Mohon tunggu...
Purnama Tambunan
Purnama Tambunan Mohon Tunggu... Tutor - Badminton Lover

""Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya" tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah." (Soe Hok Gie)

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

First Date Wow Enggak Harus di Tempat Wow

22 Juni 2024   15:28 Diperbarui: 24 Juni 2024   04:00 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu Minggu pagi, saya dikenalkan dengan seseorang secara mendadak di gereja. Perkenalan kami sangat singkat, hanya bersalaman dan menyapa sekadarnya. Kebetulan, saat itu ada keperluan mendesak sehingga saya belum bisa bercengkrama bahkan untuk sekadar berbasa-basi.

Komunikasi kami pun berlanjut ke media sosial. Lelaki itu mengirimkan pesan yang baru saya respon sekitar 1,5 bulan kemudian. Alamak! Payah kian saya waktu itu. Saya memang jarang menengok akun media sosial.

Komunikasi kami beralih dari media sosial ke aplikasi pesan instan. Di awal pendekatan ini, kami bertukar informasi seputar keluarga, pertemanan, dan kegemaran. 

Agar lebih leluasa bercakap-cakap, dia mengajak bertatap muka. Kebetulan saya sedang berobat jalan. Jadi, saya usulkan bertemu tepat di hari jadwal berobat. Kalau menunggu akhir pekan sepertinya terlalu lama.

Percakapan kami berkembang. Saya menceritakan kondisi kesehatan saya yang sedang mengalami sakit lambung yang disebut GERD. Dia bahkan menawarkan diri untuk mengantar berobat. Karena tidak ingin merepotkan, saya memintanya menjemput di rumah sakit saja.

Setelah jadwal bertemu kami sepakati, mendadak asam lambung saya naik. Obat lambung golongan Antagonis Reseptor Histamin H2 yang saya minum tidak dapat meredakan gejolak asam lambung.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya mengatur jadwal pertemuan dengan lelaki. Sebelumnya, saya selalu enggan bila diajak bertemu dan mendadak membangun tembok penolakan setebal-tebalnya dan setinggi-tingginya saat ajakan itu datang.

Bagi kebanyakan orang, berkencan mungkin hal biasa. Tapi bagi saya, berkencan adalah hal tergila yang saya lakukan! Mungkin karena itu tubuh ini jadi merespon agak berlebihan. Aih, rasanya lebih parah dari gejolak saat menghadapi pendadaran (sidang) skripsi. Rasa tidak nyaman di lambung bertahan sampai tiga hari kemudian, hari H kami bertemu.

Saat giliran berobat, dokter memeriksa kondisi saya dengan jeli. Denyut nadi saya agak tinggi.

"Saya lagi nervous, Dokter," timpal saya menanggapi hasil pemeriksaan yang diungkap.

"Iya, kelihatan dari mukanya, tegang sekali," komentar dokter seraya mencermati saya. Sepertinya nervous menghadapi first date dan ekspresi menahan rasa perih di lambung berpadu dan tercermin jelas di wajah saya.

"Saya mau ketemuan sama cowok, Dokter," ujar saya malu-malu. Saya berharap dengan bercerita, nervous saya dapat berkurang. Ternyata tidak.

"Saya doain semoga jadi calon suami ya," kata dokter sambil tersenyum, lalu menyerahkan resep yang segera saya tebus.

Tepat di halte depan rumah sakit, Iban (begitu saya memanggil lelaki yang tadi didoakan dokter jadi calon suami) menjemput saya.

Dari atas motornya, Iban membawa kami ke mal terdekat. Dia memesan minuman dan makanan ringan di sebuah gerai. Karena di gerai tersebut tidak tersedia meja dan kursi, kami pindah dan bercakap-cakap di depan gerai lain yang menyediakannya untuk pengunjung mal.

Iban berinisiatif membuka percakapan. Ajaib, meskipun lambung masih terasa perih, nervous saya hilang. Pembawaannya yang supel mampu menyurutkan ketegangan saya. 

Saat berkenalan via aplikasi pesan, saya sempat menceritakan sedikit kepribadian bahwa saya seorang introvert dan pendiam. Mungkin karena ini dia lebih banyak berinisiatif memancing percakapan.

Kami sama-sama memberikan atensi selama kencan berlangsung. Kebetulan, saat itu ponsel saya berada di dalam tas dan entah kenapa tidak ada niat sama sekali untuk mengeluarkannya. Sedangkan Iban, meskipun dia meletakkan ponsel di meja, hanya sesekali saja mengengoknya. Kami tetap menjaga kontak mata saat berbicara. Hal ini tidak sulit karena saya tipe orang yang menatap mata lawan bicara saat berbicara.

Topik percakapan yang diinisiasinya juga fokus untuk saling mengenal, tidak melebar kemana-mana, mulai dari yang ringan hingga yang cukup menantang. Di luar dugaan, dia bahkan mengungkapkan keseriusannya membangun hubungan. Saya dapat memakluminya karena usia kami sudah lumayan matang. Dari percakapan yang terjalin, saya bahkan sudah dapat menangkap perbedaan di antara kami yang bagi saya krusial. Saya pun mengutarakan perbedaan ini.

Suasana tempat kami bercakap sebenarnya agak riuh, namun saya masih bisa menyimak dan menikmati percakapan kami. Benar-benar tidak menyangka, saya, si pendiam ini, ternyata bisa juga bertukar cerita dengan lelaki yang baru dikenal. 

Durasi percakapan kami bahkan lebih dari empat jam, sampai diusir suara announcer yang mengingatkan bahwa jam berkunjung sudah habis. Saking asyiknya bercakap, saya sampai melewati jadwal minum obat.

Pada pertemuan awal, keseriusan yang Iban tawarkan belum dapat saya sambut karena kami tidak sejalan dalam beberapa hal. Pada pertemuan berikutnya, beberapa hal tersebut akhirnya bertemu di satu titik, sehingga kami sepakat untuk menjalin hubungan asmara.

First date yang saya alami sangat berkesan. Untuk mengalami kencan yang berkesan tidak harus di tempat yang wah atau wow atau dimanjakan dengan minuman dan makanan yang menguras isi dompet hingga kempes. Mal yang kami kunjungi bukan tempat yang mewah. Malnya relatif kecil, hanya terdiri dari tiga lantai, dan berlokasi persis di depan pasar. Tempat kami bercakap-cakap bukan gerai bergaya kekinian. Minuman dan makanan ringan yang Iban pesan juga tergolong umum dan harganya relatif terjangkau.

Saat berkencan, tak perlu tampil habis-habisan untuk memberikan impresi. Tampillah senyaman mungkin. Jadilah diri sendiri yang terbaik versi kita. Baik Iban maupun saya berpenampilan sewajarnya. Coba bayangkan saja penampilan pasien berobat jalan, tentu tidak seheboh ke pesta kan ya. Hehehe. Kami menggunakan kaus oblong tanpa perjanjian sebelumnya. Ya masak janjian, judulnya kan baru berkenalan.

Poin penting dalam first date adalah bertemu untuk membangun komunikasi agar dapat saling mengenal. Kedua belah pihak harus mengupayakannya bersama. Upaya ini timbul jika ada rasa saling menghormati dan menghargai. Niscaya, dengan sendirinya suasana yang nyaman dan kondusif akan terbentuk dan melingkupi. Tempat, makanan, minuman, penampilan hanya sekadar faktor pendukung. Sekalipun nanti hasilnya belum sesuai harapan, jangan menganggap apa yang sudah kita upayakan sia-sia. Jangan berkecil hati.

Bagi saya, upaya-upaya yang dilakukan saat berkencan adalah pengalaman berharga. Kita jadi belajar membangun hubungan dengan seseorang. Ini enggak mudah lho, perlu keberanian besar! Bahkan sampai keluar asam lambung berlebih alias keluar dari zona nyaman.

Mauliate ya, Iban awak, sudah membuat awak keluar dari zona nyaman.

Alur Laut, 22 Juni  2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun