik, dalam memahami salah satu jalan masuk kedalam zona bahasa universal, yang sering kita gunakan sehari-hari tanpa menyadarinya. Salah satu jalan masuk memasuki zona percakapan dengan bahasa universal ini, yang sehari-hari kita menyebutnya, Self Talk (berbicara dengan diri kita sendiri).

Sebelum saya membahas lebih jauh tentang self talk tersebut, maka izinkan saya mengupas sedikit tentang kekuatan yang sangat besar yang ada dalam diri kita, yang mampu menyentuh dan mempengaruhi kehidupan kita dan orang lain, sedemikian dalam, yaitu pada saat kita menjadi diri kita sendiri (kesadaran).

Ada suatu istilah yang dikenal di dalam dunia kepemimpinan, mengenai kekuatan dari suatu pengaruh yang sangat besar yang dapat diberikan oleh seorang pemimpin kepada lingkungannya. Istilah tersebut ialah kata "authentic" yang berasal dari bahasa Yunani kuno "authentikos". Kamus Webster memberikan definisi untuk kata tersebut sebagai berikut: asli (not false or imitation, original), murni (genuine). Selain itu definisi yang diberikan oleh The Ethics Center for Engineering and Science dari Massachussetts Institute of Technology (MIT) untuk kata "authentic" adalah "tidak adanya kemunafikan" atau "membohongi diri sendiri" (the absence of hypocrisy or self-deception) yang lebih lanjut juga dijelaskan oleh kamus Webster sebagai tidak munafik (genuine, not being a hypocrite). Kata munafik (hypocrite) sendiri berarti "berpura-pura, meniru" atau "bertindak seolah-olah" untuk sesuatu (kebiasaan, nilai, atau karakter) yang orang tersebut sebenarnya tidak dia miliki.

Dalam konteks belajar-mengajar pada umumnya, tidak terbatas kepada mata pelajaran bahasa saja, ketika seorang Guru menyampaikan bahan ajarnya dengan kesadaran penuh (tanpa gangguan/hambatan apapun), mengenai apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan dicita-citakan, maka mentalitas seorang Guru itu akan mengalirkan energi kesadaran tersebut kepada peserta didiknya. Dengan kata lain, apapun yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh Gurunya, maka mentalitas bawah sadar (pikiran bawah sadar) anak didiknya akan mengadopsinya, seketika itu juga, dengan daya serap yang sangat tinggi dan ketuntasan yang paripurna. Kunci untuk mengalirkan bahasa nalar ke bahasa universal bagi seorang Guru, dalam konteks ini, adalah kesadarannya. Ingat rumus fisika Einstein, e = m.c2 (energi = berat badan seseorang dikalikan dengan kuadrat kesadarannya (conscious) --- c = kecepatan cahaya menurut newton.

Kesadaran untuk mengalirkan bahasa nalar ke dalam bahasa universal, adalah dengan menjadikan diri kita authentic (menjadi diri kita sendiri). Para ahli spiritual mengatakan bahwa orang yang memiliki kesadaran tinggi, adalah orang yang memiliki energi tinggi alias semangat yang tinggi. Dan pernyataan ulama populer dalam dunia Islam "man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?" artinya, barang siapa tahu akan dirinya (baca, kesadaran), maka ia tahu akan Tuhannya. Dengan menjadikan diri kita subyek dari lingkungan kita, maka kita bisa melakukan self talk (berbicara dengan diri kita sendiri) dengan bahasa universal, antara diri kita yang fisik dengan diri kita yang halus, antara fikiran dengan hati nurani, atau antara diri kita yang kasat mata dengan diri kita yang authentic.

Godbey mendefinisikan bahwa self-talk adalah berbicara pada diri sendiri ketika kita ada masalah. Negative self-talk dapat menjadi akar penyebab mengapa beberapa siswa mengalami kegagalan dalam pelajaran tertentu. Ketika menghadapi masalah mata pelajaran tertentu, apabila siswa secara konstan mengatakan pada diri mereka "Saya tidak dapat mengerjakan mata pelajaran ini-itu. Saya tidak pernah mendapat nilai bagus dalam mata pelajaran ini-itu", maka siswa tersebut sudah pasti tidak dapat memecahkan masalah yang sederhana, karena di dalam fikirannya sudah berbicara kepada dirinya yang authentic, tentang kegagalan pada diri mereka sendiri. Begitupun sebaliknya, jika seorang siswa dengan keyakinannya mengatakan pada diri bahwa ‘aku bisa menyelesaikan mata pelajaran ini-itu', maka perhatikan apa yang terjadi ?. Ternyata siswa tersebut dengan mudahnya menyelesaikan persoalannya dengan baik. Oleh karena itu, siswa perlu membiasakan Positive self talk.

Kita sudah sangat sering mendengar pepatah: "First we create our habits, then our habits create us," yang artinya, pertama-tama kita membentuk kebiasaan, selanjutnya kebiasaan akan membentuk kita. Apa yang Aristoteles katakan dengan sangat tepat menjelaskan pengaruh kebiasaan terhadap hidup kita. Kebiasaan (habit) yang kita bentuk sejak masa kecil menentukan kualitas hidup kita di masa depan. "In short, the habits we form from childhood make no small difference, but rather they make all the difference." (Aristotle).

Oleh karena itu alirkan bahasa nalar kita ke bahasa universal, dan mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : Bukan seberapa cerdas anda, tetapi bagaimana anda menjadi cerdas !.

Bagaimana, kalau begitu !

Bekasi, 21 Maret 2009.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun