Mendengar kata "rasulan" barangkali asosiasi kita tertuju pada terminologi yang ada pada agama Islam atau Kristen. Pada kenyataannya, 'rasulan' tidak ada kaitannya dengan rasul dari agama tertentu. Rasulan adalah sebuah acara tahunan yang digelar oleh desa-desa di kabupaten Gunungkidul sebagai ungkapan syukur petani atas musim panen. Sebagian besar pertanian di wilayah berbukit kapur ini menggunakan lahan tadah hujan. Para petani sangat bergantung pada kondisi alam. Dalam ranah spiriualitas maka mereka bersyukur pada kemurahan Tuhan, sang penguasa alam semesta.
Pada rasulan, warga desa membuat 'gunungan' yaitu sebuah replika gunung yang terbuat dari berbagai hasil bumi seperti biji-bijian, sayur-sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian. Dalam istilah Jawa, ada 3 macam hasil bumi, yaitu pala gemandhul (segala hasil tanaman yang bergelantungan), pala kesimpar (segala hasil tanaman yang berada di permukaan tanah) dan pala kependhem (segala hasil tanaman yang terpendam dalam tanah).
Warga desa mengusung gunungan dengan arak-arakan reog, yaitu orang-orang yang berpakaian ala prajurit jawa dan diiringi oleh musik sederhana (3 buah kenong, 1 kendang, 2 angklung, dan 1 kecrekan). Warga desa mengikut di belakangnya sambil mengusung bakul berisi nasi dan ingkung (ayam utuh direbus dengan santan).
Warga desa berkumpul di balai desa dan duduk mengelilingi makanan. Mereka melakukan ritual kenduri. Pemuka agama membacakan doa syukur dan permohonan agar musim panen berikutnya diberikan cuaca yang baik dan panen yang berlimpah. Setelah itu mereka menyantap makanan bersama-sama. Sisa makanan dapat dibawa pulang.
Sementara itu warga desa yang tidak ikut kenduri berebut gunungan. Mereka percaya bahwa hasil bumi pada gunungan tersebut memberikan berkah.
Hingga saat ini belum ditemukan catatan sejarah sejak kapan tradisi rasulan ini bermula. Kalau menilik dari namanya, bisa jadi ini adalah pengaruh dari agama Islam. Akan tetapi kalau melihat ritual dalam tradisi ini, barangkali tarikh-nya bisa ditarik lebih jauh ke belakang lagi. Sebagai contoh adalah ritual di desa Wiladeg. Mereka mengawali ritual rasulan dengan membersihkan aliran air di sekitar kali Banteng yang dianggap keramat. Di dekat sumber mata air ini terdapat sebuah arca sapi atau Nandiswara. Nandi adalah kendaraan dewa Siwa dalam kepercayaan Hindu. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa tradisi ini sudah ada sejak zaman Hindu. Beberapa sumber lisan mengatakan bahwa pengaruh Hindu dibawa oleh raja Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang beragama Hindu. Mereka melarikan diri dan bersembunyi di kabupaten Gunungkidul karena terdesak oleh pengaruh kerajaan Islam.
Ada juga desa-desa lain yang melakukan ritual di depan pohon besar atau batu besar yang dianggap keramat. Misalnya mereka memberikan persembahan makanan pada peninggalan batu-batu dari zaman megalitikum. Menilik dari laku ini maka bisa jadi tradisi ini sudah berakar pada zaman animisme dan dinamisme. Untuk itu perlu masih diperlukan kajian yang lebih ilmiah.
Salah satu acara rasulan yang dinanti-nantikan oleh masyarakat di Gunungkidul adalah rasulan di desa Wiladeg. Mereka selalu menggelarnya pada hari Jumat-Kliwon. Tahun diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2013. Sejak pagi, warga desa Wiladeg dan sekitarnya sudah memadati balai desa untuk menyaksikan atraksi yang mengampilakan 10 grup reog dari semua padusunan.
Dibandingkan dengan dekade sebelumnya, sekarang sudah ada kreasi dalam pertunjukan reog. Pada zaman dulu, biasanya atraksi reog itu menampilkan pasukan prajurit yang berlatih berbaris-berbaris. Setelah itu digelar gladi perang antara dua prajurit penunggang kuda (Mereka naik kuda lumping). Dalam latihan perang ada dua promotor yang berseteru dan saling mengejek, yaitu Penthul (mengenakan topeng warna putih dengan hidung mirip pipa) dan Beles (mengenakan topeng berwarna hitam dengan pipi tembem). Pada saat itu, warga desa memiliki kepercayaan bahwa dua tokoh ini memiliki tuah. Saat mereka berantraksi, ibu-ibu akan berusaha menggapai selendang dua tokoh jenaka ini dan diusapkan pada wajah anak mereka.
Penthul
Kuda Lumping
Prajurit Putri
Update status
Kini, atraksi reog sudah mengalami inovasi. Koreografinya mulai dikembangkan dengan berbagai macam gerakan baru. Kostumnya juga semakin menarik. Beberapa alat jenis alat musik modern seperti drum dan simbal juga ditambahkan meskipun pola ritmik yang monoton masih dipertahankan (pada zaman dulu mungkin pola ritmis ini mengiringi penari masuk ke alam trance. Namun pada zaman sekarang praktik ini sudah dilarang sehingga hanya tersisa pola ritmis). Â Selain itu atraksinya juga tidak melulu adegan latihan perang, namun sudah ada pengaruh unsur warok ala reog Ponorogo. Dampak positif dari perubahan ini, warga lebih antusias dalam menonton dan orang-orang muda mulai meminati seni budaya.
Pengaruh reog Ponorogo
Semangat pembaharuan ini perlu diapresiasi karena menggairahkan masyarakat untuk menggemari budaya leluhur. Tradisi tidak harus kaku dan terpaku pada pola-pola yang lama. Akan tetapi yang perlu tetap dijaga adalah inti dari tradisi rasulan ini yaitu sebagai doa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI