Mohon tunggu...
Gigih Y Purbonoto
Gigih Y Purbonoto Mohon Tunggu... -

Berani saja tidak cukup, butuh NEKAT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jelajah Transmisi: Dekat di Mata, Jauh di Kaki

23 Oktober 2016   13:42 Diperbarui: 23 Oktober 2016   13:50 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lihat tower-tower di belakang? Itulah tujuan kami

Listrik.

Sesuatu yang tidak terlihat namun bermanfaat. Jika tidak hati-hati bisa tersengat, bahkan sekarat hingga wafat. Dengannya, ekonomi berputar cepat. Pendidikan dan kesehatan juga dapat meningkat. Akhirnya, kesejahteraan masyarakat bisa didapat.

Secara teknis, bicara listrik maka berbicara tentang jaringan. Koneksi yang terhubung dari pembangkit hingga pelanggan. Sampai saat ini memang belum ada teknologi menghantarkan listrik dalam jumlah besar tanpa kawat/kabel. Mungkin di suatu hari nanti. Semoga.

Jaringan listrik milik PLN terbentang merajut kehidupan. Jaringannya melintasi berbagai medan. Pemukiman, jalan, sungai, kebun, gunung, hingga hutan. Ya, hutan belantara penuh semak belukar dan tanaman berduri.

Ternyata, pekerjaan listrik sangatlah kompleks. Tidak hanya duduk di kantor mengerjakan laporan menghadap komputer. Atau menjaga generator pembangkitan agar tetap berputar. Atau mendatangi pelanggan dan memasang sambungan baru. Tapi, pekerjaan listrik juga butuh menembus hutan, melintasi sungai,  mendaki bukit, hingga memanjat tower setinggi puluhan meter. Inilah pekerjaan “transmisi”.

Pekerjaan Transmisi

Listrik yang dibangkitkan akan melalui perjalanan jauh untuk mencapai pelanggan. Oleh karenanya, tegangannya dinaikkan. Jika tidak dinaikkan, maka listrik akan habis di jalan. Yah, mungkin dia lelah. Listrik tegangan tinggi ini akan melintasi jaringan transmisi. Transmisi inilah yang ditopang oleh tower SUTT/SUTET. Setelah tegangannya diturunkan oleh trafo di gardu induk, baru bisa dimanfaatkan oleh pelanggan.

Pekerjaan transmisi meliputi pengecekan kondisi tower dan jaringan. Tanaman di sekitar tower perlu dipastikan untuk dipangkas agar tidak menjadi jalan bagi ular untuk ‘piknik’ di atas tower. Selain itu, tapak tower yang penuh ilalang berpotensi menjadi rumah hewan berbahaya: ular, kalajengking, dan babi hutan. Tanaman di bawah jaringan juga terkadang menimbulkan masalah. Pohon yang menyentuh jaringan bisa menyebabkan gangguan padam dan juga terbakar. Sedangkan, orang yang berada di dekatnya bisa terancam kena setrum. Tegangan tinggi tentunya. Anda tahu seperti apa arus jaringan SUTT jika terhubung ke tanah? Ledakan keras seperti petir. Cukup keras untuk membangunkan anda dari tidur lelap.

Bekerja di transmisi adalah petualangan. Bertualang mencari jalan, merasakan serunya tersesat, menguras tenaga fisik demi mencapai tujuan. Pekerjaan ini, sepertinya, cocok bagi pecinta alam.

Sebagai anggota HAR TRAGI (pemeliharaan transmisi dan gardu induk) kami dituntut untuk bisa menaklukkan berbagai medan dan menguasai aneka peralatan gardu induk. Dalam perjalanannya, menjelajah transmisi membuka mata saya bahwa betapa luasnya hutan Indonesia. Maka, izinkan saya memandu anda kembali menilik memori dalam menelusuri secuil alam Nusantara untuk menerangi negeri.

Dekat di Mata, Jauh di Kaki

Pengalaman pertama saya menjelajah berlokasi di Sumatera Selatan. Pekerjaan pertama untuk mengecek tahanan pentanahan tower di Kabupaten Lahat. Saya ditemani seorang sahabat saya bernama Muntohar dan seorang pemandu jalan. Pemandu ini biasa disebut sebagai ‘mandor line’ karena tugasnya sebagai pengawas harian tower dan jaringan transmisi.

Pekerjaan dilaksanakan selama 8 hari. Dalam sehari kami menargetkan 6 tower. Jarak antar tower bekisar antara 300-500 meter. Jarak yang tidak terlalu jauh, jika jalanannya lurus. Namun kenyataannya medan yang berbukit memacu kami untuk lebih banyak mengeluarkan keringat. Seringkali kami harus mengambil jalan memutar karena dihadang jurang atau pohon tumbang untuk sampai ke tower tujuan.

Melintasi sungai untuk mencapai tower
Melintasi sungai untuk mencapai tower
Dua hari pertama berjalan baik. Hanya ada ular numpang lewat dan baju yang basah kuyup lantaran melintasi sungai serta bermandikan keringat. Pemandunya pun menunjukkan jalan dengan baik. Medan berbukit menguji kelayakan stamina kami sebagai anggota pekerja transmisi. Ketika sampai di salah satu bukit, saya bisa melihat dengan jelas tower-tower yang harus dilewati. Tapi ternyata, untuk mencapainya harus menghabiskan waktu berjam-jam! “Ini yang namanya dekat di mata tapi jauh di kaki”, ujarku pada Tohar. Dia hanya menjawab dengan tertawa dan senyumannya yang khas.

Dua hari berikutnya, kami dipandu oleh orang yang berbeda. Orang ini sepertinya terlalu energik. Berkali-kali kami tertinggal dan bingung memilih jalan. Dia berjalan cepat sekali. Hanya dalam hitungan menit dia sudah hilang di balik pepohonan. Meninggalkan kami yang ngos-ngosan tanpa peduli kami tersesat atau tidak. Dia meninggalkan kami dengan cepat, secepat orang yang ingin melupakan masa lalunya yang kelam. Terpaksa, kami memberi kode berupa suara panggilan keras. Ingin sekali saya menegurnya, tapi sungkan lantaran saya masih pegawai junior.

Hari-hari terakhir, sempat  terjadi miss komunikasi. Tempat titik pertemuan yang dijanjikan salah koordinat. Akhirnya mengakibatkan tim harus bolak-balik di dalam hutan untuk berjalan mencari jalan keluar. Tak lama, awan mendung juga menumpahkan isinya. Hujan deras. Pepohonan tidak cukup baik menjadi tempat perlindungan. Gubuk juga tidak ada. Kami pun basah kuyup. Sore harinya, kami baru bisa keluar dari lokasi dan segera menuju penginapan untuk mengusir lelah dan lapar yang menghinggapi.

Mencari jalan keluar untuk pulang. Tidak lama kemudian turun hujan.
Mencari jalan keluar untuk pulang. Tidak lama kemudian turun hujan.
Dalam kesempatan lain, saya ikut pekerjaan yang sama dengan medan yang berbeda. Saya menemani bang Joko Triyadi, petugas PDKB (Pekerjaan Dalam Keadaan Bertegangan) untuk climb up inspection. Kali ini kami harus berjalan jauh memutar untuk sampai ke lokasi. Berangkat dari jembatan, kami menyusuri hutan. Kebetulan kami melintasi warga setempat yang sedang memanen duku dan manggis. Kami pun ditawari makan buah gratis sepuasnya. Jujur saja, saat itu pertama kalinya saya makan manggis langsung dari pohon. Manis rasanya.

Saat akan pulang, kami harus menempuh jalan yang sama. Mengingatnya saja sudah membuat lelah. Andaikata bisa melintasi sungai, kami tidak perlu repot-repot kembali ke titik awal. Aha! Kami melihat ada sampan tersandar di sungai. Setelah dicari tahu ternyata milik warga tadi. Terbesitlah akal bulus yang baik hati. Bang Joko membeli 1 karung duku. Murah, hanya 50 ribu. “Mobilnya ada di seberang pak, boleh diantarkan sekalian pak?”, tawar bang Joko. Bapak itu setuju. Alhasil kami membawa pulang 1 karung duku dengan bonus menyeberang sungai. Lumayan, saya bisa mengistirahatkan paha untuk misi selanjutnya.

Itulah sekelumit pengalaman menjelajah transmisi. Dekat di mata, jauh di kaki. Bisa berarti secara harfiah maupun kiasan. Intinya, pekerjaan ini sekilas nampak sederhana namun ternyata perlu menguras tenaga. Ah, tidak mengapa. Asalkan itu bisa mengalirkan listrik dan membuatmu kembali tersenyum karena bisa menonton tayangan favoritmu di TV.

Penulis: Gigih Yudhanto Purbonoto

ID Card. Lokasi: Kompleks PLTU Amurang.
ID Card. Lokasi: Kompleks PLTU Amurang.
NIP: 90151132ZY
Unit: PLN Tragi Lopana, AP2B Minahasa, Wilayah Suluttenggo
Facebook :  Gigih Yudhanto Purbonoto 
Twitter : @Gigih_Purbonoto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun