Mohon tunggu...
Virgina Sanni
Virgina Sanni Mohon Tunggu... -

perempuan, puisi, melodi, dan keindahan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Tunjangan Amplop", Apa Kabar Jurnalis? (2)

26 April 2013   00:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:35 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang salah dari selebar amplop berwarna putih? Tak ada yang salah kalau saja amplop tersebut tak memiliki kepentingan tertentu. Fenoma “amplop” menjadi sebuah rahasia publik dikalangan dunia jurnalistik. Saya sempat bertemu dengan seorang kawan yang berasal dari AJI (Aliansi Jurnalistik Independen) Surabaya. Ia, bahkan AJI Surabaya pun mengakui bahwa memang ada jurnalis – jurnalis yang menerima “amplop”. Menurutnya, amplop tersebut biasanya diberikan oleh narasumber dengan alasan yang macam-macam. Mulai dari memberikan tanpa tendensi apa-apa sapai ada narasumber yang memiliki maksud tertentu, seperti membungkam agar tulisan jurnalis tidak tajam. Hal tersebut semacam sign berupa komunikasi tdak tertulis yang orang umum mengerti artinya. AJI Surabaya dalam hal ini sepakat untuk tidak menerima “amplop” apapun atensinya. Ini dikarenakan tidak adanya jaminan bahwa seorang jurnalis dapat menulis dengan “kencang”, “kencang” disini diartikan bagaimana memnulis berita-berita yang benar – benar membela publik. Apa yang menyebabkan aksi “tunjangan amplop” tersebut marak di dunia jurnalistik, bahkan sudah menjadi behave tersendri?. Menurut AJI Surabaya banyak faktor yang menyebabkan fenoma ini terjadi, salah satunya adalah karena kesejahteraan jurnalis yang begitu minim. Survey AJI Surabaya 2 tahun yang lalu, membuktikan bahwa benar masih terdapat jurnalis-jurnalis yang tidak mendapatkan kesejahteraan. Hal ini dapa dilihat dari masih banyaknya jurnalis yang digaji dibawah satu juta rupiah. Padahal pekerjaan jurnalis butuh modal yang lebih, untuk mewawancarai  narasumber saja butuh ekstra kebutuhan. Karena kepepet inilah akhirnya banyak jurnalis yang menerima “amplop” tersebut. AJI Surabaya sendiri memiliki sanksi -sanksi untuk jurnalis –masuk dalam AJI –yang ketahuan menerima amplop, sanski yang paling berat adalah pemecatan jurnalis dengan prosedur-prosedur yang sesuai.

Fenomena “tunjangan amplop” sama artinya dengan kasus mafia suap-menyuap pada dunia pemerintahan. Sedih dan miris, idealis dan kebutuhan hidup berada dalam kebimbangan yang sama. Sekarang ini semua menjadi pilihan, mana yang anda pilih, idealis namun kelaparan atau kenyang namun tak puas dalam pekerjaan? Hmm... Pilihan yang sulit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun