Mohon tunggu...
Purnawan Andra
Purnawan Andra Mohon Tunggu... Seniman - A sinner with no name

Peminat kajian sosial budaya masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Bima dalam Ancaman Corona

23 April 2020   06:44 Diperbarui: 23 April 2020   06:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wayang adalah katalog hidup bagi orang Jawa, jagad kompleks untuk mengidentifikasi identitas, idealitas dan refleksi atas realitas hidup manusia. Dengannya, wayang menjadi semacam 'mekanisme referensial' terhadap proses belajar dan introspeksi kemanusiaan. 

Simbolisme yang dibawa wayang mampu membuat pelbagai perkara sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Tokoh-tokoh dalam wayang mengajarkan dialog kemanusiaan antara diri, alam dan lingkungannya, yang saling menghidupi dan dihidupi.

Dalam setiap laku hidupnya, masyarakat secara implisit mengidentifikasi dirinya dengan tokoh wayang, seperti Semar, Arjuna atau Bima. Dan kondisi yang kita hadapi sekarang ini paralel dengan lakon Bima dalam episode Dewaruci. 

Dalam cerita ini, Bima mendapat perintah dari sang guru Durna untuk mencari tirtapawitra, air suci kehidupan yang ada di tengah samudra. Untuk mendapatkannya, Bima harus berhadapan dengan naga yang sangat sakti. Naga berhasil dikalahkan sehingga ia bisa mendapatkan air suci itu. Bukan berwujud air seperti yang dibayangkan, tapi berupa Dewa Bajang (Dewa Ruci). 

Sang Dewa yang bentuknya begitu kecil itu, kemudian menyuruhnya masuk ke dalam telinganya. Bagaimana mungkin, Bima yang begitu besar, tinggi dan kuat itu bisa masuk ke lubang telinga seseorang yang begitu kecil? Suatu hal yang mustahil. Namun toh, Bima akhirnya bisa masuk ke dalam telinga Dewa Ruci dimana ia mendapat banyak wejangan, nasihat dan doa tentang kualitas hidup.

Bima, putra kedua Pandawa yang dalam cerita wayang di Jawa digambarkan sebagai seorang satria gagah, garang, ganas dan tak pernah bisa berbahasa halus kepada siapapun itu (bahkan kepada raja, orang yang lebih tua hingga ke para dewa sekalipun), harus tunduk pada Dewa Ruci - wujud yang begitu kecil, tak terdeteksi (karena berada di dasar lautan) tapi begitu berkuasa. 

Bima menjadi perlambang dunia yang begitu sibuk, dinamis dan penuh vitalitas, ternyata harus mengalah dan mengaku kalah kepada sesuatu yang begitu kecil bahkan tidak terlihat, persis seperti virus corona. 

Bima diharuskan untuk lebih banyak mendengar diri sendiri (disimbolkan dengan perintah masuk ke dalam lubang telinga Dewa Ruci), berefleksi dan menata diri sehingga bisa beroleh kebijaksanaan (sebagai senjata, obat) untuk menghadapi kenyataan hidup.

Refleksi 

Persis dengan kondisi sekarang, untuk menghadapi pandemi ini, kita harus berdiam di rumah dan menjauhi kerumunan. Selain sebagai usaha medis, sikap ini menjadi sebuah bentuk sikap reflektif untuk jeda dari seluruh intensitas hubungan kita dengan sekitar - manusia, hewan, tumbuhan dan alam seisinya.

Bima, yang selama ini terkenal galak dan mudah naik darah, merepresentasikan kebersahajaan dan kesanggupan melakukan perintah Durna gurunya, dengan tanpa alasan. Sama seperti kita yang selalu sibuk, dikejar deadline dan target tuntutan pekerjaan serta berbagai kebutuhan lainnya, mau tidak mau harus tunduk melakukan anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri supaya persebaran virus korona tidak meluas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun