Mohon tunggu...
Purnawan Andra
Purnawan Andra Mohon Tunggu... -

alumnus Jurusan Tari ISI Surakarta. Peminat kajian pergelaran & etnokoreologi. Pembaca Kho Ping Hoo dan Nick Carter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek, Kho Ping Hoo, dan Kita

23 Februari 2014   18:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imlek dan Kita

Imlek tahun ini dirayakan pada tanggal 31 Januari 2014. Di hari itu komunitas Tionghoa merayakan Tahun Baru China dengan memasang lampion, pohon angpau, merias klenteng dan menyusun acara perayaan. Kebahagiaan ini wajar jika kita memahami bahwa Tionghoa menjadi kaum minoritas pada waktu Orde Baru. Selama beberapa puluh tahun, kebebasan religi dan budaya mereka dipasung, dikebiri dan dilarang untuk dipertontonkan kepada publik.

Sesuai catatan sejarah, sering kali terjadi kekerasan kolektif berupa kerusuhan yang seringkali menempatkan masyarakat etnis China sebagai korban utama. Seringkali sentimen anti China tersebut dimanipulasi dalam bentuk tekanan politik, tindak kekerasan, atau diskriminasi yang dikemas dalam bentuk nasionalisme atau ekonomi non pribumi.

Realitas

Disatu sisi, dalam realitas sosial orang-orang etnis China memang senantiasa mendapat stigma dan citra jelek. Padahal dalam realitas kultural, orang-orang etnis China ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan kebudayaan bangsa.

Berdasar sejarah, Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa dipimpin oleh Raden Patah, seorang raja keturunan China (Denis Lombard, 2000: 126; de Graaf et al, 2004: 47-139; Muljana, 2005: 83-130; Carey, 15-16). Di bidang pertanian, orang-orang China mewariskan pengetahuan, teknologi pengolahan dan peralatan pertanian, serta cara pembuatan makanan. Mereka juga mewariskan teknologi kelautan dan pembuatan kapal serta alat dan senjata dari logam, mewariskan keahlian dan karya-karya dalam bidang seni kriya, terutama batik yang bahkan kemudiandiklaim sebagai seni Jawa (Rustopo, 2006: 5) Mereka menjadi unik ketika beberapa diantaranya bahkan diberi gelar kehormatan, dijadikan penasihat raja, masuk dalam lingkungan keraton. Realitas sosial ini jelas bertolak belakang dengan realitas kultural.

Contoh lain, dari Solo, kota yang pernah disebut Pigeaud sebagai tempat renaissance kebudayaan dan kesustraan (Jawa), muncul nama Asmaraman S(ukowati) Kho Ping Hoo (17 Agustus 1926 – 22 Juli 1994), penulis cerita silat (cersil) yang populer sampai kini.

Selama 30 tahun berkarya (1960-1990), Kho Ping Hoo (KPH) menghasilkan lebih dari seratus judul karya seperti Bu-Kek Sian-Su, Pendekar Super Sakti, Pedang Kayu Harum, Pendekar Budiman dan lainnya. Pembacanya dari semua lapisan masyarakat, rakyat kecil, selebritas hingga intelektual dan pejabat tinggi serta bukan terbatas kalangan etnik Tionghoa, tetapi kebanyakan justru pribumi. Mulai dari bintang film Suzana (alm), pengarang Ashadi Siregar sampai dengan BJ Habibie (mantan presiden RI), berterus terang mengagumi karya-karya KPH.

Dengan pengetahuan yang dilengkapi imaji dan fantasinya, KPH mengarang cerita-ceritanya. Menurut Ardus M. Sawega (ed.) (2012), meski bersetting China daratan, cerita-cerita silat KPH terasa tidak asing bagi pembaca di Tanah Air, karena sesungguhnya ia bermain dalam alam pikir Indonesia, atau bahkan Jawa. Hal ini terasa pada falsafah atau ajaran kebaikan hidup melalui tokoh-tokohnya. KPH juga membumi dengan menghasilkan novel bertema sejarah Indonesia seperti Badai Laut Selatan dan Darah Mengalir di Borobudur (pernah dipentaskan berulangkali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk sandiwara radio pada pertengahan 1970-an), selain roman percintaan, perjuangan bahkan cerita detektif. Bisa jadi dengan gaya narasi lokal itu, menginspirasi pengarang-pengarang pribumi untuk melahirkan kisah-kisah kepahlawanan legendaris seperti Nagasasra Sabukinten, Bende Mataram, Senopati Pamungkas dan lainnya.

Praktek Kebudayaan

Sastra memang tidak hanya menjadi karya seni, estetika dan nilai-nilai moral/kreatif. Sastra tidak hanya menunjuk pada nilai-nilai universal yang intrinsik dan abadi, tetapi dalam konteksnya bisa dipahami sebagai sebuah praktek kebudayaan yang menunjuk pada seluruh peta relasi sosial.

Pemikiran ini diperlukan dalam semangat rekonstruktif-kualitatif konsep-konsep umum yang berlaku sebelumnya, untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya, termasuk antara karya sastra, sastrawan dan negara. Karena dengan potensialitas karyanya, nama KPH justru terpinggirkan, tidak pernah disebut-sebut HB Jassin alias tidak pernah diakui sebagai “sastrawan”. Sastranya dianggap populer, barang hiburan dan tidak pantas sebagai objek kajian sastra.

Menurut Ajidarma (2012: 115-116), dalam hal ini, kita memasuki isu ‘seni tinggi’ dan ‘seni populer’, tempat yang satu seperti merendahkan yang lain. Kebudayaan menjadi situs perjuangan ideologi, tempat kelompok terbawahkan berjuang melawan pembebanan makna dalam wacana yang merupakan representasi kepentingan kelompok dominan. Kondisi ini membuat kebudayaan selalu hadir ideologis, dan juga politis—dalam arti bahwa selalu melibatkan terdapatnya suatu kepentingan, termasuk proses hegemoni. Artinya, KPH termasuk dalam konteks pengingkaran dalam suatu konstruksi nilai sosial yang hanya akan mendukung kelompok dominan secara intelektual dan moral sebagai lebih “berbudaya” dibanding kelompok yang lain. Proyek identitas itu seolah merupakan kondisi alamiah (bahwa sudah kodrat KPH berada di luar “susastra”) yang ironisnya juga didukung oleh institusi pendidikan dan kesenian, media massa, dan intelektual organik (kritikus sastra).

Harusnya, dengan pemikiran tersebut, karya-karya KPH bisa menjadi salah satu contoh refleksi persoalan kontekstual dalam kehidupan sosial budaya kita. Karya-karya KPH bisa menjadi sebuah dokumen budaya yang berguna untuk lebih memahami Indonesia, menjadi media yang relevan mengidentifikasi berbagai problem nasion, khususnya dalam bidang kebudayaan.Karya-karyanya unik dalam konteks kehidupan berbangsa: bukan sekadar alat untuk berinteraksi, bekerja sama dan mengidentifikasi diri. Juga tidak sekadar memiliki fungsi secara politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Ia berpotensi menjadi semacam “mekanisme referensial” terhadap proses belajar memahami dan keterbukaan sekaligus introspeksi kemanusiaan. Kemampuan semacam itulah yang nantinya akan mampu membangun sebuah masyarakat multikultural yang berbudaya dan beradab di seluruh Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun