Karir Manager Manchester United, Louis van Gaal tampaknya masih saja berada di ujung tanduk. Sempat memperpanjang nafas dengan empat kemenangan beruntun, akhirnya kembali tersandung kekalahan dari West Bromwich Albion. Situasi semakin memburuk bagi van Gaal, saat Manchester United menelan kekalahan dari rival besarnya, Liverpool. Para suporter kembali, untuk kesekian kalinya, mengumandangkan “sack LvG” agar manager asal Belanda tersebut segera dipecat dan digantikan dengan yang lain.
[caption caption="Sumber foto: http://i1.mirror.co.uk/incoming/article7072578.ece/ALTERNATES/s615b/Stoke-City-vs-Manchester-United.jpg"][/caption]Tetapi menurut saya, Manchester United masih pantas untuk mempertahankannya. Setidaknya hingga masa kontraknya berakhir pada 2017 nanti. Apalagi dia pernah berujar akan mengakhiri karir kepelatihannya setelah dia selesai menangani Manchester United. Tetai tampaknya merosotnya prestasi dan buruknya performa Manchester United menjadi alasan yang lebih mendominasi dalam menilai kinerja Louis van Gaal. Bahkan dia mulai dianggap lebih buruk dari manajer yang digantikannya, David Moyes, dalam statistik. Seolah lupa bahwa dia yang kembali membawa Manchester United ke papan atas klasemen Liga Primer Inggris setelah terjerembab di posisi ke 7 pada musim sebelumnya. Karena itu, saya ingin memberikan 4 alasan untuk membela Sang Meneer agar dipertahankan oleh direksi Manchester United.
Alasan pertama, buruknya permainan beberapa pemain yang diharapkan menjadi tumpuan permaian. Pada musim kedua menangani Manchester United, beberapa pemain yang diharapkan menjadi tumpuan permainan justru tidak menunjukkan performa yang bagus. Pemain yang menjadi sorotan tentu saja sang Kapten, Wayne Rooney. Dia diharapkan menjadi tumpuan lini depan Manchester United dan memimpin rekan-rekannya di depan. Tapi performanya bak pisau yang tumpul.
Perolehan golnya tidak sebanding dengan harapan besar yang diberikan padanya. Lalu ada Memphis Depay yang juga belum menemukan permainan terbaiknya secara konsisten. Pemain yang lebih memilih dipanggil Memphis ini jelas diharapkan untuk bisa menjadi salah satu tumpuan di lini penyerangan Manchester United. Tidak hanya karena dia datang dengan prestasi yang cukup gemilang dari PSV, dia diberi keistimewaan dengan menyandang nomor punggung 7, nomor keramat di Manchester United. Tapi jauh panggang dari api. Performanya sangat tidak konsisten. Bahkan Louis van Gaal mulai sering mencadangkan Memphis.
Lalu ada seorang Bastian Schweinsteiger yang juga tak kunjung menemukan permainan terbaiknya di Inggris. Pemain dengan ejaan huruf yang cukup sulit ini seperti masih kesulitan beradaptasi dengan permainan di Inggris. Padahal dia diharapkan bisa menjadi pemimpin lini tengah menggantikan Michael Carrick dan menerjemahkan permainan Louis van Gaal di lapangan. Hal itu masih diperburuk dengan dirinya yang kerap mengalami cedera sehingga menganggu proses adaptasinya.
Setali tiga uang dengan pemain dengan ejaan nama yang sulit lainnya, Morgan Schneiderlin. Dia masih belum bisa memberikan kontribusi maksimal seperti saat dirinya masih bermain bagi Southampton. Di lini belakang, saya menyoroti performa Matteo Darmian, Phil Jones dan Marcos Rojo. Terutama bagi Darmian yang sepertinya belum bisa mengimbangi permainan cepat dan keras ala Liga Inggris. Sedangkan Phil Jones dan Marcos Rojo justru lebih banyak berkutat dengan cedera dan saat bermain pun masih tergolong belum baik. Buruknya performa pemain-pemain tersebut tentunya sangat berpengaruh terhadap permainan Manchester United yang imbasnya pada hasil buruk yang didapatkan.
Lalu alasan kedua, adalah badai cedera. Musim ini, entah karena faktor teknis atau memang sedang sial, banyak sekali pemain Manchester United yang bolak balik masuk ke daftar cedera. Mulai yang cedera panjang seperti Luke Shaw, Phil Jones, Marcos Rojo dan Antonio Valencia. Dan yang cedera ringan seperti Bastian Schweinsteiger, Matteo Darmian, Ashley Young dan bahkan yang terbaru Wayne Rooney. Badai cedera jelas menganggu pola permainan Manchester United. Louis van Gaal tidak bisa menurunkan komposisi pemain terbaiknya pada setiap pertandingan.
Imbasnya dia harus bongkar pasang pemain dengan daftar pemain yang ada. Dia tidak bisa menurunkan komposisi terbaik seperti yang dia inginkan. Hal ini jelas tidak baik. Selain permainan yang tidak maksimal, inkonsistensi komposisi pemain yang bermain mengakibatkan tidak ada pola permainan yang pakem dan baku. Imbasnya jelas, performa buruk dan hasil yang buruk. Padahal performa pemain saja Manchester United kembali mempekerjakan seorang Rob Swire. Mantan fisioterapis yang sudah pensiun. Saya pikir dirinya cukup handal untuk bisa mengatasi badai cedera di Manchester United sekarang ini.
Selanjutnya alasan yang ketiga adalah kepercayaan pada pemain muda dari akademi. Ya, dengan buruknya permainan beberapa pemain kunci yang diikuti dengan badai cedera, tidak banyak pilihan pemain yang ada. Pilihan pun jatuh pada para pemain muda. Musim ini, Sang Meneer banyak mengorbitkan pemain muda lulusan akademi. Beberapa pemain yang cukup menonjol adalah Jesse Lingard, Cameron Borthwick-Jackson, Guillermo Varela, Tim Fosu-Mensah dan yang cukup mendapat sorotan akhir-akhir ini adalah Marcus Rashford.
Mereka bagaikan oasis di tengah padang pasir. Para pemain muda tersebut seperti menjadi hiburan tersendiri pada saat peforma buruk belakangan ini. Terlepas dari memang keadaan yang cukup untuk memaksa van Gaal memanggil para pemain muda tersebut untuk bermain bersama tim senior, kepercayaan yang diberikan patut diberi apresiasi tinggi. Keadaan mungkin memang sedang terjepit tetapi jika Sang Meneer tidak percaya dan yakin terhadap pemain mudanya, tentunya kesempatan itu tidak bisa datang. Hal ini memunculkan harapan baru untuk bisa mengulang prestasi Class of ’92. Semoga kedepannya lebih banyak pemain dari akademi yang diberi kepercayaan untuk bermain.
Alasan terakhir untuk membela Louis van Gaal adalah belum selesainya masa transisi Manchester United dari masa kepelatihan Sir Alex Ferguson. Seperti yang kita tahu, Sir Alex mengakhiri masa jabatan kepelatihannya di Manchester United setelah hampir 27 tahun. Pada rentang waktu 27 tahun tersebut, Sir Alex telah membawa Manchester United menjadi tim tersukses di Liga Primer Inggris dan juga menjadi salah satu klub besar di Eropa. Hal ini tentunya akan berdampak pada manajer setelahnya.
Prestasinya akan selalu dibandingkan dengan pendahulunya yang sangat sukses tersebut. David Moyes telah merasakan pahitnya dipecat karena dianggap gagal membawa tim berada di atas. Louis van Gaal pun sepertinya sudah merasakan apa yang dirasakan Moyes 2 tahun yang lalu. Dia dianggap gagal mendongkrak performa dan prestasi tim. Menurut saya, masih banyak pendukung Manchester United yang “gagal move on” dari masa Sir Alex Ferguson. Mereka masih menjadikan prestasi yang diraih olehnya selama menangani Manchester United sebagai parameter yang harus diraih oleh para manajer-manajer penerusnya.
Padahal masa transisi itu tidak terelakkan. Bahkan, Sir Alex Ferguson sudah mengatakan saat mengumumkan dia akan pension bahwa tim akan mengalami masa-masa sulit (masa transisi). Masa transisi tersebut terasa semakin sulit lagi semenjak dipecatnya David Moyes. Saya pribadi, menganggap David Moyes masih pantas diberi kesempatan pada saat itu. Tapi manajemen sepertinya lebih memilih jalan pintas untuk memecat Moyes. Setelah itu, Louis van Gaal jelas memiliki beban masa transisi yang lebih berat.
Saat tim masih belum bisa beranjak dari masa Sir Alex dan diperburuk dengan kegagalan David Moyes, Sang Meneer dibebani tanggung jawab untuk bisa melewati masa transisi tersebut. Dia seperti tidak punya pilihan lain selain harus sukses selama menangani Manchester United. Awalnya seperti akan berjalan mulus saat bisa kembali ke posisi 3 klasemen di akhir musim pertama menangani tim. Tapi setelah itu, sepertinya masa-masa Moyes kembali menaungi Theater of Dreams.
Para suporter seperti lupa bahwa seorang Sir Alex saja butuh waktu sekitar 3 tahun untuk bisa merebut trofi pertamanya bersama Manchester United. Gelar liga baru bisa didapat bahkan setelah hampir 7 tahun menjabat. Hal itu berarti, kesuksesan tidak bisa instan. Apalagi tim masih berada pada masa transisi. Dan sejatinya Louis van Gaal dibebani untuk bisa melewati masa transisi tersebut. Manchester United yang sekarang harus mencari bentuk baru sepeninggalan Sir Alex. Tidak mudah memang tapi para suporter harus segera move on dari masa-masa itu.
Tugas terpenting Louis van Gaal sebenarnya bukanlah membawa tim kembali pada kesuksesan dengan mendapatkan banyak trofi. Tetapi menyiapkan suatu fondasi yang nantinya bisa dilanjutkan oleh manajer selanjutnya. Fondasi yang cukup kuat sehingga manajer yang melanjutkan jabatannya nanti bisa membentuk tim juara tanpa harus melewati transisi yang sulit. Tetapi sekali lagi, banyak suporter yang menginginkan kesuksesan instan. Hal itu tentunya sulit bagi Louis van Gaal sekarang ini. Dia seperti berada di ujung tanduk setiap menemani timnya bertanding dari pinggir lapangan.
Louis van Gaal memang belum bisa dikatakan sukses dalam menangani Manchester United terutama dari segi gelar. Tetapi dia juga tidak bisa dikatakan gagal. Sayangnya, seperti tidak ada yang membelanya dan hanya terus menyudutkannya. Oleh karena itu, 4 alasan diatas yang menurut saya bisa menjadi alasan untuk membela seorang Louis van Gaal. Sebuah pembelaan supaya dia bisa terus menangani timnya hingga pada waktunya nanti, Manchester United, akan kembali menapaki kesuksesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H