Pandemi Corona telah menghentikan proses belajar di sekolah. Anak-anak harus belajar di rumah. Seorang teman di Sumba Timur mengeluh bahwa anak-anak tidak punya akses internet. Namanya Aprissa Taranau. "Anak-anak belajar dari fotokopian yang diantarkan langsung oleh guru," jelas Aprissa Taranau. Â Aprissa adalah seorang pegiat literasi. Ia mendirikan taman baca "Hambila Humba" di Sumba Timur, NTT. "Karena wilayah yang harus dijangkau sangat luas, maka fotokopian hanya diserahkan tanpa penjelasan memakainya. Guru harus buru-buru pergi ke tempat lain" tambahnya.
Saya lalu teringat seorang teman yang menjadi relawan tanggap bencana. Namanya mas Sulis. Jika terjadi bencana besar, dia akan pergi ke lokasi bencana untuk mendirikan stasiun radio darurat. Stasiun radio ini dapat menjadi media komunikasi yang pas untuk wilayah nir-sinyal internet. Saya berinisiatif untuk mendirikan stasiun radio komunitas. Rencananya, guru akan mengajar dari studio radio dan anak-anak mendengarkan di rumah.
Ide ini membutuhkan biaya yang besar, yaitu: a. Perangkat pemancar radio, dan b. Radio penerima. Setelah menghubungi beberapa pihak, saya berhasil mengumpulkan biaya yang dibutuhkan. Pada bulan September 2020, saya memesan unit pemancar radio FM berkekuatan 300 watt.
Selain itu, juga memesan 90 unit radio FM yang akan dibagikan kepada anak-anak. Saya membeli melalui marketplace yang ada di Jakarta.  Karena jumlah yang dipesan cukup banyak, maka saya memilih menggunakan fasilitas JNE trucking untuk dikirim ke Klaten. Pesanan pemancar radio dan unit radio penerima terkirim sesuai dengan rencana.
Sebelum berangkat, mas Sulis mengetes pemancar radio di Klaten.  Semuanya normal dan siap di-packing. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana memasukkan antena radio ke dalam pesawat ATR yang  hanya bisa menerima kargo maksimal 1,5 meter. Padahal meskipun sudah dipotong-potong, namun masih ada satu bagian yang panjangnya 2 meter. Akhirnya diputuskan untuk memotong bagian itu menjadi dua.
****
Pandemi juga memukul bisnis penerbangan. Jumlah penerbangan turun drastis. Akibatnya, kami kesulitan memilih penerbangan Sumba, baik itu dari bandara Solo atau Yogyakarta. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat dari bandara, Juanda di Surabaya. Itu artinya kami harus menempuh perjalanan darat dari Klaten ke Surabaya. Untungnya sudah ada jalan tol sehingga dapat ditempuh dengan cepat.
Hari Minggu siang kami berangkat. Kami memutuskan menginap semalam di Juanda supaya hari Senin pagi kami bisa terbang ke Waingapu, Sebelum ke penginapan, kami mlipir dulu ke bagian pergudangan di bandara. Di sana kami mengirimkan pemancar, antena dan perangkat lain sebagai barang kargo. Saat itu, karyawan perusahaan kargo memberitahu bahwa tidak ada penerbangan ke Waingapu pada hari Senin. Saat itu kami tidak begitu memperhatikan informasi itu.
Saat di penginapan, ada kiriman SMS dari maskapai bahwa mereka membatalkan penerbangan Kupang ke Waingapu. Saat itulah saya baru ngeh dengan info dari karyawan kargo tadi. Saya lalu menghubungi call centre mereka yang susahnya bukan main. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya tersambung juga. Kami diberi pilihan: