Hari Rabu siang, tanggal 12 September kala itu, seorang guru di sekolah saya masuk ke kelas meminta izin pada guru mata pelajaran untuk interupsi sedikit, karena ada pemberitahuan. Ia mengatakan, bahwa siswa yang sudah berumur 17 tahun dan mempunyai KTP domisili DKI Jakarta diharap turun ke audio visual sehabis istirahat kedua. Ada sosialisasi mengenai pilkada, katanya. Kelas langsung ricuh. Saya yang belum 17 tahun, langsung penasaran.
Luckily, saat istirahat kedua habis, guru mata pelajaran yang seharusnya mengajar masuk dan berkata bahwa anak program sosial turun saja semua, yang difilter adalah anak program alamnya. Dengan hati gembira karena tidak belajar, kami pun turun ke bawah menuju ruang audio visual. Seorang teman mengatakan, bahwa acara ini adalah 'kampanye terselubung foke' menurut SMA-SMA tetangga di bilangan Jakarta Timur yang lain. Saya pun makin penasaran.
Begitu baru masuk, ada dua kertas dibagikan. Satu kertas aspirasi yang nanti hendak dikumpul sehabis 'sosialisasi' berlangsung, dan satu lagi adalah brosur tentang bagaimana kehidupan di Jakarta 'telah meningkat' selama 5 tahun ini, khususnya di bidang pendidikan. Â Which is probably a lie, karena saya sendiri tidak dapat merasakan 'kemajuannya'. Dan pembaca Kompasiana harus tahu, bahwa selama 'sosialisasi' berlangsung ada gambar kumis dimana-mana. Di dua lembar brosur yang saya ceritakan tadi, di standing banner yang bertuliskan 'Anak Jakarta Jangan Golput', dalam presentasi yang mereka buat, hingga kumis-kumisan yang dibagikan kepada murid-murid.
Di dalam ruangan ada sekelompok muda-mudi dengan dandanan khas urban, memakai T-shirt warna hitam dan celana jeans.Mereka memperkenalkan diri sebagai bagian dari suatu kumpulan organisasi, yang saya lupa namanya, dan segera menyapa kami.
"Kalian tahu kita disini mau ngapain?"
"KAMPANYEEEE!" Sontak murid-murid SMA sekolah saya berseru.
"Bukan, masa sih boleh kampanye di sekolah, gak boleh kan?"
"ENGGAAAK!" Kita berseru lagi, tapi anak-anak SMA terlalu bodoh untuk dikibuli.
"Kita disini cuma sebagai character building aja, dimana kita mau ngasih tau kalau satu suara dari kamu aja udah bikin perubahan. Kita cuma mau ngasih tahu kalian supaya jangan golput!"
Yap. Kebohongan nomor satu.
Teman-teman di sekitar saya langsung ricuh menyeletuk untuk pilih nomor 1. Saya hanya tertawa. Apalagi setelah salah satu dari pemuda berbaju hitam itu berkata, "Mau ke waterboom gak bayar kan? Mau makan McD gratis kan?" Hahaha. Bisa saja politiknya.
Agenda pertama mereka adalah menunjukkan sebuah video motivasi.
Jadi, di dalam video itu ada banyak olahragawan terkenal. Mulai dari Muhammad Ali sampai Michael Phelps. Ada juga cuplikan pidato-pidato mereka dengan kata-kata inspiratif. Intinya, diceritakan mereka tadinya bukan apa-apa. Sama dengan kita. Sekarang masih belum apa-apa, dan harus memperjuangkan diri untuk menjadi yang NO. 1. Ditulis besar-besar. Walaupun letak tulisannya di bawah, namun dipajang dalam waktu yang lama di dalam video tersebut. Wow.
Sehabis itu, ditanya 3 murid yang dapat menyimpulkan isi video tersebut dan sesudah menyampaikan pendapatnya, mereka mendapat voucher McD.
Agenda keduanya adalah menyuruh 4 orang serta 3 orang teman mereka pada masing-masing orang untuk membuat team mereka sendiri. Tugas mereka adalah, memakai kumis bohongan yang diberi karet di belakangnya, dan berfoto dengan segila-gilanya. Dan pemenangnya mendapat voucher waterboom.
Setelah itu, agenda ketiganya adalah menonton video kedua dengan maksud yang lebih jelas. Di dalam video itu dimunculkan 'bukti-bukti keberhasilan Bapak Gubernur membawa Jakarta dalam 5 tahun ini' yang dilengkapi data-data statistik. Disitu ada data tentang kemacetan, kemiskinan, pendidikan, pemukiman kumuh, banjir, dan lain-lain, yang kebanyakan, tidak saya rasakan sama sekali perubahannya. Lalu di akhir video, ada kata-kata yang bikin super ngakak. Disitu bertuliskan: 'Bukti itu nomor 1, Janji itu nomor 3'. Teman-teman saya pun langsung cekikikan geli juga melihatnya. Dalam artian negatif, sih.
Lalu seorang pemuda berbaju hitam mengambil microphone kembali. Ia kembali berbincang-bincang dengan 'ramah dan hangat'.
"Dan kabarnya, sekolah mau digratisin sampai 12 tahun loh sama Bapak Gubernur, seneng gak?"
"ENGGAAAAAK!" sontak kita berteriak keras. Bukan respon yang mereka harapkan, melihat reaksi ekspresi mereka yang heran.
"Kenapa? Pendapatnya dong!"
Teman sekelas saya pun langsung tunjuk tangan untuk ambil suara. Ia mengambil microphone dan sedikit curhat tentang apa yang terjadi di sekolah kami.
"Kita nggak mau sekolah gratis sampai 12 tahun karena nanti AC-nya jadi satu per kelas (yang berisikan 36 anak; sangat tidak cukup untuk dipakai seharian, bahkan SMP saya saja memakai 2 unit AC), anak OSIS katanya nanti susah bikin proker, dan guru honorer nanti keluar semua (tapi masih rumor sih, didukung juga sama kebijakan PNS harus mengajar 24 jam seminggu. Yang jadi masalahnya, guru-guru honorer ini benar-benar yang berkualitas dan guru-guru PNS di sekolah saya, sorry to say ya, agak tidak guna dan efektif ngajarnya. Jadi ini masalah yang kind of big buat murid.)"
Pemuda yang bertanya tadi menanggapi dengan sinis.
"Nggak lucu tau. Ha. Kok kamu malah curhat sih?"
Teman saya tadi langsung nyolot, "Itu kan aspirasi saya Mas, tadi katanya nanya pendapat!"
Disambung lagi dengan teman sekelas saya yang lain:
"Lalu ya, masa nanti cleaning service jadi pada gak ada....masa kita disuruh piket kan males banget,"
Tawa demi tawa pun susul-menyusul menanggapi pernyataan tersebut.
"Ya mungkin kalian cukup mampu, tapi kita melihat secara global, bahwa pendidikan gratis 12 tahun itu merupakan hal yang sangat bagus. Jadi intinya, tanggal 20 September nanti, kalian sisakan aja 5 menit waktu kalian di hari itu untuk nyoblos mana yang terbaik untuk kalian," Si Mas itu berkata lagi dengan lumayan netral; tidak menyebut no.1 lagi maksudnya hehe.
Ya mungkin kita memang murid manja, dan memang program pendidikan gratis 12 tahun itu bagus secara global, tapi jujur saya sendiri sih lebih mementingkan kualitas. Gratis tapi kalau fasilitas semuanya dikurangi dan guru-gurunya tidak efektif dalam mengajar, siapa juga yang mau? Waktu SMP saja, saya melihat, ada 'jurang' di antara anak-anak kelas reguler yang tidak bayar dengan anak-anak akselerasi dan bilingual yang memiliki SPP. Anak yang bayar setiap bulan itu punya fasilitas wifi di kelas, TV di kelas, outbond setiap tahun, native speaker yang datang setiap minggu untuk sekedar ngobrol dengan bahasa inggris, dan meja-kursi khusus yang jauh lebih bagus. Jadi sejujurnya, saya agak menolak program pendidikan gratis 12 tahun ini.
Ya, pada akhirnya, teman-teman serta saya keluar ruangan setelah acara berakhir dengan kemantapan hati di masing-masing jiwa akan pilihannya tanggal 20 September nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H