Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Tangkap Pembuat Hoax di Tengah Bencana!

15 Januari 2014   22:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_316097" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Hari kemarin (Selasa, 14/01) beredar broadcast message yang menyatakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok ) meminta maaf karena tanggul Kali Ciliwung akan dibuka pada hari ini, Rabu (15/01). BBM itu menyebutkan Jakarta akan diterjang banjir besar. Bahkan, wilayah yang jarang terkena banjir seperti Thamrin, Sudirman dan Gatot Subroto juga akan diterjang banjir akibat tanggul tersebut dibuka. Berikut isi pesan tersebut:

"Pagi ini, Pemprov DKI Jakarta, Bapak Ahok meminta maaf kepada warga Jakarta, karena tanggul ciliwung pagi ini tanggal 15 Januari 2013 pukul 9.30, terpaksa dibuka kembali, karena sudah tidak kuat menahan tekanan air yang datang dari arah Bandung dan Bogor, mohon warga Jakarta untuk segera siaga 1, air akan datang sekitar 4 jam dari tanggul dibuka, ini dilakukan Pemprov untuk menanggulangi agar banjir tidak semakin berlarut-larut, untuk warga Jakarta yang berada daerah Thamrin, Sudirman, Pengadegan, Gatot Subroto, dan daerah sekitarnya, mohon untuk segera cari posko aman, mohon yang sudah terima pesan ini, langsung infokan ke saudara-saudara yang lain agar lebih siaga, terima kasih."

Ahok sudah membantah kebenarannya. Dia menegaskan munculnya pesan berantai tersebut tidak benar Demikian juga pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta. "Pesan itu cuma isu miring. Jelas sekali tidak benar. Penetapan siaga satu tidak bisa sembarangan. Harus dilihat berdasarkan ketinggian air di pintu-pintu air," kata Kepala Seksi Pengendalian BPBD DKI, Basuki Rakhmat. Yang membuat saya heran, mengapa tidak pernah ada tindakan terhadap para pembuat berita hoax (palsu) ini? Apakah cukup dengan hanya bantahan saja? Dalam situasi bencana, berita-berita semacam ini dapat mengakibatkan kepanikan dalam masyarakat. Misalnya terjadi pergerakan massa karena ingin mengungsi, terjadi aksi borong kebutuhan bahan-bahan pokok (panic buying), atau setidak-tidaknya menimbulkan perasaan was-was di kalangan orang-orang yang sedang berada di  daerah Thamrin, Sudirman, Pengadegan, Gatot Subroto, dan daerah sekitarnya. Sebagai relawan tanggap bencana, saya punya pengalaman direpotkan oleh informasi-informasi palsu seperti ini. Contohnya, selepas gempa di sekitar Jogja dan Jateng, pada bulan Mei 2006, muncul informasi palsu bahwa terjadi gelombang Tsunami di pantai selatan. Spontan terjadi kepanikan di tengah masyarakat. Mereka bergegas menuju ke tempat yang lebih tinggi. Saya tinggal di Klaten, dan menyaksikan kendaraan yang melaju ke arah Solo dalam kepanikan. Banyak terjadi kecelakaan di persimpangan jalan karena lampu lalu lintas padam. Saat melakukan pekerjaan rekonstruksi paska gempa, muncul pula hoax yang mengganggu pekerjaan kami. Para membuat hoax itu mengambil informasi dan foto yang kami publikasikan, lalu mereka memanipulasi dan memlintirnya sehingga memojokkan kami. Setelah itu menyebarkan kepada masyarakat. Akibatnya timbul gejolak di masyarakat dan hampir saja menghentikan pembangunan kembali 12 rumah pada tahap terakhir. [caption id="attachment_316087" align="aligncenter" width="630" caption="Sumber: http://whatindonews.com/images/20140109-135717_21.jpg"]

1389813208769641478
1389813208769641478
[/caption] Tindak Pidana Apakah pembuat dan pengirim informasi palsu di masa bencana ini dapat dipidanakan? Saat saya menelusuri Undang-undang nomor 24 Tahun 2007  tentang Penanggulangan Bencana, saya hanya menemukan pasal tentang kewajiban masyarakat yaitu: "memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana" (Pasal 27 butir c). Akan tetapi saya tidak menemukan ketentuan pidana tentang penyebaran kabar bohong. Karena penyebaran hoax tentang banjir ini menggunakan teknologi komunikasi, maka saya lalu menelisik Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11, tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tentang informasi bohong, termuat dalam pasal 28, tapi itu berkaitan dengan konsumen. Jadi agak sulit menggunakan pasal ini. Terkait dengan pengiriman  informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti, diatur dalam pasal 29, sayangnya informasi ini harus ditujukan pada pribadi tertentu. Jadi pasal ini tidak dapat dipakai. Ketentuan pidana yang paling mungkin digunakan adalah pasal 35. Bunyinya: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik" maka kepadanya dapat dipidana " penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)." Sebagai relawan tanggap bencana, saya berharap kepolisian mengambil tindakan terhadap para pembuat informasi palsu ini karena menimbulkan dapat menimbulkan dampak serius.  Saya yakin bahwa informasi palsu ini bukan pekerjaan iseng. Ini adalah aksi sistematis yang bertujuan untuk menciptakan kekacauan dan kepanikan di dalam masyarakat. Selain itu, saya berharap agar ada revisi terhadap Undang-undang Tanggap Bencana dengan memasukkan ketentuan pidana tentang penyebaran informasi palsu di masa bencana. Sebagai referensi, ada tujuh ilmuwan di Italia telah ditangkap terkait bencana gempa bumi di Italia pada tahun 2009 lalu yang menewaskan lebih dari 300 orang. Ketujuh pakar itu didakwa melakukan pembunuhan secara tak disengaja karena gagal mengingatkan warga sebelum gempa dahsyat itu terjadi. Hakim Giuseppe Romano Gargarella berpendapat para terdakwa telah memberikan informasi yang tidak pasti, tidak lengkap dan bertolak belakang mengenai apakah getaran-getaran kecil yang dirasakan di L'Aquila dalam enam bulan sebelum gempa dahsyat pada April 2009 itu bisa dianggap sebagai peringatan akan terjadinya gempa besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun