Listrik.
Sesuatu yang tidak terlihat namun bermanfaat. Jika tidak hati-hati bisa tersengat, bahkan sekarat hingga wafat. Dengannya, ekonomi berputar cepat. Pendidikan dan kesehatan juga dapat meningkat. Akhirnya, kesejahteraan masyarakat bisa didapat.
Secara teknis, bicara listrik maka berbicara tentang jaringan. Koneksi yang terhubung dari pembangkit hingga pelanggan. Sampai saat ini memang belum ada teknologi menghantarkan listrik dalam jumlah besar tanpa kawat/kabel. Mungkin di suatu hari nanti. Semoga.
Jaringan listrik milik PLN terbentang merajut kehidupan. Jaringannya melintasi berbagai medan. Pemukiman, jalan, sungai, kebun, gunung, hingga hutan. Ya, hutan belantara penuh semak belukar dan tanaman berduri.
Ternyata, pekerjaan listrik sangatlah kompleks. Tidak hanya duduk di kantor mengerjakan laporan menghadap komputer. Atau menjaga generator pembangkitan agar tetap berputar. Atau mendatangi pelanggan dan memasang sambungan baru. Tapi, pekerjaan listrik juga butuh menembus hutan, melintasi sungai, mendaki bukit, hingga memanjat tower setinggi puluhan meter. Inilah pekerjaan “transmisi”.
Pekerjaan Transmisi
Listrik yang dibangkitkan akan melalui perjalanan jauh untuk mencapai pelanggan. Oleh karenanya, tegangannya dinaikkan. Jika tidak dinaikkan, maka listrik akan habis di jalan. Yah, mungkin dia lelah. Listrik tegangan tinggi ini akan melintasi jaringan transmisi. Transmisi inilah yang ditopang oleh tower SUTT/SUTET. Setelah tegangannya diturunkan oleh trafo di gardu induk, baru bisa dimanfaatkan oleh pelanggan.
Pekerjaan transmisi meliputi pengecekan kondisi tower dan jaringan. Tanaman di sekitar tower perlu dipastikan untuk dipangkas agar tidak menjadi jalan bagi ular untuk ‘piknik’ di atas tower. Selain itu, tapak tower yang penuh ilalang berpotensi menjadi rumah hewan berbahaya: ular, kalajengking, dan babi hutan. Tanaman di bawah jaringan juga terkadang menimbulkan masalah. Pohon yang menyentuh jaringan bisa menyebabkan gangguan padam dan juga terbakar. Sedangkan, orang yang berada di dekatnya bisa terancam kena setrum. Tegangan tinggi tentunya. Anda tahu seperti apa arus jaringan SUTT jika terhubung ke tanah? Ledakan keras seperti petir. Cukup keras untuk membangunkan anda dari tidur lelap.
Bekerja di transmisi adalah petualangan. Bertualang mencari jalan, merasakan serunya tersesat, menguras tenaga fisik demi mencapai tujuan. Pekerjaan ini, sepertinya, cocok bagi pecinta alam.
Sebagai anggota HAR TRAGI (pemeliharaan transmisi dan gardu induk) kami dituntut untuk bisa menaklukkan berbagai medan dan menguasai aneka peralatan gardu induk. Dalam perjalanannya, menjelajah transmisi membuka mata saya bahwa betapa luasnya hutan Indonesia. Maka, izinkan saya memandu anda kembali menilik memori dalam menelusuri secuil alam Nusantara untuk menerangi negeri.
Dekat di Mata, Jauh di Kaki
Pengalaman pertama saya menjelajah berlokasi di Sumatera Selatan. Pekerjaan pertama untuk mengecek tahanan pentanahan tower di Kabupaten Lahat. Saya ditemani seorang sahabat saya bernama Muntohar dan seorang pemandu jalan. Pemandu ini biasa disebut sebagai ‘mandor line’ karena tugasnya sebagai pengawas harian tower dan jaringan transmisi.
Pekerjaan dilaksanakan selama 8 hari. Dalam sehari kami menargetkan 6 tower. Jarak antar tower bekisar antara 300-500 meter. Jarak yang tidak terlalu jauh, jika jalanannya lurus. Namun kenyataannya medan yang berbukit memacu kami untuk lebih banyak mengeluarkan keringat. Seringkali kami harus mengambil jalan memutar karena dihadang jurang atau pohon tumbang untuk sampai ke tower tujuan.
Dua hari berikutnya, kami dipandu oleh orang yang berbeda. Orang ini sepertinya terlalu energik. Berkali-kali kami tertinggal dan bingung memilih jalan. Dia berjalan cepat sekali. Hanya dalam hitungan menit dia sudah hilang di balik pepohonan. Meninggalkan kami yang ngos-ngosan tanpa peduli kami tersesat atau tidak. Dia meninggalkan kami dengan cepat, secepat orang yang ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Terpaksa, kami memberi kode berupa suara panggilan keras. Ingin sekali saya menegurnya, tapi sungkan lantaran saya masih pegawai junior.
Hari-hari terakhir, sempat terjadi miss komunikasi. Tempat titik pertemuan yang dijanjikan salah koordinat. Akhirnya mengakibatkan tim harus bolak-balik di dalam hutan untuk berjalan mencari jalan keluar. Tak lama, awan mendung juga menumpahkan isinya. Hujan deras. Pepohonan tidak cukup baik menjadi tempat perlindungan. Gubuk juga tidak ada. Kami pun basah kuyup. Sore harinya, kami baru bisa keluar dari lokasi dan segera menuju penginapan untuk mengusir lelah dan lapar yang menghinggapi.
Saat akan pulang, kami harus menempuh jalan yang sama. Mengingatnya saja sudah membuat lelah. Andaikata bisa melintasi sungai, kami tidak perlu repot-repot kembali ke titik awal. Aha! Kami melihat ada sampan tersandar di sungai. Setelah dicari tahu ternyata milik warga tadi. Terbesitlah akal bulus yang baik hati. Bang Joko membeli 1 karung duku. Murah, hanya 50 ribu. “Mobilnya ada di seberang pak, boleh diantarkan sekalian pak?”, tawar bang Joko. Bapak itu setuju. Alhasil kami membawa pulang 1 karung duku dengan bonus menyeberang sungai. Lumayan, saya bisa mengistirahatkan paha untuk misi selanjutnya.
Itulah sekelumit pengalaman menjelajah transmisi. Dekat di mata, jauh di kaki. Bisa berarti secara harfiah maupun kiasan. Intinya, pekerjaan ini sekilas nampak sederhana namun ternyata perlu menguras tenaga. Ah, tidak mengapa. Asalkan itu bisa mengalirkan listrik dan membuatmu kembali tersenyum karena bisa menonton tayangan favoritmu di TV.
Penulis: Gigih Yudhanto Purbonoto
Unit: PLN Tragi Lopana, AP2B Minahasa, Wilayah Suluttenggo
Facebook : Gigih Yudhanto Purbonoto
Twitter : @Gigih_Purbonoto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H