Mohon tunggu...
Purnama Tambunan
Purnama Tambunan Mohon Tunggu... Tutor - Badminton Lover

""Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya" tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah." (Soe Hok Gie)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri yang Terungkap

11 Januari 2015   23:32 Diperbarui: 11 Juli 2015   18:11 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Di suatu Minggu sore, aku duduk di ambang pintu kos sambil menggenggam sikat sepatu. Kuamati sepasang sepatu yang baru saja kusikat. Sisa-sisa debu yang berterbangan masih melayang pelan, menghiasi pandanganku. Sepatu baru itu hendak kupakai pada kuliah perdanaku esok hari. Kuamati sepatu itu sejenak, lalu menatap lili Paris yang tertanam tak jauh dari sepatuku berada, sambil mengenang sesuatu. Kenangan beberapa waktu silam...

***

Akhir-akhir ini Bu Lis, guru kimiaku, rajin sekali melakukan sesuatu yang bagiku cukup membosankan sekaligus menyedihkan. Ini kali ketujuh dia mengingatkan sesuatu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan PR kimia. Bagiku PR tentang penamaan senyawa golongan asam karboksilat dan ester yang membuat heboh seisi kelasku pagi tadi itu, masih lebih seru dibahas ketimbang menyimak omongan guruku itu.

Seperti yang sudah-sudah, guruku itu akhirnya memulai begini.

”Oke. Sebelum mengajar, saya mau memberitahu sesuatu,” katanya dari bangkunya, duduk santai agak miring sambil meletakkan salah satu tangannya di atas punggung kursi kayu. Salah satu kakinya dinaikkan ke atas kakinya yang lain. Beliau memandang ke segala lini kelas.

”Dari semua kelas, kelas ini yang paling sedikit sekali membayar DP.” Beliau menatap sejenak ke atas selembar kertas di atas mejanya. ”Baru lima orang, nih. Yang lainnya mana?” tanyanya santai seperti bercengkrama dengan kawan sebaya. Bu guru yang satu ini memang cukup akrab dengan siswa-siswa. Meskipun termasuk guru senior, beliau tidak menjaga jarak, bahkan cukup fasih melontarkan bahasa ’gaul’ yang akrab di telinga siswa-siswanya.

Teman-teman memberikan tanggapan beragam atas pertanyaan Bu Lis. Rina yang duduk di depanku menggaruk-garuk tak jelas. Di sampingnya, Riska, seperti kebanyakan teman yang lain hanya terkekeh. Aris, teman sebangkuku berbisik ke arahku, ”Kamu ditagih tuh, Tina.”

”Bukan ’kamu’, tapi ’kita’, tahu!” cetusku sebal, mengoreksi bisikan Aris. Aris kini ikut terkekeh.

”Kelas-kelas yang lain sudah hampir separuh siswa yang membayar DP loh. Malah ada yang sudah lunas!” kata Bu Lis bersemangat. ”Pak Ketua, gimana nih,” cecar Bu Lis setengah tertawa, memandang Nazrul, pemimpin kelas II-F, kelas kami. Mendadak semua kepala menoleh ke arahnya. Yang ditanya malah cengengesan sambil memegang ujung dasinya di atas meja, tak jelas maksudnya apa.

Nazrul akhirnya menjawab sekenanya, ”Maklum tanggal tua Bu. Dua minggu lagi mungkin sudah banyak yang bayar. Doain aja, Bu.” Si cadel dan kidal ini menjual gigi putihnya, sambil memutar-mutar pulpen di atas jemarinya.

”Amiiin,” kata Bu Lis pasrah, balik menjual deretan gigi rapinya ke semua siswa. ”Cepat-cepat dibayar ya, supaya bisa segera diurus pesanan bus, penginapan, dan lainnya,” tambahnya memohon, seraya menutup acara menagihnya. Sejak menjadi bendahara study tour ke Jogja, beliau layaknya tukang kredit saja. Ini yang membuatku bosan. Saking seringnya menagih, aku dan teman-teman jadi hapal kebiasaan barunya ini sebelum memulai pelajaran di kelas.

Kalau ada pendaftaran siswa yang tidak ikut ke Jogja, mungkin aku yang menjadi pendaftar pertama. Kenapa? Karena aku yakin tak bisa turut serta. Habis biayanya mahal. Biaya sebesar itu setara dengan tiga bulan biaya sekolahku. Mending untuk bayar SPP deh. Ditambah lagi Bu Lis mengatakan bahwa kegiatan itu tidak memengaruhi nilai dan tak ada laporan kegiatan wajib yang harus dibuat nantinya. Ini makin mendukungku bahwa keputusan untuk tidak ikut adalah pilihan yang tepat.

Sebenarnya kepingin juga melihat Kota Pendidikan itu. Apalagi ada acara berkunjung ke Candi Borobudur segala. Pasti asyik tuh melihat bangunan bersejarah nan megah. Tapi aku harus tahu diri, penghasilan orang tuaku kan pas-pasan. Apalagi ada tiga adikku yang masih sekolah. Sedih memang, tapi tak sampai perih kok.

Sebagian besar teman sekelasku memilih tidak ikut, termasuk Aris, yang alasannya setali tiga uang denganku: tak ada duit. Nazrul sendiri sudah terang-terangan mengaku pada teman-teman kalau dia tidak ikut. Ya, kelasku agak berbeda dengan kelas-kelas lainnya. Aku dan kebanyakan teman sekelas berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Seminggu menjelang keberangkatan ke Jogja, dengan sedikit kecewa Bu Lis mengumumkan bahwa hanya sepertiga kelas kami yang mengikuti kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu. Seperti yang sudah aku dan Aris duga, kelas kami menjadi jawara kelas dengan peserta tersedikit. Berkah bagi yang tidak ikut: kami jadi bisa liburan di rumah. Asyiknya.

***

Daun lili Paris bergerak lemah menyaksikan senyumku, ketika kembali kuingat sepenggal kisah di kelas dua SMU dulu. Aku tak menyangka akhirnya bisa menjejakkan langkah di Kota Pendidikan yang dulu sempat ditawarkan padaku. Kalau dulu dengan mantap aku menolak ke Jojga. Belakangan di kelas tiga SMU, kota itu justeru berusaha kudekati. Kota itu seperti magnet, aku serbuk besinya. Kini daya pikat kota itu berbeda sekali dengan dulu ketika aku duduk di kelas dua SMU.

Setelah berhasil lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru, aku pun mau tak mau harus mengakrabi Kota Gudeg itu. Hah, ternyata aku tidak cuma sehari dua hari di kota itu. Kelak bertahun-tahun, malah. Soalnya, aku menimba ilmu dari sumur pengetahuan di sana.

Aku pun mengajak ingatanku bergerak mundur, mencari kenangan lainnya. Kuputar rekaman pada benakku itu. Sebuah kenangan pahit terkuak. Sebelum mendapatkan senyum kebahagiaan karena bisa menimba ilmu di Jogja, aku lebih dulu menikmati air mata. Air mata kegagalan dan kekecewaan.

Kegagalan pada dua seleksi penerimaan mahasiswa baru―Ujian Masuk salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan SPMB―membuatku payah. Keluargaku tampak sedikit kecewa. Namun, aku tahu, kekecewaan yang ada di dalam hati mereka lebih besar dari yang tampak di wajah. Mereka tak sampai hati mengekspresikan kekecewaan mereka secara total, takut membuatku tambah terperosok. Mereka menaruh harapan besar di pundakku. Harapan mereka bukan tanpa landasan. Aku masuk empat besar di salah satu sekolah unggulan di Jakarta. Nilai yang tertera di Surat Tanda Kelulusanku juga lumayan. Jadi, mereka punya keyakinan besar anak sulungnya bisa merebut satu kursi di PTN. Yang aku pelajari dari peristiwa itu, ternyata bersekolah di SMU unggulan tidak menjamin kita mampu menembus PTN. Demikian halnya kuliah di PTN yang tak bisa menjamin kita mendapat pekerjaan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Setelah masak-masak berdiskusi dengan kedua orang tuaku tersayang, aku pun menunda kuliah setahun lamanya. Kesepakatan bulat ini terasa berat dilakukan. Menjadi pengangguran memang tidak enak, terlebih pengangguran yang dibanyak-banyakin acaranya, seperti yang kualami. Aku merasa menjadi orang yang kalah, tersisih, tak berguna. Tapi mau bagaimana lagi, biaya kuliah di luar negeri alias universitas swasta tak bisa kujangkau. Status mahasiswa mungkin belum layak kusandang.

Setahun yang kuisi kembali dengan menggeluti pelajaran SMU, tidaklah memberikan keyakinan penuh bahwa kegagalan akan menjauh dariku. Setahun itu terasa kulalui tanpa kepastian bahwa keberhasilanlah yang menunggu. Yang bisa kulakukan hanya berusaha dan berharap, sambil menahan rasa iri pada teman-teman yang sudah mencicipi bangku kuliah.

Selama setahun itu, ternyata aku cukup banyak mendapatkan jawaban atas ketidakpahaman pelajaran di SMU dulu. Mungkin karena tidak dijejali tugas-tugas sekolah, aku jadi leluasa belajar. Sepertinya tugas-tugas sekolah turut andil menyebabkan kurangnya persiapanku menghadapi ujian seleksi masuk PTN. Alasan klasik nih kalau gagal masuk PTN: persiapan yang minim. Basi ya! Tapi itulah realita yang ada.

Kesempatan kedua datang juga. Dengan persiapan perang yang lebih baik, kumasuki medan ujian seleksi. Saat mengikuti ujian, mental bertandingku jauh lebih siap. Aku lebih pede dan tenang menjawab soal. Karena itulah, data-data rekaman saat belajar bisa cepat loading-nya di otak ketika diperlukan saat menjawab soal. Ternyata modal pengetahuan yang luas saja tak cukup, butuh kesiapan mental yang bisa mengatasi kegugupan dan krisis pede saat mengikuti ujian seleksi.

Apa yang kutabur selama setahun menuai buah yang manis. Akhirnya aku bersua juga dengan keberhasilan yang sempat tertunda menghampiriku. Aku jadi tahu bagaimana rasanya manis itu, setelah sebelumnya mencicipi kepahitan. Ternyata nikmat sekali rasanya.

Penantianku selama setahun bagai sebuah misteri yang belum terpecahkan. Misteri itu sesungguhnya tak kuketahui bagaimana ujungnya. Terjebak dalam misteri setahun itu memaksaku menjalani sebuah proses hidup. Proses ini layaknya lintasan renang yang harus dilalui perenang tanpa tahu kapan berakhir. Yang dikakukan perenang hanya mengerahkan gerakan terbaiknya selama berenang di sepanjang lintasan. Dia terus berusaha, karena dia yakin akan menemui akhir di ujung sana. Dia akan tahu akhir itu ketika menyentuh tepi kolam renang.

Seperti itulah aku memperoleh jawaban dari misteri setahun itu. Kudapatkan jawaban setelah kubiarkan diriku berkubang dalam proses setahun itu. Selama berproses, semangatku fluktuatif, turun-naik. Layaknya perenang yang mendapatkan dukungan dari suporter, demikian juga kudapatkan dukungan dari orang-orang terkasih. Ketika semangatku mengempis, teriakan dukungan dari para suporterku itu memompa semangatku kembali. Suporterku itu sudah seperti bahan bakar semangat saja.

 

Proses mencari jawaban misteri itu membuatku merasakan apa yang disebut berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Terkuaknya misteri itu memaksaku untuk menengok lagi ke belakang, mencermati kenangan-kenangan yang mewarnai lintasan setahun itu. Kadang air mata yang kudapat ketika kegagalan menyapa. Air mata pula yang keluar saking bahagianya sewaktu keberhasilan berhasil kugenggam.

***

Kutinggalkan lili Paris yang menemaniku bernostalgia. Kembali kutatap sepatu kets di hadapanku. Sepatu ini kelak menemani langkahku menimba di sumur pengetahuan, menemaniku menguak misteri-misteri yang baru. Entah bagaimana jawaban misteri itu kelak: jauh melebihi euforia keberhasilanku yang tertunda setahun, atau malah menuai kepahitan. Semuanya diakhiri tanda tanya besar! Apa pun yang kutuai aku siap menerimanya, bahkan pil pahit sekalipun. Soalnya, aku sudah berpengalaman mencicipi rasa pahit.

Akupun tersenyum puas, lalu meraih sepatu itu. Kutempatkan kembali pada rak sepatu, mempertemukannya dengan sepatu-sepatu penghuni kos lainnya. Aku sudah tak sabar merasakan kuliah perdanaku seperti apa. Bah, misteri lagi nih, dan satu hal yang pasti: aku akan mendapatkan jawabannya esok pagi di kampus. Ah, misteri yang cepat terkuak, tak sampai sehari menanti.

Maduratna, 11 Januari 2015

(Salah satu coretan lawas)

***

Cerpen lainnya:

Menjelajah Flash Disk Cinta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun