(Goyang) Caesar dan Wajah (Televisi) Kita
[caption id="attachment_314063" align="alignleft" width="300" caption="YKS & Goyang Caesar - foto: youtube.com"][/caption]
Beberapa waktu lalu, acara Yuk Keep Smile (YKS) yang ditayangkan Trans-TV menuai banyak kritikan. Program ini dianggap tidak mendidik, dengan materi hiburan (humor) yang vulgar, slapstick dan banal. Di media sosial bahkan telah muncul petisi penghentian tayangan tersebut. Menurut petisi tersebut YKS menjadi “acara komedi yang tidak berkualitas dengan kata-kata kasar, menyiksa orang (entah itu menjawab kuis dengan kaki dimasukkan air es atau menabur tepung ke mulut lawan), sampai dengan goyangan tidak jelas yang dilaksanakan 1 jam penuh dengan latar musik yang berlirik vulgar. Bukannya dihentikan, stasiun televisi lain malah membuat acara yang sama persis. Tidak hanya itu, acara-acara tersebut ditayangkan di waktu primetime dan tentu saja ini mengganggu, terkait dengan anak-anak yang masih terjaga pada jam tersebut”.
YKS merupakan kelanjutan dari acara Yuk Kita Sahur yang tayang pada bulan Ramadhan 2013. Acara ini meledak bersama goyang Cesar yang mengajak penonton menari bersama dalam gerak mengiringi lagu dangdut Buka Dikit Joss, yang dipopulerkan Juwita Bahar. Penonton menari kompak dipimpin kreator goyang tersebut, Caesar Aditya Putra. Goyang Caesar dianggap Gangnam style-nya Indonesia, mengacu pada gerak tari kontemporer dari Korea yang popular beberapa waktu lalu.
Caesar seorang tukang ojek tamatan SMA berpenampilan sederhana. Selain itu, ia bekerja di panggung-panggung dangdut kampung dan bertugas mengumpulkan saweran penonton sambil bergoyang mengepaskan irama hentakan ketipung. Goyang seperti cacing kepanasan.
Dari pekerjaannya itu, Caesar mulai mengenal para artis panggung, lokal, daerah hingga menasional. Niatnya mencari pekerjaan agar bisa kuliah menemu jalan ketika ia bisa bekerja menjadi asisten komedian Yadi Sembako, Budi Anduk dan juga Bopak. Karena sering mondar-mandir di stasiun TV, maka artis Shoimah merekrutnya menjadi salah satu pembantu acaranya di TV bersama Yadi Sembako. Ketika ia bergoyang ala cacing kepanasan itu, salah seorang produser acara TV melihatnya dan segera menariknya menjadi pengisi acara tetap. Tugasnya: memimpin penonton yang hadir di studio untuk bergoyang seiring lagu dangdut.
Kini hidup Caesar yang sederhana berubah 180 derajat menjadi pesohor dengan acara tetap di TV. Acara yang dibawakannya juga melahirkan banyak varian acara serupa di TV-TV lain. Caesar kini menjadi bahan berita.
[caption id="attachment_314064" align="aligncenter" width="300" caption="Caesar - foto: liputan6.com"]
Pesan Media
Produser acara TV menyadari bahwa khalayak akan tertarik jika pesan media mempunyai syarat-syarat yang terkait dengan novelty (sesuatu yang baru), dipengaruhi oleh jarak (jauh dekatnya khalayak dengan obyek yang ditampilkan media), bersifat komedi, menyangkut seks atau keindahan, terkait dengan emosi, menyangkut nostalgia dan juga berkaitan dengan human interest.
Setelah Tukul dan Sule mulai membosankan, dibutuhkan sosok yang mampu menciptakan kreativitas baru. Seiring munculnya acara-acara musik yang menghiasi TV dari pagi hingga malam hari (lengkap dengan penonton berbayarnya), diperlukan jurus jitu agar mampu merangkum semua itu dalam ramuan sajian yang mampu mengajak penonton terlibat langsung dalam acara, sukur dalam jumlah besar.
Dan Caesar, adalah orang yang tepat di saat yang tepat. Gerakan tubuhnya ketika mengepaskan diri dengan hentakan ketipung ditangkap tim kreatif TV sebagai ide segar yang bisa ditampilkan. Muncullah goyang Caesar, lengkap dengan dirinya menari dengan kostum “megah” ala kaisar jaman Romawi, persis seperti namanya.
Diluar itu, Caesar dianggap sebagai sosok potensial yang mampu mengikat sentimen publik. Ia adalah potret semangat kerja keras dan keinginan untuk mencapai hidup yang lebih baik, gambaran harapan banyak orang. Itulah sebabnya mulai dari latar belakang, lika-liku dan perjuangan hidupnya diberitakan dan dianggap patut menjadi inspirasi. Mulai dari infotainment, reality show dan gosip di TV, surat kabar sampai media sosial menampilkan cerita hidupnya. Kepopulerannya menarik industri media untuk menggunakannya dalam produk mereka yang lain: iklan, tayangan acara maupun live music.
Budaya Media
Saat ini kita memang hidup dalam budaya media dimana tampilan audio visual telah merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberi suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Media mampu membentuk “konsensus publik” dengan merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya, mengkonstruksi dan menghadirkan kembali gambaran realitas melalui kode, konvensi, mitos dan ideologi budaya. Media menentukan gambaran yang seolah didambakan masyarakat.
Graeme Turner (2005) mengungkap bahwa fenomena selebritis (seperti Caesar) merupakan proses produksi dan konsumsi industri kebudayaan. Selebritas adalah contoh ketidakotentikan atau hasil konstruksi dari kebudayaan populer yang disebarkan secara massal. Lebih lanjut, “keterkenalan selebritis, tidak seperti pejabat publik, tidak berhubungan dengan jabatan yang disandangnya ataupun pencapaian tertentu yang dilakukannya. Bahkan sebenarnya selebritis tidak memiliki prestasi tertentu, melainkan karena ada perhatian publik terhadap dirinya” (karena cantik, seksi, lucu atau lainnya).
[caption id="attachment_314065" align="alignright" width="300" caption="Foto: www.bgaul.co "]
Oleh karenanya, pembicaraan tentang selebritas secara teoritis akan menyinggung komodifikasi individu selebritis sebagai implikasi dari proses dimana identitas kultural (selebritis) dinegosiasikan dan dibentuk; serta proses representasi yang dilakukan oleh media dalam perlakuan mereka terhadap orang-orang terkenal.
Caesar berhasil merebut hati dan menjadi dunia tersendiri bagi masyarakat. Wajahnya akrab di benak penonton mulai dari balita sampai ibu-ibu rumah tangga. Melalui sosok Caesar, masyarakat merasa dekat dan merefleksikan harapan hidup mereka. Ekspresi Caesar menjadi katarsis beban kehidupan yang dialami sehari-hari. YKS (yang lalu diikuti oleh acara serupa yang muncul menjamur sesudahnya ) menangkap hal itu dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi format acara yang kita lihat (dan sedang kita kritisi) saat ini.
Kemunculan acara-acara tersebut merupakan motif ekonomis yang tidak terkendali, yang melihat komunikasi sebagai sebuah industri yang prospektif belaka. Keuntungan yang dimaksud dibuktikan dengan penuhnya slot iklan dalam acara tersebut.Padahal cita-cita awal praktek komunikasi adalah berperan sebagai bagian infrastruktur civil society demi kelangsungan human social existence yang lebih baik di masa mendatang.
Maka kita mesti tetap awas, waspada dan jangan sampai terbajak para kapitalis media yang menyuguhkan terlalu banyak candu yang meninabobokkan. Proses ekonomi, budaya bahkan politik di belakangnya adalah fenomena yang bisa menggeser berbagai agenda penting dalam masyarakat (korupsi, intrik politik, isu ekonomi, penanganan bencana dan lain-lain).
Diperlukan adanya suatu perlawanan terhadap modus-modus tersebut, dengan membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap media.Penonton perlu melakukan oppositional reading terhadap ekspresi media, yang bila dirunut lebih lanjut akan berujung pada kekuasaan modal kapitalisme.Bisa juga tumbuh gerakan budaya imbangan (counter cultural), diantaranya melalui budaya egaliter, kerja keras, empatif dan produktif dalam keseharian. Masyarakat juga harus menggeser kritik emotif menjadi kritik rasional sehingga nantinya yang lahir bukan tindakan impulsif namun aksi strategis terstruktur melawan dominasi media. Dengan demikian, resistensi kultural masyarakat semakin meningkat dan terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H