[caption id="attachment_313954" align="aligncenter" width="300" caption="foto: http://ujanbikingila.com"][/caption]
Hujan
Beberapa waktu lalu kita merayakan Imlek, tahun baru dalam penanggalan China. Di hari itu, harapan masyarakat Tionghoa akan kehidupan yang lebih baik dalam satu tahun berikutnya ditandai dengan hujan tidaknya malam pergantian tahun. Jika hujan, berarti pertanda kemakmuran dan jika sebaliknya, maka hidup akan sulit. Hujan menjadi penanda harapan kehidupan.
Hal ini sesuai tradisi nenek moyang mereka di dataran Tiongkok yang memerlukan hujan dalam siklus iklim dan musim tanam sebagai negara agraris. Oleh karenanya, dengan jatuhnya hujan di hari raya Imlek menjadi tanda datangnya Chunjie atau hari raya musim semi.
Begitu juga di Indonesia. Sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian, hujan akan menjadikan kesuburan tanah dan cadangan air terjaga. Tanpa hujan, tanah tak akan mampu menghasilkan kebutuhan pangan, kekeringan akan melanda dan kehidupan bakal jadi sengsara.
Maka, jika tak tiba, hujan akan diupayakan kehadirannya. Banyak fakta budaya di seluruh suku bangsa di dunia, membuktikannya. Salah satunya adalah ritual dalam bentuk tari. Dalam budaya Jawa, tari tayub menjadi elemen penting dalam ritus memanggil hujan yang diadakan di daerah-daerah pertanian. Pertunjukannya kerap dihadirkan di pinggir sawah atau mata air dibawah rimbunan pohon.
Ritual kesuburan semacam itu juga dikenal di Banyuwangi dalam bentuk tari Seblang, di Bugis-Makassarmelalui upacara Mappalili, di suku Danyak Kenyah (upacara Lepeq Majau) begitu juga daerah lain di Nusantara. Logika kearifan lokal semacam inilah yang menghadirkan simbolisme kesuburan melalui sosok Dewi Sri (di Jawa), Nyi Pohaci (budaya Sunda), Bini Kabungsuan (Dayak), sebagai contoh.
Di belahan dunia lain seperti China sendiri, juga terdapat sebuah tarian gembira yang digunakan dalam upacara meminta hujan. Begitu juga di wilayah Amazon, dikenal tari Itogapuk dengan fungsi sosial budaya yang sama (Curt Sach, 1963).
Namun kenyataannya, berkah yang diharapkan melalui hujan yang jatuh di tahun baru Imlek, berubah menjadi bencana yang mengerikan. Kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi dengan intensitas hujan yang tinggi dan merata di berbagai daerah memunculkan bencana banjir dan tanah longsor, seperti terjadi di Indramayu, Batang, Pekalongan, Pati, Rembang, Tuban, Pasuruan, dan Situbondo.Iibukota Jakarta bahkan berubah menjadi kolam luas berwarna kecoklatan dengan orang-orang kebingungan mencari daerah kering yang luput disergap banjir.
Hal ini diakibatkan tidak adanya sumber resapan air yang cukup karena penggundulan hutan, penebangan pohon di sana-sini dan sistem sanitasi yang buruk, hasil pembangunan yang tak memperhitungkan dampak lingkungan sekitarnya.
Kita seperti kaum Nabi Nuh yang diperingatkan oleh Tuhan karena nafsu manusia untuk merusak alam telah berada di titik ekstrem. Hukuman Tuhan berupa banjir yang mampu menghapus seluruh jejak kehidupan yang ada. Air hujan kini tidak lagi seindah lagu masa kecil yang bisa dinyanyikan dengan riang gembira. Hujan berubah menjadi hukuman.
Kita perlu menghargai kearifan lokal yang mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Alam adalah sebuah struktur pengetahuan global yang mempunyai bahasanya sendiri. Manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitatif dan konfrontatif terhadap habitat alamnya, maka manusia pasti kalah. Buktinya jelas dan kita alami saat ini. Kini saatnya merenung dan menyadari betapa rapuhnya posisi kita di hadapan semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H