Mohon tunggu...
Purnawan Andra
Purnawan Andra Mohon Tunggu... Seniman - A sinner with no name

Peminat kajian sosial budaya masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Berpuasa di Masa Korona

6 Mei 2020   15:02 Diperbarui: 6 Mei 2020   14:57 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi banjir besar (The Great Flood) pada masa Nabi Nuh (sumber: historiana.com)

Ramadhan adalah momen istimewa bagi umat Islam. Inilah bulan yang diyakini akan memberi segala berkah. Ramadhan menjadi bulan dimana umat Islam diperintahkan tidak hanya berpuasa dari makan minum selama kurang lebih 12 jam. Lebih dari itu, puasa mengartikan manusia untuk mengurangi hawa nafsu dan orientasi duniawi, untuk "menahan diri, diam dalam refleksi" (iktikaf). Hanya dengan terus berefleksi seseorang akan memahami dan menginsyafi segala kekhilafan diri, dan hanya dengan kesadaran demikian yang kemudian diikuti pertobatan, niscaya diampuni dosanya.

Ramadhan tahun ini bertepatan dengan saat kita harus menghadapi pandemi covid-19 yang mengharuskan kita berdiam di rumah dan menjauhi kerumunan. Selain sebagai usaha medis, sikap ini menjadi sebuah bentuk sikap reflektif terhadap seluruh intensitas hubungan kita dengan sekitar - manusia, hewan, tumbuhan dan alam seisinya. Kita yang selama ini selalu sibuk dan bergegas harus jeda dari seluruh aktifitas supaya persebaran virus tidak meluas. Persis seperti makna puasa kita di bulan Ramadhan.

Tidak hanya pada aspek religiusitas, refleksi makna mengekang diri dari hawa nafsu juga terkisahkan dalam budaya kita, Bahkan kontekstualitasnya sejajar dengan kondisi yang kita hadapi sekarang ini. Seperti dalam episode Dewaruci, Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air suci kehidupan yang ada di tengah samudra. Untuk mendapatkannya, Bima harus berhadapan dengan naga yang sangat sakti. Naga berhasil dikalahkan sehingga ia bisa mendapatkan air suci itu. Bukan berwujud air seperti yang dibayangkan, tapi berupa Dewa Bajang (Dewa Ruci). Sang Dewa yang bentuknya begitu kecil itu, kemudian menyuruhnya masuk ke dalam telinganya. Bagaimana mungkin, Bima yang begitu besar, tinggi dan kuat itu bisa masuk ke lubang telinga seseorang yang begitu kecil? Namun Bima akhirnya bisa masuk ke dalam telinga Dewa Ruci dimana ia mendapat banyak wejangan, nasihat dan doa tentang kualitas hidup.

Bima yang dalam cerita wayang di Jawa digambarkan sebagai seorang satria gagah, lugas dan tak pernah bisa berbahasa halus kepada siapapun itu (bahkan kepada raja, orang yang lebih tua hingga para dewa sekalipun), harus tunduk pada Dewa Ruci - wujud yang begitu kecil, tak terdeteksi (karena berada di dasar lautan) tapi begitu berkuasa. Bima menjadi perlambang dunia yang begitu sibuk, dinamis dan penuh vitalitas, ternyata harus mengaku kalah kepada sesuatu yang begitu kecil bahkan tidak terlihat, persis seperti virus corona. Bima diharuskan untuk lebih banyak mendengar diri sendiri (disimbolkan dengan perintah masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci), berefleksi dan menata diri sehingga bisa beroleh kebijaksanaan (sebagai senjata, obat) untuk menghadapi kenyataan hidup. Bima mencapai jatidiri sebagai manusia melalui medium air.

Adegan Bima Suci atau Dewa Ruci dalam wayang kulit (Sumber: seleb.tempo.co)
Adegan Bima Suci atau Dewa Ruci dalam wayang kulit (Sumber: seleb.tempo.co)

Air memang menjadi bagian penting dalam etika dan etiket hidup kita. Menghadapi bulan puasa, kebanyakan kaum Muslim (di Jawa khususnya) melaksanakan tradisi padusan (dari kata adus: mandi) yaitu melakukan mandi sehari sebelum Ramadhan. Padusan (lengkap dengan keramas) dimaksudkan sebagai persiapan fisik, mental dan spiritual untuk membersihkan dan menyucikan pikiran dari nafsu sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Padusan merupakan aktifitas budaya dalam konteks spiritualisme simbolik. Simbolisme yang dibawanya mensiratkan ruang kontemplatif yang tenang dan khusyuk dalam ruang pembersihan (baca: pensucian) melalui air yang terus mengalir.

Seperti juga dalam pandemi ini, kita dianjurkan membiasakan mencuci tangan, kaki dan muka setelah berkegiatan dan membersihkan diri sebelum masuk rumah. Rumah adat Krong Bande di Aceh, juga di Minangkabau, Melayu, Sumbawa, atau Suku Kajang di Sulawesi Selatan mensyaratkan keberadaan air dalam tatanan arsitekturnya misalnya menempatkan tempayan berisi air di pinggir/depan rumah untuk membersihkan tangan, kaki, muka sebelum memasuki rumah.

Tidak hanya di rumah, kolam atau air yang mengalir juga ada di dekat masjid ataupun makam. Kebiasaan membersihkan diri sebelum beristirahat dan sebagai syarat sebelum beribadah, selain menjadi bagian dari syarat dan etika religiusitas, juga telah menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara.

Disamping fungsinya yang esensial dalam kebudayaan, air memang menempati posisi penting di dalam agama. Dalam Islam, air bukan hanya medium pembersih fisik, tapi untuk menyucikan diri dari kotoran nonfisik (hadas) yang menghalangi sahnya shalat. Vitalitas air dalam Islam dapat dibaca dalam logika oposisi biner dengan api. Sebagaimana diketahui, api adalah zat yang digunakan Tuhan untuk menciptakan iblis, nenek moyang sang penggoda manusia. Maka, membasuh wajah dengan air (berwudu) dapat berarti menyucikan "sifat-sifat setan" di dalam diri. Air dapat dilihat sebagai agen pemurni yang dapat menghidupkan kembali sebuah "kehidupan" yang terdegradasi. Dalam jumlah besar, air pulalah yang digunakan Tuhan untuk menyeleksi umat yang beriman pada zaman Nabi Nuh. Pun demikian ketika Tuhan menyelamatkan Musa dan pengikutnya ketika dikejar pasukan Firaun. Di dalam air pula pasukan Firaun dikuburkan. Sodom dan Gomora juga ditenggelamkan ke dalam laut (Saidi, 2015).

Ilustrasi banjir besar (The Great Flood) pada masa Nabi Nuh (sumber: historiana.com)
Ilustrasi banjir besar (The Great Flood) pada masa Nabi Nuh (sumber: historiana.com)

Refleksi Ramadhan adalah mengikis nafsu dan kemampuan mengendalikan diri. Dalam kondisi sekarang ini kita memerlukan kesadaran dan ketulusan melakukan kewajiban seperti Bima untuk mencapai keselamatan (slamet), ketentraman hati (tentrem), dan ingat atas kuasa Tuhan (eling) untuk menuju pribadi yang lebih berkualitas secara vertikal dan horizontal. Kita hadapi Ramadhan kali ini dengan kesahajaan dan kesederhanaan hidup. Karena Allah melihat seberapa besar keikhlasan kita untuk mendengar suara hati, relung rohani dan kemanusiaan kita dalam memaknai Ramadhan sebagai sebuah waktu yang sakral untuk berbenah, merefleksi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun