Pendidikan sering dianggap sebagai jalan utama untuk menciptakan kesetaraan, memberikan peluang yang sama bagi semua orang untuk meraih kesuksesan, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi. Namun, kenyataannya, sistem pendidikan sering kali memperkuat ketidaksetaraan sosial yang sudah ada.Â
Alih-alih mengurangi jurang antara kelas sosial, pendidikan justru sering kali mempertahankan, bahkan memperburuk, ketimpangan tersebut. Perbedaan dalam akses, kualitas pendidikan, dan dukungan sosial menjadikan pendidikan sebagai faktor yang memperdalam ketidaksetaraan, bukannya menguranginya.
Pentingnya memahami pengaruh pendidikan terhadap struktur sosial semakin terasa, terutama dalam konteks ketidaksetaraan yang semakin nyata di Indonesia. Pada tahun 2020-2024, laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan bahwa disparitas kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih tinggi, dengan daerah miskin mengalami kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.Â
Hal ini semakin memperburuk ketidaksetaraan sosial yang ada, mempengaruhi mobilitas sosial, dan mempertegas ketimpangan ekonomi dan sosial di Indonesia
Salah satu aspek penting dalam mempertahankan ketimpangan sosial melalui pendidikan adalah mekanisme penyaringan sosial, seperti ujian seleksi yang hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu yang memiliki sumber daya dan dukungan.
Ujian seperti SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Indonesia, meskipun dirancang untuk memberikan peluang yang sama, tetap memperburuk ketimpangan sosial karena perbedaan dalam kualitas pendidikan di daerah perkotaan dan pedesaan.Â
Akses ke pelajaran tambahan, fasilitas ujian, dan bimbingan online seringkali terbatas hanya pada mereka yang memiliki kemampuan finansial, yang menyebabkan peserta dari kalangan miskin atau terpinggirkan memiliki peluang lebih kecil
Selain itu, pendidikan berfungsi sebagai saran bagi kelas atas untuk mempertahankan dominasi mereka dalam masyarakat melalui proses rekrutmen elit. Institusi pendidikan tinggi di Indonesia, misalnya, sering kali menjadi jalur utama bagi individu dari kelas atas untuk memasuki posisi-posisi kekuasaan di bidang politik, ekonomi, dan bisnis.Â
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada 2023 menunjukkan bahwa akses ke pendidikan tinggi yang berkualitas di Indonesia masih sangat terbatas pada kalangan elit, sementara anak-anak dari keluarga miskin lebih sulit untuk menembus jalur ini.
Keterbatasan akses terhadap fasilitas pendidikan, buku, dan teknologi menjadi hambatan besar bagi anak-anak dari keluarga kelas bawah. Di daerah pedesaan atau pinggiran kota, banyak sekolah yang kekurangan akses internet, komputer, atau buku pelajaran, yang membuat proses pembelajaran menjadi kurang efektif. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga kaya dapat dengan mudah mengakses sumber daya ini, menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar.
Sekolah juga berfungsi sebagai cermin dari kelas sosial dalam masyarakat. Di Indonesia, sistem pendidikan sering kali mengklasifikasikan siswa berdasarkan kemampuan ekonomi dan sosial mereka, dengan sekolah-sekolah favorit atau unggulan yang hanya dapat dijangkau oleh kalangan atas.Â
Penelitian oleh UNICEF pada 2023 mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin di Indonesia sering kali mengalami diskriminasi dalam bentuk perlakuan tidak adil di sekolah, seperti kurangnya perhatian dari guru atau akses yang terbatas ke program-program tambahan.
Ketidaksetaraan dalam pendidikan juga memberi dampak psikologis yang mendalam bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Mereka sering merasa terisolasi, tidak dihargai, atau bahkan tidak kompeten ketika berhadapan dengan siswa yang berasal dari keluarga kaya yang memiliki akses lebih besar terhadap fasilitas pendidikan.
 Dampak psikologis ini, seperti rasa rendah diri dan kurangnya motivasi, memperburuk ketimpangan sosial dan memperkuat rasa putus asa terhadap kemungkinan perubahan status sosial.
Lebih dari itu, sistem pendidikan sering kali justru mempertahankan struktur kelas sosial yang ada. Pendidikan tidak hanya menciptakan jurang ketimpangan, tetapi juga menghambat pergerakan vertikal dalam masyarakat.Â
Sekolah-sekolah elit yang mengandalkan biaya tinggi dan seleksi ketat, misalnya, memperkecil kesempatan bagi mereka yang tidak memiliki akses finansial, sementara kebijakan pendidikan sering kali tidak cukup mendukung kebutuhan siswa dari kalangan marginal.Â
Penelitian yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosial Universitas Indonesia pada 2022 menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia sering kali memperkuat pembagian kelas ini, dengan akses yang lebih mudah diberikan pada anak-anak dari keluarga kaya.,
Lebih jauh lagi, pendidikan berfungsi sebagai wadah reproduksi ideologi yang mendukung kekuasaan kelas atas. Sistem pendidikan seringkali tanpa disadari mendistribusikan ideologi yang mempertahankan dominasi politik dan ekonomi kelompok elit.Â
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Institute for Policy Studies pada 2023, ditemukan bahwa kurikulum di Indonesia tidak cukup mencerminkan keberagaman sosial dan ekonomi negara, dengan lebih banyak memfokuskan pada nilai-nilai yang mendukung status quo dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada.
Di Indonesia, kesenjangan pendidikan antara kelompok kaya dan miskin masih sangat mencolok. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, lebih dari 30% anak-anak dari keluarga miskin di daerah pedesaan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, sementara hanya 6% anak dari keluarga kaya yang menghadapi hal yang sama.Â
Ketidaksetaraan ini berdampak langsung pada mobilitas sosial mereka, dengan kelompok miskin kesulitan mengakses pekerjaan bergaji tinggi, memperburuk ketimpangan ekonomi dan sosial di negara ini.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2023, meskipun ada kemajuan dalam kebijakan pendidikan untuk daerah 3T, seperti program Sekolah Penggerak dan peningkatan akses internet melalui Gerakan 100 Smart City, ketidaksetaraan pendidikan di daerah terpencil masih tetap menjadi tantangan.Â
Program-program ini berupaya untuk memberikan kesempatan pendidikan yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi dan memperkuat kualitas guru di daerah 3T, namun distribusi dan kualitas masih perlu ditingkatkan. Data dari UNICEF Indonesia (2022) menunjukkan bahwa sekitar 30% anak-anak di daerah 3T belum dapat mengakses pendidikan menengah, yang memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi.
Oleh karena itu, kita harus bersama-sama menyuarakan pentingnya pendidikan yang adil. Mari bergandengan tangan untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya mementingkan prestasi akademik, tetapi juga mengutamakan kesetaraan kesempatan bagi setiap anak, di mana pun mereka berada. Setiap individu, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta, memiliki peran vital dalam proses perubahan ini. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertindak
Dengan berkolaborasi dan berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif dan adil, kita dapat membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah bagi seluruh bangsa. Mari bersatu untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam perjalanan menuju pendidikan yang berkualitas. Perubahan dimulai dari kita, dan setiap langkah kecil yang kita ambil dapat menciptakan dampak besar bagi masa depan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H