[caption id="attachment_261537" align="aligncenter" width="605" caption="Pesawat Silk Air di bandara Changi | foto: Purnawan"] [/caption] Pagi-pagi, dengan mata masih berat, kami menapaki jalan di kawasan Pecinan, Singapura. Setelah transit selama 5 jam, kami harus meneruskan perjalanan ke kota Davao, Fillipina. Bersama dengan Oki Wahab, saya akan mengikuti Pelatihan Peace Building selama 3 minggu. Dengan merapatkan tangan ke dada karena masih kedinginan, kami menantikan taksi. Lebih dari seperempat jam, tak juga ada taksi kosong melintas. Kami sempat merasa khawatir, hingga akhirnya ada taksi yang menepi. Pengemudinya keturunan India dan bisa berbahasa Melayu. Maka selama perjalanan ke bandara kami bercakap-cakap tentang berbagai hal. "Indonesia itu ada banyak makanan enak. Saya suka makanan padang," kata sopir taksi. Saya manggut-manggut. Masuk akal juga karena masakan padang menggunakan banyak rempah seperti masakan India, batin saya. "Korupsi di Indonesia sangat banyak ya!" kata sopir taksi. Saya hanya tersenyum kecut. Saya tidak mungkin menyanggahnya karena dorongan nasionalisme. Dia lalu bercerita bahwa ada anak Soeharto yang memiliki harta melimpah di Singapura. Iseng-iseng, saya tanya mengapa agak sulit mencari taksi di pagi hari. "Di akhir pekan memang sulit mencari taksi kosong. Biasanya ada banyak orang yangbegadang sambil minum-minum sampai mabuk. Menjelang pagi, mereka pulang dengan menumpang taksi," paparnya. Sesampai di bandara, langit masih gelap. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 waktu Singapura, tapi matahari belum menampakkan diri. Meski demikian aktivitas di bandara Changi sudah menggeliat. Calon penumpang yang akan terbang dengan pesawat pagi sudah antre dengan tertib di depan counter check-in. Karena berstatus penumpang transit, maka kami langsung masuk ke ruang tunggu. Dari Jakarta kami menumpang Singapore Airlines. Untuk penerbangan ke Davao, kami akan diantarkan oleh saudara SQ yaitu Silk Air. Di dalam bandara kami melihat beberapa penumpang yang masih terlelap di kursi-kursi panjang. Mereka adalah penumpang transit yang menunggu penerbangan berikutnya. Memasuki ruang tunggu, saya merasakan ketatnya pemeriksaan keamanan. Sebelum memasuki pintu detektor logam, penumpang harus mengeluarkan laptop dari tas. Setelah itu, semua benda logam yang melekat di badan harus dilepaskan. Bahkan ikat pinggang pun juga harus dilepaskan. Sepanjang pengalaman saya, prosedur keamanan ini belum pernah saya temui bandara Indonesia. Setelah itu petugas Silk Air memeriksa boarding pass dan memberikan kertas berrwarna tertenti kepada penumpang. Saat boarding, petugas memanggil penumpang sesuai dengan prioritas. Prioritas pertama tentu saja penumpang kelas satu. Setelah itu penumpang dari kelompok rentan (lansia, difabel, dan bayi). Menyusul penumpang sesuai dengan posisi kursi. Ternyata itu adalah kegunaan dari kertas yang berwarna-warni tadi. Jadi kalau ada penumpang yang warna kertasnya tidak sesuai dengan urutan yang sedang dipanggil, jangan harap dapat masuk ke dalam pesawat. Proses boarding dengan cara ini membuat penumpang nyaman. Tidak perlu ada aksi dorong-dorongan dan berdesak-desakan. Kabin pesawat terasa sangat nyaman. Saya sengaja memilih dekat jendela supaya bisa leluasa memotret pemandangan di luar. [caption id="attachment_261540" align="aligncenter" width="432" caption="Singapura di pagi hari | Foto: Purnawan"]
Secara geografis, posisi Davao yang lebih dekat ke Indonesia daripada ke Manila ini menyebabkan juga ada banyak kemiripan makanan dengan masakan Indonesia. Di sini ada wajik, lumpia, pisang goreng, ketan rebus, capcay, siomay, ayam panggang, bakpao dll. Barang-barang buatan Indonesia juga telah masuk ke pasar Davao. Batik menjadi dagangan yang laris. Di pasar oleh-oleh Aldivenko, terlihat ada banyak kios yang memasang tulisan “House of Batik.” Jamu tradisional dari Madura juga sudah penetrasi di Davao ini.
[caption id="attachment_181029" align="aligncenter" width="543" caption="Warna-warni Jeepney | foto: Purnawan"]
Sistem lalu lintas di Filipina memang berbeda dengan di Indonesia. Filipina menganut jalan di sebelah kanan ala Amerika karena mereka selama beberapa tahun menjadi jajahan negara adi daya ini. Itu sebabnya, mereka menaruh setir mobil berada di sebelah kiri. Pengaruh Amerika juga terasa pada angkutan umumnya. Mereka menyulap jip peninggalan Amerika menjadi pengangkut massal yang populer dengan sebutan jeepney. Mereka menaruh dua bangku panjang di sebelah-menyebelah. Sekarang, jip sisa perang ini sudah habis. Mereka beralih ke mobil Jepang namun mempermak tampilannya hingga masih tetap menonjolkan ciri khas jeepney yaitu berwarna-warni dan kaya aksesoris.
[caption id="attachment_181032" align="aligncenter" width="432" caption="kinclong | foto: Purnawan"]
Hal yang patut dipuji dari kota Davao adalah kesadaran tentang bahaya merokok. Untuk itu, pemerintah kota Davao membuat perda larangan merokok di tempat umum. Dan mereka benar-benar tegas menegakkan peraturan ini. Setiap pelanggar bisa didenda 10 ribu pesso atau sekitar Rp. 2.140.000 jika tertangkap basah sedang merokok di tempat umum. Mereka juga memasang baliho besar dimana-mana untuk menginformasikan larangan merokok ini. Dan inilah satu-satunya baliho yang memajang foto walikota. Selebihnya tidak ada sampah visual lain yang menampilkan kegenitan politisi dan pejabat publik di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H