Mohon tunggu...
Purnawan Andra
Purnawan Andra Mohon Tunggu... -

alumnus Jurusan Tari ISI Surakarta. Peminat kajian pergelaran & etnokoreologi. Pembaca Kho Ping Hoo dan Nick Carter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Patah Hati karena Matah Ati

28 Februari 2014   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mempertimbangkan Matah Ati

[caption id="attachment_314423" align="aligncenter" width="300" caption="foto: acara-event.com"][/caption]

Beberapa waktu lalu kita dan dunia seni pertunjukan Indonesia dihenyakkan dengan sebuah karya “fenomenal” berjudul Matah Ati (MA). Repertoar tari ini mengangkat tokoh perempuan Rubiyah yang mempunyai peranan penting dalam perjuangan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) melawan VOC. Karya ini pernah pentas di Jakarta selama berhari-hari, lalu ke Esplanade Singapura dan di rumah sendiri, Pamedan Istana Mangkunegaran Solo pada 8-10 September 2012 lalu.

MA disebut sebagai bukti salah satu fenomena seni pertunjukan dewasa ini. Pertunjukannya memadukan teater, musik, nyanyian, tari dan multimedia. Sekitar 250 penari pentas di panggung berukuran gigantic dengan desain artistik yang miring dan bertingkat. Tiket dan undangan yang dibagi gratis sold out. Penari, yang kebanyakan merupakan mahasiswa/i ISI Solo, pun menandatangani kontrak profesional yang mengikatnya dalam proses yang berlangsung lama.

Karya investasi budaya Atilah Soeryajaya (keturunan Mangkunegoro VII) sebagai produser, sutradara, penulis naskah dan perancang kostum ini disebut sebagai “paradigma baru seni tradisional Indonesia” yang mampu menembus panggung dunia (Kompas, 2/9/12).

Filantropi

Dengan seluruh akses komunikasi yang tersedia saat ini, informasi tentang sebuah karya pertunjukan telah diketahui khalayak sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Calon penonton telah mampu dijaring sejak lama. Dengannya diciptakan sebuah kesan untuk “menjadi bagian” dari sebuah peristiwa penting. Penonton diajak untuk menjadi saksi kemegahan realitas estetis semacam MA, meskipun barangkali mereka juga tak begitu paham akan jalinan ceritanya.

Pada satu sisi hal ini menjadi sebuah bukti filantropi masyarakat kita yang tak lengkap memahami makna budayanya sendiri. Kebudayaan disikapi sebagai sebuah kata benda, bukan menjadi kata kerja ataupun sifat yang menubuh. Penciptaan kesan menjadi lebih penting daripada pemahaman akan kesadaran yang merasuk. Eksistensi ragawi dan capaian inderawi lebih mengemuka dibanding kedalaman makna yang tujuan utamanya adalah nilai-nilai reflektifnya.

13935732171140143859
13935732171140143859
Menjadi bagian dari budaya Indonesia dapat diukur melalui durasi pentas, harga tiket yang tertera di karcisdan koleksi undangan menonton. Namun perasaan telah menjadi bagian dari sebuah kerja kebudayaan, menjadi legalitas identifikasi personal yang semena-mena dianggap genetik, antropologis dan dengannya, sangat cair. Setidaknya, penonton bisa menonton kemewahan itu sendiri.

Seni pertunjukan memang telah menjadi industri penting, tidak hanya terkait dengan politik, ekonomi tapi juga pencitraan diri. Dengannya semua terlihat ramah dan indah, namun berbiaya tinggi: kemasan yang bisa jadi mengelabui niat awal pertunjukan tersebut. Karena bisa jadi inti konteks ini adalah dominasi yang digerakkan keinginan untuk prestise dan kemenonjolan (realisasi diri). Kekayaan membuat pemiliknya mampu mengarahkan dan memobilisasi kegiatan-kegiatan. Seni pertunjukan menjadi panggung narsisme. Politik menjadi basis baru untuk seni (Greg Soetomo, 2003: 19). Dengan membayari penonton bahkan terkait para penarinya, MA telah mempengaruhi kualitas perjalanan kurikulum institusi pendidikan. Dengan kata lain, para mahasiswa penari itu telah terlibat menjadi sekrup dalam dunia industri pertunjukan.

Menurut Matthew Causey dalamTheatre and Performance in Digital Culture (2006: 151) politisasi estetik semacam ini bisa dilihat sebagai sebuah problematika yang memandang dunia panggung berisi setting dan properti demi sebuah logika kepemilikian dan penguasaan yang tak bernalar. Ia membutuhkan dua modal yang secara umum dipahami sebagai kerja represif terhadap kenyataan riil kehidupan melalui simulasi terselubung maupun penyatuan yang menguasai. Mode selanjutnya dilakukan dengan cara membangun kembali kenyataan transendental melalui ikon-ikon baru dari kehancuran ilusi patron yang telah lampau. Kemungkinan tersebut diartikulasikan melalui pertunjukan kontemporer berupa propaganda, teater dan teror ilusi gebyar indah kesenian. Strategi ini menciptakan manipulasi fakta dan representasi kenyataan yang mewujud sebagai sebuah truth (kebenaran).

Estetisasi

Maka yang terjadi di panggung, seturut logika Mudji Sutrisno (2007) hanyalah estetisasi, kerja yang memperindah tampilan serta panggung pertunjukan diri, selubung yang menyembunyikan fakta sebenarnya.Sebab, basis kenyataan material nyata bahwa di setiap pentas rutinnya, seni pertunjukan tradisional, langendriyan dan wayang orang sebagai basis kreatif karya tari MAmisalnya, hanya berteman dengan tikus-tikus yang berlarian diantara bangku-bangku yang kosong dan berbau pesing.

1393573875828609361
1393573875828609361
Suasana belakang layar pentas ketoprak tobong. Foto: masjipeng.blogspot.com

Estetisasi sesungguhnya melarikan legitimasi “gebyar” pertunjukan sebagai sisa budaya adiluhung masa lalu yang kerap diceritakan sejarah. Maka, dalam logika poskolonialisme, sisa-sisa watak dan perilaku dari masa kolonialis terjajah dalam menggincu tampilan luar indah gemerlap dan resmi formal rapi di permukaan, tetapi di balik itu sebenarnya berantakan dan kacau salah urus.

Dengannya estetisasi menjadi lawan humanisasi peradaban. Ia menampilkan kemunafikan berwajah ganda, membuat budaya retak antara yang nyata dengan yang simbolik. Antara yang benar-benar faktual ditutupi dengan yang seolah-olah bagus, tetapi di baliknya borok tak pernah ditangani. Juga, terjadi pembelahan dunia resmi formal, santun, beres di depan, sementara dunia pelaksanaan tetap dibiarkan telantar.

Seharusnya meminjam analogi Geertz, Indonesia tidak menjadi negara teater (atau post-theatre menurut Garin Nugroho) yang menggebyarkan estetisasi kenyataan semu. Seni pertunjukannya merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun semiotik budaya yang amat kaya akan nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh seni pertunjukan, baik tanda-tanda ikonik, indeksikal, maupun tanda-tanda simbolis.

Seni pertunjukan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan. Ia harus dipahami sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengokohkan peradaban umat manusia. Caranya dengan mencoba merevitalisasi tema-tema penting kehidupan bersama seperti pendidikan moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril materiil. Karena kebudayaaan adalah cita rasa, keanggunan memahami kehidupan dan titik kulminasi antara manusia dengan sebuah kekuatan pencipta yang tak bisa dimengerti oleh manusia itu sendiri. Memahami kebudayaan seperti memberikan wadah kepada jiwa manusia untuk membangun toleransi, nilai kesatriaan dan ketermilikan atas kehidupan bersama.

Penulis adalah Purnawan Andra,

peneliti tari dan kebudayaan. Alumnus Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun