Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Hati Kecut di Bali

23 Januari 2010   19:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari pertama liburan di Bali, hati kami dibuat kecut karena harus membayar sangat mahal. Tujuan pertama kali adalah taman budaya "Garuda Wisnu Kencana" [GWK] yang ada di kawasan selatan pulau Bali. Ini adalah tempat tujuan wisata baru yang mengandalkan sosok patung sebagai daya tarik utama. Untuk masuk ke tempat wisata ini, setiap pengunjung wajib membeli tiket Rp. 25.000,-/orang dan Rp. 5.000,- untuk parkir mobil. Baru pertama kali masuk tempat wisata, kami sudah merogoh kocek hampir setengah juta. Wah, kalau semua tempat semahal ini, jangan-jangan hari berikutnya kami tidak pernah kemana-mana nih, batin saya. Memasuki kompleks wisata ini, kita akan disuguhi pemandangan bukit-bukit kapur yang telah dikepras. Pikiran pertama yang terlintas di benak saya: "Apakah pembuatan tempat wisata ini tidak merusak lingkungan? Mengapa harus mengeruk bukit kapur?" Saya baru menemukan jawabannya setelah mengakses situs pengelola GWK. Kompleks wisata ini ternyata memanfaatkan bekas lokasi penambangan batu kapur yang terbengkalai. Sebagai titik pusat GWK adalah patung Wisnu setinggi 20 meter dari tembaga yang ditempatkan di bukit tertinggi di Ungasan. Ini hanya tempat sementara sambil menunggu penyelesaian bagian-bagian yang lain. Jika semua sudah selesai, proyek raksasa ini akan menampilkan sosok Dewa Wisnu, sumber kebijaksanaan, sedang mengendarai punggung burung legenda Garuda sebagai manifestasi kesadaran menuju Amerta. Dirancang dan dibangun oleh Nyoman Nuarta, salah satu pematung terkemuka di Indonesia, patung GWK dan bangunan pendukungnya akan berdiri setinggi 150 meter dengan bentangan sayap selebar 64 meter. Untuk membayangkan tingginya, bandingkan dengan tugu Monas (132 m). Setelah itu, bayangkanlah bahwa patung yang sudah komplit ini akan diletakkan di puncak bukit. Bayangkan betapa tingginya! Mobil yang kami tumpangi merayap menuju puncak bukit. Dari ketinggian ini kita dapat menyasikan pemandangan menakjubkan pantai Kuta, Benoa, dan Sanur. Tempat yang diberi nama Plaza Wisnu, sesuai dengan nama patung yang diletakkan di sana, terdapat juga sebuah mata air suci bernama Parahyangan Somaka Giri. Mata air yang keluar terus menerus dari batu ini banyak dipercaya dapat menyembuhkan penyakit atau memberikan hidup yang lebih lama. Itu kalau Anda percaya. Tepat di belakang Plaza Wisnu terdapat Plaza Garuda di mana Patung Garuda setinggi 18 meter diletakkan untuk sementara. Saat ini, Plaza Garuda menjadi titik pusat dari lorong besar yang diapit oleh pilar batu kapur yang mencakup lahan terbuka seluas 4000 meter persegi yang diberi nama Lotus Pond. Pilar batu kapur yang kolosal dan Patung Garuda yang monumental menjadikan Lotus Pond sebagai tempat yang eksotis. Dengan kapasitas ruang yang dapat menampung sampai 7000 orang, Lotus Pond telah dikenal dengan baik sebagai tempat yang sempurna untuk menyelenggarakan acara yang besar maupun acara internasional. Setelah puas berfoto-foto dengan latar belakang patung raksasa, perhatian kami tertuju pada aktivitas di depan toko souvenir. Terlihat ada seorang seniman Bali yang sedang menggambar karikatur pengunjung. Percaya atau tidak, ternyata itu gratis. Ini adalah bagian dari servis yang diberikan kepada pengunjung. Setiap lukisan karikatur hitam putih dapat diselesaikan selama 10 menit. Selain karikatur, ada juga layanan lukisan tatto [sementara] dan cat kuku hias, yang semuanya gratis. Saya tertarik mengantri untuk dilukis karikatur. Ternyata peminatnya cukup banyak sehingga saya batal dilukis karena jam praktik seniman ini hanya sampai pukul 17.00 WITA. Menurut rencana, setelah dari GWK ini kami akan melihat matahari terbenam di Kuta. Namun tiba-tiba mata saya tertumbuk pada tulisan spanduk: "Kecak Dance in Amphiateater, everyday at 18.30."  Yang membuat saya berminat adalah tulisan "free" alias "gratis." Saya berpikir, jika kami mengkhususkan diri untuk menonton pertunjukkan tari kecak di tempat lain, pasti harus keluar ongkos lagi. Maka saya menawarkan pada rombongan untuk menantikan pertunjukan itu. Namun konsekuensinya, kami batal ke Kuta untuk menyaksikan matahari terbenam. Mereka setuju dengan usulan saya.

Bali
Bali
Pertunjukkan tarian ini digelar di amphiteater, sebuah arena terbuka bergaya Yunani, yang berbentuk setengah lingkaran. Latar belakang panggung memanfaatkan dinding batu kapur yang asli. Ada hal yang menarik dari tarian yang dipentaskan malam itu. Sebagian dari penari yang tampil adalah kaum tuna rungu. Lalu bagaimana mereka bisa menyerasikan antara gerakan tubuh mereka dengan musik pengiring? Bukankah mereka tidak bisa mendengar? Rahasianya terletak pada instruktur yang ada di bawah panggung, depan mereka. Para penari tuna rungu ini melakukan gerakan sesuai dengan aba-aba yang diberikan oleh instruktur mereka.
Bali
Bali
Sayangnya, pertunjukan malam itu berlangsung di bawah guyuran gerimis. Kami lupa membawa payung. Meski begitu, hal ini tak mengurangi antusias keluarga kami, khususnya anak-anak dalam menyaksikan petunjukkan yang menarik ini. Saya sebenarnya agak was-was terhadap Kirana [3,5 tahun], anak kami. Dia masih capek dalam perjalanan, dan kali ini diguyur air hujan. Namun melihat semangatnya melihat pertunjukan tersebut, saya tidak tega melarangnya berhujan-hujan. Semakin malam, guyuran hujan semakin deras, hingga akhirnya penonton tak tahan lagi. Mereka segera mencari tempat berteduh dan pertunjukan pun akhirnya berhenti sebelum waktunya.

***

Keluar dari taman budaya GWK, perut kami sudah keroncongan. Sebenarnya teman saya di Bali mengajak kami untuk makan malam di Denpasar, tapi sudah terlalu malam kalau makan malam di Denpasar. Kami memilih untuk menyantap makan malam di Jimbaran, yang terkenal dengan masakan ikan lautnya [juga terkenal karena pernah menjadi sasaran pengeboman].

Bali
Bali
Kami memesan ikan bakar, ikan goreng, cumi-cumi, udang dan kerang.  Saat menerima tagihan, sekali lagi hati kami menjadi kecut karena nilainya tiga kali lipat lebih mahal daripada tarif di "Warung makan biasa." Tapi tak apalah. Yang penting kami mendapat  pengalaman pernah makan di Jimbaran. Pengalaman memang mahal. Tulisan ini merupakan seri dari catatan perjalanan saya ke Bali tanggal 7-11 Januari 2010. Untuk tulisan yang lainnya, silakan klik:

Nota
Nota
Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini. Lihat Video di sini :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun