Mohon tunggu...
Purnawan Andra
Purnawan Andra Mohon Tunggu... Seniman - A sinner with no name

Peminat kajian sosial budaya masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Bima dalam Ancaman Corona

23 April 2020   06:44 Diperbarui: 23 April 2020   06:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah social distancing atau jarak sosial menjadi populer belakangan ini seiring merebaknya wabah corona di Indonesia. Begitu juga dengan istilah lockdown dan suspect. Semuanya menjadi diksi-diksi yang digunakan dalam setiap penjelasan terkait perkembangan virus ini di masyarakat.

Selama ini pemahaman social distancing yang dianjurkan pemerintah berarti pembatasan jarak satu orang ke orang lain secara fisik. Dengan menjaga jarak, mata rantai penyebaran virus yang tak memandang usia, agama dan latar belakang ini bisa diputus. Dengan jumlah penderita dan korban meninggal yang meningkat pesat setiap harinya, anjuran ini menjadi penting. Oleh karenanya segala hal yang berkaitan dengan kontak fisik, apalagi melibatkan kerumunan, harus dihindari.

Maka jika biasanya setiap pagi buta kita sudah bersiap beraktifitas berdesak-desakan di jalan dan angkutan umum menuju tempat kerja lalu kembali sampai di rumah menjelang tengah malam, kini seharian kita berada di rumah melakukan isolasi mandiri. 

Pemerintah bahkan sampai perlu mengeluarkan himbauan hingga peraturan pelarangan terhadap acara-acara yang melibatkan banyak massa. Acara pernikahan, hiburan hingga agenda keagamaan dan sosial kemasyarakatan lainnya harus ditunda atau bahkan perlu dibatalkan. Kegiatan pendidikan, perkantoran hingga peribadatan juga dilakukan di rumah.

Aparat berwenang seperti Satpol PP dan Kepolisian diterjunkan untuk memastikan hal ini bisa dilaksanakan di masyarakat. Maka kita lihat kondisi kota saat ini: jalanan lengang, perkantoran dan pusat perbelanjaan sepi, pusat-pusat hiburan dan rekreasi tutup, berbalik 180 derajat dari hari-hari biasa dimana tubuh-tubuh saling bergesekan dalam dinamika aktifitas yang luar biasa sibuk dan padatnya.

Hal ini tentu saja tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kita yang bahkan kerap merasa kehabisan waktu untuk melakukan aktifitas sehari-sehari, kini harus menghabiskan waktu seharian di rumah tanpa mengerjakan hal-hal yang biasa kita lakukan. Rasanya begitu sulit dan, menimbulkan efek bosan, jemu hingga putus asa yang luar biasa.

Maka masih kita dapati banyak orang yang keluar rumah meski sudah dihimbau untuk mengisolasi diri. Acara pernikahan masih banyak digelar, ikrar gerakan masyarakat masih dirayakan hingga doa bersama tetap diadakan. Belum juga orang-orang yang karena tuntutan pekerjaan dan kebutuhan hidup masih harus mencari nafkah. Para pedagang pasar, tukang ojek hingga petugas kebersihan, setiap hari masih harus keluar rumah, atas nama tugas dan kewajiban.

Istilah social-physical distancing, lockdown atau suspect masih menjadi konsumsi kaum menengah ke atas, sementara masyarakat lapisan dibawahnya belum tentu berada dalam konteks pemahaman yang sama dalam konteks istilah tersebut. 

Padahal selama belum ada obat penangkal virus corona yang telah teruji, maka social-physical distancing dan lockdown mutlak dilakukan. Dengannya, penting kiranya pengistilahan ini disesuaikan dengan konteks wilayah dan kultur masyarakat.

Wayang 

Kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang tak diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup modern. Dan hal ini sebenarnya sudah sejak lama dipraktikkan dalam kehidupan orang Jawa khususnya, melalui wayang.

Wayang adalah katalog hidup bagi orang Jawa, jagad kompleks untuk mengidentifikasi identitas, idealitas dan refleksi atas realitas hidup manusia. Dengannya, wayang menjadi semacam 'mekanisme referensial' terhadap proses belajar dan introspeksi kemanusiaan. 

Simbolisme yang dibawa wayang mampu membuat pelbagai perkara sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Tokoh-tokoh dalam wayang mengajarkan dialog kemanusiaan antara diri, alam dan lingkungannya, yang saling menghidupi dan dihidupi.

Dalam setiap laku hidupnya, masyarakat secara implisit mengidentifikasi dirinya dengan tokoh wayang, seperti Semar, Arjuna atau Bima. Dan kondisi yang kita hadapi sekarang ini paralel dengan lakon Bima dalam episode Dewaruci. 

Dalam cerita ini, Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air suci kehidupan yang ada di tengah samudra. Untuk mendapatkannya, Bima harus berhadapan dengan naga yang sangat sakti. Naga berhasil dikalahkan sehingga ia bisa mendapatkan air suci itu. Bukan berwujud air seperti yang dibayangkan, tapi berupa Dewa Bajang (Dewa Ruci). 

Sang Dewa yang bentuknya begitu kecil itu, kemudian menyuruhnya masuk ke dalam telinganya. Bagaimana mungkin, Bima yang begitu besar, tinggi dan kuat itu bisa masuk ke lubang telinga seseorang yang begitu kecil? Suatu hal yang mustahil. Namun toh, Bima akhirnya bisa masuk ke dalam telinga Dewa Ruci dimana ia mendapat banyak wejangan, nasihat dan doa tentang kualitas hidup.

Bima, putra kedua Pandawa yang dalam cerita wayang di Jawa digambarkan sebagai seorang satria gagah, garang, ganas dan tak pernah bisa berbahasa halus kepada siapapun itu (bahkan kepada raja, orang yang lebih tua hingga ke para dewa sekalipun), harus tunduk pada Dewa Ruci - wujud yang begitu kecil, tak terdeteksi (karena berada di dasar lautan) tapi begitu berkuasa. 

Bima menjadi perlambang dunia yang begitu sibuk, dinamis dan penuh vitalitas, ternyata harus mengalah dan mengaku kalah kepada sesuatu yang begitu kecil bahkan tidak terlihat, persis seperti virus corona. 

Bima diharuskan untuk lebih banyak mendengar diri sendiri (disimbolkan dengan perintah masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci), berefleksi dan menata diri sehingga bisa beroleh kebijaksanaan (sebagai senjata, obat) untuk menghadapi kenyataan hidup.

Refleksi 

Persis dengan kondisi sekarang, untuk menghadapi pandemi ini, kita harus berdiam di rumah dan menjauhi kerumunan. Selain sebagai usaha medis, sikap ini menjadi sebuah bentuk sikap reflektif untuk jeda dari seluruh intensitas hubungan kita dengan sekitar - manusia, hewan, tumbuhan dan alam seisinya.

Bima, yang selama ini terkenal galak dan mudah naik darah, merepresentasikan kebersahajaan dan kesanggupan melakukan perintah Durna gurunya, dengan tanpa alasan. Sama seperti kita yang selalu sibuk, dikejar deadline dan target tuntutan pekerjaan serta berbagai kebutuhan lainnya, mau tidak mau harus tunduk melakukan anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri supaya persebaran virus korona tidak meluas. 

Meski kadang niat dan orientasi positif itu bertentangan dengan kebiasaan keseharian, hasrat untuk bebas dari larangan apapun, termasuk ketika harus berhadapan dengan tatanan atau situasi etis yang menuntut, atas nama tata kelola ekonomi, kepentingan pariwisata, pendapatan wilayah hingga stabilitas global. 

Kesadaran dan ketulusan melakukan kewajiban seperti Bima membuat orang sadar untuk mencapai keselamatan (slamet), ketentraman hati (tentrem), dan ingat atas kuasa Tuhan (eling).

Artikulasi makna semacam ini diperlukan untuk membumikan konsep pencegahan penularan corona sehingga dapat dipahami oleh masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. 

Jalan kultural ini penting karena diksi-diksi yang digunakan dalam konteks pandemi corona sebenarnya bias kelas. Bima yang eling lan waspada dalam kisah Dewaruci menjadi konsep yang membumi dan mudah dipahami, terutama bagi masyarakat yang belum melek teknologi dan belum melek informasi.

Kita mempunyai latar belakang kultural dan spiritual, biografi yang disusun dalam asuhan nilai-nilai dan hikmah abadi dari kebudayaan. Kita tidak hanya mendasarkan pada rasionalitas modern, kepatuhan institusional, atau tatanan sosial global. Dengannya, kita bisa melawan corona!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun