"Air laut Bunaken tidak akan surut meskipun kau minum seliter dua liter," bujuk pdt. Djeny Ratuliu supaya saya mau turun ke laut. Candaan itu justru membuat saya semakin panik.
Sebagai orang nggunung, saya tidak terbiasa dengan air. Â Apalagi saya berasal dari Gunungkidul yang pada masa 1980-an terkenal sebagai daerah yang selalu kekurangan air di musim kemarau.
Sejak kecil saya tidak terbiasa main air karena satu-satunya sungai di desa kami hanya terisi air di musim hujan.Akibatnya sampai saat ini saya tidak bisa berenang. Bagaimana kalau nanti saya tenggelam?
Pak Rudolf Makasunggal, sang instruktur meyakinkan saya bahwa baju renang yang saya kenakan akan membuat tubuh tetap terapung. "Air laut juga akan membantu tubuh untuk mengapung," katanya meyakinkan saya.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mencebur juga menikmati keindahan Taman Laut Bunaken. Rugi besar kalau saya sudah jauh-jauh dari Jawa, tetapi tidak menikmati taman laut yang pada tahun 2005 ditetapkan oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 2005.
Untuk menuju Bunaken, kita harus menyeberang lebih dulu dengan sampan atau perahu lebih dulu. Ada beberapa titik keberangkatan. Bisa dari kota Manado, yaitu di sekitar dermaga Grand Marina, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit. Namun kami memilih bertolak dari dermaga Grand Luley di sekat hutan mangrove Bahowo karena waktu tempuh hanya 15 menit. Kami diantar oleh sampan milik salah satu anggota gereja yang pernah dilayani oleh pdt. Djenny Ratuliu.
Pada sessi 1, pak Rudolf sengaja memilihkan spot untuk pemula yang relatif dangkal. Di tempat ini, orang-orang yang belum pernah snorkling akan diajari cara bernafas melalui mulut dengan alat snorkling. Untuk teknik ini, saya sudah menguasainya. Sebenarnya sembilan tahun yang lalu, saya juga pernah snorkling di tempat yang sama. Bedanya, kalau dulu, disediakan rompi pelampung dan ban pelampung. Dengan demikian, saya berani mencemplung.
Akan tetapi kali ini tidak ada rompi dan ban pelampung. Bagian yang belum saya kuasai adalah menjaga supaya posisi tetap tertelungkup. Kalau badan terguling terlentang, saya masih merasa panik untuk membalikkan badan. Untunglah instruktur dengan sabar memegangi tangan saya sehingga saya dapat mengapung posisi yang benar.Â
Setelah menenangkan diri, maka saya sudah mulai bisa menikmati keindahan sorga di taman laut tersebut. Dengan menaburkan biskuit, maka ikan-ikan yang cantik segera mendekat. Kita dapat "berenang" bersama ikan-ikan yang indah.
Usai makan siang, pak Rudolf mengajak kami berpindah ke tempat yang lebih indah dan lebih dalam. Di sini pemandangannya lebih indah. Tapi ada larangannya: Di sini kami dilarang keras menginjak terumbu karang karena bisa patah. Karena masih belum mahir benar, maka saya memilih untuk tidak terjun lagi.
Keistimewaan di spot ini adalah Underwater Great Walls atau Hanging Walls menjadi primadona utama yang ada di taman ini. Sulit untuk menemukannya di laut mana pun. Konturnya dapat digambarkan berupa hamparan koral yang dangkal, lalu tiba-tiba dasar laut itu menjadi sangat dalam sehingga pada sisi-sisi perbatasan antara dasar yang dangkal dan dalam tersebutterdapat terumbu yang berwarna-warni. Inilah yang membuat spot tersebut terlihat sangat cantik. Sebab, koral tersebut merupakan tempat hidup para ikan cantik.
Teman saya, Tina yang sudah mahir berenang, tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Dia menceritakan kekagumannya atas keindahan pemandangan tersebut. Hal inilah yang mendorong saya untuk melajar berenang supaya pada kunjungan berikutnya sudah berani untuk menikmati sepotong sorga di dalam laut tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H