Sesaat setelah menginjakkan kaki di Davao, Filipina, saya sempat melongo karena terkaget-kaget. Ketika mobil jemputan melesat di jalan raya, saya terkesiap karena mobil kami berpapasan dengan kendaraan dari depan yang mengambil jalur di sebelah kiri. Demikian juga saat sampai di persimpangan jalan. Mobil kami berbelok dan langsung mengambil jalur sebelah kanan. Itulah kekagetan yang kedua. Sebelumnya saya juga kaget saya melihat mobil jemputan yang disediakan panitia. Mobil ini mirip dengan angkot di Indonesia. Penumpangnya duduk di dua kursi panjang berhadap-hadapan. Bedanya, mobil ini dilengkapi fasilitas AC. Rasanya jenis mobilnya tidak klop dengan pelatihan yang berlevel internasional. Saya berada di kota ini selama 3 minggu untuk mengikuti pelatihan Peace Building, yang digelar oleh Mindanao Peacebuilding Institute.
Sistem lalu lintas di Filipina memang berbeda dengan di Indonesia. Filipina menganut jalan di sebelah kanan ala Amerika. Itu sebabnya, mereka menaruh setir mobil berada di sebelah kiri. Pengaruh Amerika juga terasa pada angkutan umumnya. Mereka menyulap jip peninggalan Amerika menjadi pengangkut massal yang populer dengan sebutan jeepney. Mereka menaruh dua bangku panjang di sebelah-menyebelah. Sekarang, jip sisa perang ini sudah habis. Mereka beralih ke mobil Jepang namun mempermak tampilannya hingga masih tetap menonjolkan ciri khas jeepney yaitu berwarna-warni dan kaya aksesoris.
Davao adalah sebuah kota administrasi khusus di pulau Mindanao, bagian selatan Filipina. Kota ini lebih kecil dibandingkan dengan kota Yogyakarta. Walikotanya adalah seorang perempuan yang berhati singa. Mengapa begitu? Karena dia punya nyali menampar komandan polisi yang tidak taat pada perintahnya. Ceritanya begini: Di Barangay, pasukan polisi bersiap menggusur perumahan yang dihuni oleh 127 keluarga. Tapi penghuni menolak untuk pindah. Mereka memperlengkapi diri dengan ketapel dan kayu untuk melawan penggusuran. Sarah Duarte, sang walikota, tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah. Maka dia meminta waktu dua jam kepada polisi untuk bernegosiasi. Saat negosiasi sedang berlangsung, tiba-tiba pasukan polisi merangsek masuk untuk membubarkan massa. Sang walikota berang. Dia menghampiri Abe Andres, sang komandan polisi. Walikota perempuan ini menonjok wajah sang sherif sebanyak empat kali karena sangat kesal.
Sikap komandan polisi ini cerminan dari kesungguhan mereka dalam menjaga keamanan dan ketertiban kota. Hal ini dapat dimengerti mengingat di dekat wilayah ini pernah menjadi ajang adu senjata antara tentara Filipina dengan pejuang MILF yang menginginkan kemerdekaan bagi bangsa Moro. Banyak kantor dan tempat publik yang dijaga satpam dengan serius. Sebagai contoh, pengunjung yang masuk ke pusat perbelanjaan harus digeledah lebih dulu. Tidak hanya dengan detektor metal saja tetapi juga dengan pemeriksaan secara fisik. Satpam laki-laki akan memeriksa tubuh pengunjung lak-laki. Satpam perempuan memeriksa pengunjung perempuan. Contoh lainnya, saat melewati pemeriksaan di bandara, kami harus melepaskan ikat pinggang sebelum melewati pintu detektor. Itu pun belum cukup. Karena tidak mencopot sepatu, saya harus keluar lagi dan mencopot sepatu, lalu dilewatkan ke pemindai x-ray. Itu pun masih belum cukup juga. Petugas bandara masih melakukan pemeriksaan badan penumpang dengan sangat teliti, sehingga USB flash yang masih tertinggal di kantong celana saya pun berhasil mereka deteksi.
Karena jadwal pelatihan yang padat, saya jarang jalan-jalan di kota ini. Sejauh pengamatan saya, tidak ada tukang parkir. Ini berbeda sekali dengan kota-kota di Indonesia. Hampir setiap ruas jalan di perkotaan dikuasai oleh tukang pakir. Walau cuma beringsut 500 meter saja sudah harus membayar parkir lagi. Di Davao ini kendaraan-kendaraan terparkir dengan rapi walau tidak ada tukang parkir yang menatanya. Pada malam hari, tidak ada pedagang kaki lima yang merampas jalur pejalan kaki.
Peserta pelatihan yang gemar merokok merasa kewalahan tinggal di kota ini. Pemerintah kota membuat perda larangan merokok di tempat umum. Dan mereka benar-benar tegas menegakkan peraturan ini. Setiap pelanggar bisa didenda 10 ribu pesso atau sekitar Rp. 2.140.000. Mereka juga memasang baliho besar dimana-mana untuk menginformasikan larangan merokok ini. Dan inilah satu-satunya baliho yang memajang foto walikota. Selebihnya tidak ada sampah visual lain yang menampilkan kegenitan politisi dan pejabat publik.
Saat menumpang taksi ke bandara, mata saya tertumbuk pada tulisan di dasbor taksi. Perusahaan taksi ini memberikan diskon 20% kepada penumpang manula dan 7,5 persen kepada penumpang dengan kebutuhan khusus. Sebuah layanan yang menyentuh kemanusiaan. Pikiran saya langsung terbang ke Indonesia. Sopir taksi di Indonesia barangkali malah kalau bisa berusaha menghindari manula dan kaum difabel karena tidak mau ribet.
Secara geografis, posisi Davao lebih dekat ke Indonesia daripada ke Manila. Itu sebabnya ada banyak kemiripan makanan dengan masakan Indonesia. Di sini ada wajik, lumpia, pisang goreng, ketan rebus, capcay, siomay, ayam panggang, bakpao dll. Barang-barang buatan Indonesia juga telah masuk ke pasar Davao. Batik menjadi dagangan yang laris. Di pasar oleh-oleh Aldivenko, terlihat ada banyak kios yang memasang tulisan "House of Batik." Jamu tradisional dari Madura juga sudah penetrasi di Davao ini.
Hal terakhir yang membuat saya melongo di Davao adalah tulisan: "Wireless Public Cemetry" di depan kuburan di Davao. Kalau di Indonesia tempat ini disebut juru kunci atau pengurus makam, tapi yang bikin penasaran adalah tulisan "wireless." Apa artinya? Di dekatnya juga ada sebuah SD dengan tulisan "wireless public school." Saat saya tanyakan pada orang Filipina, mereka memberi jawab yang membuat saya melongo, "Itu artinya kantornya nggak pakai kabel!"
-
- Catatan Perjalanan: Kesasar di Singapura
- Peace Building Training Note
- Catatan Pelatihan “Peace Building” (1)
- Peace Zone di Filipina | Catatan Pelatihan “Peace Building” (2)
- Melongo di Davao
- Menyerap Metode Partisipatif dalam Pelatihan Peace Education
- Menyemai Perdamaian Batin [Oleh-oleh dari Filipina]
- Belajar Tentang Prinsip Belajar Orang Dewasa
- Komunikasi Nir-Kekerasan
- Masuk Zona Ketidak-Nyamanan
- Pemulihan Trauma Berbasis Masyarakat
- Storytelling untuk Menyembuhkan Trauma
- Orang Gila di Changi Singapura
Baca juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H