Ketika minat baca masyarakat semakin tinggi, dilain pihak, berita-berita media massa, menginformasikan bermacam-macam negatifitas di masyarakat, maka buku-buku yang membawa pesan spiritual dan membangun sikap individual akan sangat diminati. Apalagi ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami publik, serta menghibur.
Berawal dari kondisi ini, maka writerpreneurship menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari. Mulai dari penulis pemula, sampai penulis kelas sepuh (baca penulis senior), beramai-ramai memutar roda industrialisasi lis-menulis ini. Kita sangat berharap baik, kepada para penulis, agar kelak mampu menyajikan informasi yang bernuansa spiritual. Sehingga, informasi yang sampai kepada publik menjadi cermin dan sebagai fondasi membangun kharakter bangsa. Tetapi, kenyataan yang terjadi, sekarang, bahwa informasi yang sangat berlimpah digunakan sebagai bahan strategi, taktik dan siasat, untuk mengantisipasi keuntungan material sebesar-besarnya. Bukan untuk memberikan kesadaran individual.
Selanjutnya, kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa sebagian besar informasi diperoleh dari data-data investigasi. Sementara, pihak-pihak yang terinvestigasi tidak mengetahui, bahwa data-data tersebut kelak menjadi komoditas publik, yang menghasilkan keuntungan material. Kondisi ini akan menjadi mata-rantai yang tidak pernah putus. Akibatnya, informasi yang tersaji di media massa tidak memiliki ‘ruh' yang membagun kharakter bangsa.
Ketika, masyarakat dihidangkan informasi yang sarat negativitas, dengan demikian kita secara langsung mendidik masyarakat ke arah ‘anakhisme' mental. Sebagai contoh saja, tukang ojek, tukang becak sampai pedagang rokok dipinggir jalan, memahami bahwa negaranya berada dalam krisis ekonomi global. Padahal, sehari-hari mereka masih bisa makan, menyekolahkan anak-anaknya dan membayar cicilan sepeda motor. Akibatnya akan sangat fatal, jika setiap individu merasa dirinya juga tertimpa krisis global. Mereka akan kesulitan makan, sulit menyekolahkan anak-anaknya, bahkan mangkir menyicil kredit sepeda motornya. Maka, terbentuklah sikap merasa sulit, susah, tidak bisa, tidak mampu, tidak mungkin, dari masyarakat yang meresahkannya. Kalau sudah begini, perhatikan apa yang terjadi ?. Produktivitasnya menurun, semangatnya kendur, dan harapannya sudah tidak baik lagi.
PERAN ULAMA DAN UMARO
Kalau dipikir-pikir, media massa (Koran dan majalah), saat ini, bukan lagi bertujuan menyampaikan informasi dengan cara indah untuk dinikmati, menghibur apalagi mencerahkan. Tapi lebih kepada usaha untuk menakut-nakuti masyarakat, bahwa negatifitas sudah merebak dimana-mana. Maka ujung-ujungnya, peran orang-orang yang punya kuasalah (umaro dan ulama), yang dituntut untuk memperbaikinya.
Izinkan saya melebarkan, cara pandang saya, tentang peran Ulama dan Umaro, dalam memperbaiki kondisi masyarakat yang katanya sedang mengalami beban penderitaan, berupa krisis ekonomi global. Bagi saya, Ulama adalah Ibu, bagi masyarakat atau ummatnya. Sementara, Umaro adalah Bapak bagi masyarakat atau rakyatnya.
Seorang Ibu, yang penuh kasih kepada anak-anaknya, akan berusaha melindungi apapun yang membahayakan bagi anaknya, sekaligus mendidiknya dengan lembut, agar kelak kemudian hari, si anak mampu menjadi individu yang dewasa, mandiri dan memiliki kekuasaan (bagi diri sendiri dan pengikutnya). Sedangkan, seorang Bapak, selain memberikan nafkah lahir dan bathin, akan berusaha mendisiplinkan anak-anaknya, memberikan bekal pengetahuan, bagaimana menjadi seorang yang dewasa, mandiri dan memiliki kekuasaan tersebut.
Kemana lagi, masyarakat, rakyat atau ummat, sebagai anak dari Ulama dan Umaro di republik ini, untuk meminta solusi hidupnya. Jika Ulama sebagai Ibunya masyarakat, rakyat atau Ummat, tidak lagi peduli dengan pendidikan anak-anaknya, tidak lagi melindungi dan bertanggungjawab atas keselamatan anaknya, tidak lagi lembut dan penuh kasih kepada anaknya. Kalau benar-benar ribuan Ulama melakukan peran dan fungsi sebagai Ibu bagi ummatnya, tidak mungkin kondisi masyarakat semenderita sekarang ini, seperti yang kita baca di Koran-koran.
Jika Umaro, juga melaksanakan hal yang sama seperti Ulama, bagaimana caranya menjadi rakyat yang dewasa, mandiri dan memiliki kekuasaan atas dirinya. Maka, krisis apapun yang menimpa rumah tangga Ulama dan Umaro, mampu diatasi dengan jiwa yang lapang. Tidak perlu melibatkan anak-anaknya untuk menanggung beban, yang sebenarnya bisa dipikul sendiri oleh Bapak dan Ibunya. Namun, kondisi ini akan berubah menjadi bencana, apabila Bapak dan Ibu masyarakat, merubah peran dan fungsinya. Ibu ingin berperan menjadi Bapak, sementara si Bapak tidak menjalankan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Ketika Ibu dan Bapak tidak lagi menjalankan peran dan fungsinya secara proporsional, maka anak-anaknya tidak lagi menemukan solusi-solusi atas hidupnya, yang masih berada dalam masa transisi, secara individual. Akhirnya, keputusan si Ibu menjadi sumber keresahan sebagian anak-anaknya, dan tindakan si Bapak melahirkan anarkisme mental pada anak-anaknya.
Biasanya anak-anak akan lebih peka dan paham akan konflik kepentingan yang terjadi dengan kedua orangtuanya. Oleh karena itu, si anak akan mencari solusi-solusi hidupnya sendiri dengan membaca situasi dirinya dan orang tuanya (menangani masalah sendiri), baik melalui indra fisiknya, maupun indra bathinnya, baik secara positip maupun negatif. Dan writerpreneurship adalah bagian dari salah satu solusi anak-anak bangsa, yang mencari identitas dirinya, secara positip.