Bermula dari kiriman video dari teman. Ada pendeta di Sumba yang mencoba membuat pompa hidram sederhana. Berbekal belajar di Youtube, pdt. Naftali Djoru ingin menaikkan air di sungai ke tanah kering di atasnya, dengan ketinggian sekitar 5 meter. Sayangnya, karena perbedaan ketinggian kurang besar, maka debit air yang berhasil dipompa kurang memuaskan.
Jika dapat menaikkan air, mereka berharap dapat menanam sayuran di musim kemarau. Selama ini mereka hanya mengandalkan air hujan untuk pertanian. Akan tetapi dua tahun ini mereka mengalami empat bencana: Pandemi Covid 19, badai Seroja, banjir bandang, dan serangan belalang kembara. Meski didera bencana bertubi-tubi, mematahkan semangat jemaat di GKS Larita Kahumbak, kecamatan Tabundung, Sumba Timur, NTT ini. Mereka ingin menanam sayuran pada musim kemarau.
"Permintaan pasokan sayuran di Sumba Timur ini sangat tinggi. Bahkan kami masih mengimpor sayur-sayuran dari pulau lain, yaitu dari Bima," terang pdt. Naftali dengan bersemangat. Sebagai permulaan, mereka akan menanam untuk memenuhi kebutuhan lokal lebih dulu.
Sebelumnya saya tidak mengenal pdt. Naftali Djoru. Kami hanya berkomunikasi melalui Whatsapp, tapi belum pernah bertatap muka. Meski begitu, melihat antusiasme mereka ini telah mendorong saya untuk berbuat sesuatu. Bagaimana caranya mengangkat air dari sungai? Jika di pulau Jawa, maka cara paling mudah adalah memakai pompa mesin. Akan tetapi untuk luar Jawa, mencari pasokan bahan bakar menjadi perkara susah. Apalagi juga harus memikirkan perawatan dan suku cadang mesinnya. Jangan sampai pompa terus cepat rusak karena tidak mendapat perawatan berkala.
Maka pilihan jatuh pada pompa bertenaga surya. Pertimbangan utama karena sinar matahari sangat melimpah di tanah Humba. Para petani tidak akan direpotkan untuk urusan bahan bakar. Sepanjang ada sinar matahari, mereka hanya perlu menekan tombol maka air mengucur ke ladang. Saya lalu menyusun anggaran yang dibutuhkan, yaitu: 10 unit panel surya, aki 12 volt sebanyak 2 buah, kontrol daya, dan pompa submersible DC. Setelah itu menggalang dana dengan menghubungi ke beberapa teman yang biasa memberikan donasi. Alhamdulillah, puji Tuhan! Saya beruntung karena penggalangan dana dapat memenuhi biaya pembelian barang.
Semua peralatan dibeli di Jawa, lalu dikirim lewat darat dan laut ke pulau Sumba. Kiriman itu sangat berat. Satu buah aki saja seberat 57 kg. Tentu ongkos kirimnya sangat mahal. Tapi saya sekali lagi saya beruntung karena ada pengusaha ekspedisi kapal yang bersedia dititipi barang secara gratis sampai di Waingapu, Sumba Timur.
Keberuntungan saya ternyata belum habis. Saya tidak memiliki keterampilan elektronik yang dibutuhkan untuk merangkai PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan instalasi pompa air. Â Ada seorang alumni teknik elektro di UKSW yang menawarkan diri untuk bergabung dalam misi nekad ini.
"Tapi tiket pesawat bayar sendiri, lho!" Kata saya kepadanya. Sedangkan soal makan dan penginapan, asalkan bersedia menerima secara sederhana akan disediakan oleh warga lokal. Teman saya setuju untuk membayar tiket PP sendiri. Namanya om Heru. Dia bahkan akan bekerja secara pro bono, alias tanpa bayaran. Sudah sejak lama dia mengagumi Andre Graff, warga Perancis yang mengabdikan diri untuk menggali sumur di Sumba. Om Heru terinspirasi untuk menjadi orang yang berguna bagi sesama. Maka tanpa ragu dia mau ikut dalam misi pemasangan pompa air tenaga surya ini. Pendeta Ayub Sekti dari GKI Kartasura juga sengaja mengambil cuti pelayanan untuk bergabung dalam misi ini.
Tanggal 23 Juni sore, pesawat ATR mendarat di bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur. Kami mengambil bagasi di terminal kedatangan darurat. Rasanya selama bertahun-tahun pembangunan bandara ini belum rampung juga. Kolom-kolom tiang masih terlihat telanjang. Pendeta Naftali menjemput. Selama sekitar 3 jam kami menyusuri jalan yang sepi dan gelap sepanjang seratusan kilometer. Jelang tengah malam kami sudah sampai dan segera tidur.
Keesokan harinya, kami merangkai baja ringan sebagai kerangka penahan panel surya. Ada sepuluh panel surya yang akan dipasang. Semuanya dikerjakan oleh warga secara bergotong royong. Jelang makan siang, rangka panel surya sudah selesai dirangkai, lalu kami bawa ladang di pinggir sungai. Om Heru memberikan pengarahan untuk pemasangan jaringan listrik. Ternyata mereka sudah membuat pondok di pinggir sungai sehingga bisa dipakai untuk pemasangan kotak kontrol dan dua buah aki penyimpan daya. Matahari sudah terbenam ketika instalasi PLTS itu pun akhirnya terpasang. Dengan memanfaatkan sisa-sisa matahari sore, panel itu dapat menangkap cahaya matahari untuk selanjutnya tersimpan di dalam aki. Akan tetapi, pompa submersible belum sempat terpasang sehingga kami harus bersabar menunggu hari berikutnya.
Keesokan paginya saat matahari muncul, om Heru mulai menghidupkan PLTS. Hanya dalam dua jam, baterai dapat terisi penuh. Itu artinya, PLTS berfungsi sempurna untuk mengubah sinar matahari menjadi tenaga listrik. Agenda berikutnya adalah memasang pompa air di dalam sungai. Aliran sungai ini cukup stabil. Meskipun pada musim kemarau selalu saja ada air yang mengalir. Sepanjang tidak ada penebangan pohon secara ugal-ugalan maka aliran sungai ini tetap terjaga. Saat mengamati aliran sungai ini, timbul gagasan untuk mencoba budi daya ikan sistem keramba. Saya mengajukan ide itu kepada mereka.
"Tapi bagaimana kalau ada orang yang menangkap ikan dengan setrum? Atau membuang racun ke sungai?" tanya salah satu warga.
Pendeta Naftali berkata, "Kita perlu mendorong pemerintah untuk membuat peraturan untuk melarang aktivitas yang dapat merusak sungai. Jika tidak bisa dikeluarkan di tingkap pemerintah kabupaten, kita bisa mendesak pemerintah desa untuk membuat peraturan desa."
Mereka mengangguk setuju. Saya senang mendengarnya. Batu yang dilemparkan di tengah kolam yang berair tenang telah menimbulkan riak-riak gelombang.
Seorang pemuda mencebur ke dalam sungai setinggi dada untuk memasang pompa. Om Heru lalu menyambungkan kabel listrik dan selang plastik pada pompa. Inilah saat-saat yang mendebarkan. Apakah listrik tenaga surya dapat memberi tenaga pada pompa? Apakah debit air yang diangkat cukup memadai untuk bertanam sayur?
Klik! Om Heru memencet saklar pompa.
Seeeerrrrr! Bunyi pompa mulai bekerja.
Cuuuurrr! Air mengalir di ujung selang.
Hore! Air su mengalir!
Semua bersorak kegirangan. Air di sungai mengalir ke ladang-ladang. Debitnya lumayan besar. Tong plastik 100 liter dapat diisi hanya dalam 10 menit. Saya bersyukur akhirnya misi ini bisa diselesaikan.
Kami lalu bergegas berkemas untuk menuju ke Lewa. Di sana kami akan memasang lampu tenaga surya untuk 10 rumah. Menggunakan mobil dobel kabin, pendeta Naftali segera memacu mobilnya melewati padang sabana khas Sumba Timur. Setelah itu melewati hutan.
Duaaarrrr!
Terdengar ledakan dari arah kap mesin. Asap mengepul. Air muncrat. Mobil segera berhenti. Rupanya selang radiator terlepas. Ujungnya meleleh karena kepanasan. Namun belum sempat memeriksa lebih teliti, turun hujan sangat lebat. Kami terpaksa meringkuk di dalam mobil selama 3 jam tanpa melakukan apa-apa. Saat itu posisi kami sangat jauh dari rumah warga desa. Tidak ada sinyal telepon sama sekali. Memang ada beberapa mobil dan sepeda motor yang melintas, namun mereka tidak dapat menolong karena kekurangan peralatan.
Saat hujan masih turun, pendeta Naftali mencegat sepeda motor yang sedang melintas. Dia minta tolong untuk diboncengkan ke tempat yang ada sinyal HP-nya. Sementara itu kami bertiga yang ditinggal di dalam mobil bersiap untuk menginap di hutan. Air minum masih cukup, tapi kami tidak membawa bekal makanan karena pikir untuk perjalanan 3 jam tidak perlu menyiapkan bekal makanan.
Tak lama kemudian hujan reda. Dalam gerimis tipis, kami memeriksa kembali kondisi mesin. Guyuran air hujan cukup ampuh mendinginkan mesin. Setelah memeriksa dengan cermat, ternyata selang radiator dapat dipasang kembali. Masalahnya, kami tidak menemukan obeng untuk menguatkannya. Jika selang itu dapat terpasang maka kami yakin mobil dapat berjalan kembali.
Keberuntungan saya rupanya masih tersisa. Ada mobil pick up yang melintas. Dia bersedia meminjamkan obeng. Kami lalu mengencangkan selang tersebut sambil berpikir, "Bagaimana kalau dalam perjalanan selang ini lepas lagi? Sedangkan obeng sudah dikembalikan ke pemiliknya."
Sepertinya pengendara mobil pick up putih ini bisa membaca pikiran kami. "Obeng ini saya tinggalkan saja ya. Siapa tahu nanti dibutuhkan lagi," katanya sambil berpamitan. Tuhan telah mengirimkan malaikat penolong untuk kami. Terimakasih Tuhan.
Setelah selang radiator terpasang, om Heru menghidupkan mesin.
Brrrrmmmm....mesin mobil hidup kembali. Om Heru mengambil alih setir mobil untuk menjemput pendeta Naftali yang sedang mencari sinyal. Ternyata sampai dengan kami jemput, belum mendapat sinyal. Spot yang biasanya terdapat sinyal HP, saat itu tidak ada sinyalnya sama sekali.
Dia sudah hafal dengan suara mobilnya. Maka ketika dari kejauhan sudah mendengar suara mobilnya, dia hampir tidak percaya bahwa mobilnya bisa hidup kembali.
***
Dua minggu kemudian, saya mendapat kiriman foto dari ketua kelompok tani. Mereka sudah membuat bedeng dan menanam sayur. Mereka juga sedang mengolah tanah untuk memperluas kebun mereka. Saya bersyukur mereka memiliki ketangguhan untuk berpulih secara bersama-sama. Hal itu sesuai dengan tema Presidensi G20-2022: "Recover Together, Recover Stronger."
Bila dibandingkan dengan perhelatan Presidensi G20-2022 ini, apa yang kami lakukan ini memang seperti kuman berbanding dengan gajah. Akan tetapi sesuai dengan slogan "Glocally: Think Globally, Act Locally" maka aksi-aksi lokal seperti ini dapat mendukung terbentuknya masyarakat yang tangguh (resilien). Hingga pada akhirnya menjadi salah satu faktor pendukung bagi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya untuk yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H