Mohon tunggu...
Ratih Purbasari
Ratih Purbasari Mohon Tunggu... -

Million miles from home

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Buku dan Film "Eat, Pray, Love": Curhat Seorang Perempuan Sukses dari New York

19 September 2010   18:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:07 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kalau seorang perempuan yang sukses berasal dari New York curhat, maka hasilnya adalah buku yang menjadi best seller dan di sadur menjadi sebuah film di bintangi oleh Julia Roberts. Berbeda kalau kita yang curhat, hasilnya gosip yang jadi bulan-bulanan. Sama-sama curhat, namun bisa ditanggapi berbeda.

Buku Eat Pray Love menjadi best seller selama 2 tahun terakhir, telah di terjemahkan ke dalam beberapa bahasa, dan terakhir sebuah film dibuat berdasarkan bukunya. Membaca buku Eat Pray Love pada tahun 2007, saat itu tak ada seorang pun yang tertarik untuk membaca. Sejujurnya, butuh waktu yang cukup lama untuk memahami kenapa Elizabeth Gilbert seorang penulis sukses asal New York masih bisa merasa kekurangan. Padahal masih banyak perempuan-perempuan di dunia yang tidak seberuntung dia namun merasa "kaya" dan "hidup". Alhasil saya membutuhkan 5 bulan untuk akhirnya menuntaskan membaca bukunya padahal saya seorang pembaca buku yang cepat tuntas.

Entah kenapa, tiba-tiba semua teman perempuan saya sibuk membicarakan buku ini. Di dalam subway perjalanan ke tempat kerja, banyak terlihat membawa buku ini. Bahkan tersedia buku edisi khusus untuk anggota book club dan beberapa teman saya di Indonesia juga membicarakan buku ini.

Ketika filmnya diluncurkan, saya pun menonton filmnya, karena saya penasaran dan ingin tahu bagaimana hasilnya. Selain tentunya sedikit untuk membayar rasa rindu akan tanah air. Walaupun banyak ulasan mengenai film ini tidak beitu menjanjikan, saya tetap pergi menonton film ini. Film ini direncanakan tayang di Indonesia pada bulan Oktober 2010. Saya cukup beruntung berada di negara yang menayangkan film ini lebih awal dan saya menonton film ini pada minggu kedua setelah peluncuran premier film ini.

Mungkin karena saya membaca banyaknya ulasan mengenai film ini yang kuang begitu memuaskan. Pendapat saya mengenai film dan bukunya mungkin agak sedikit bias, terpengaruh ulasan-ulasan tersebut. Maka saya mencoba mendapatkan pendapat teman-teman dekat saya yang pernah membaca dan menonton film ini. Hasilnya ternyata mereka memiliki pendapat yang sama.

Rata-rata teman saya bercerita bahwa mereka membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya ketika membaca buku Eat Pray Love. Bahkan beberapa diantaranya tidak menyelesaikannya. Alasan mereka pun beragam, mulai dari membosankan, tidak jelas jalan ceritanya, tidak jelas masalahnya, dan yang paling akhir, mereka bilang bahwa sejak kapan Pray (berdoa) bisa menjadi sesuatu cerita yang menegangkan karena berdasarkan riset kecil-kecilan yang saya lakukan, bagian ini paling banyak dilewati. Ada juga yang mengatakan bahwa si penulis seorang perempuan sukses yang sibuk menangisi kesuksesannya dan melakukan perjalanan selama satu tahun tanpa bekerja hanya untuk menangisinya. Sedikit berlebihan, tapi ada benarnya. Buat saya pribadi, buku ini tidak memberikan saya inspirasi untuk menjadi seseorang yang lebih baik, apalagi si penulis mengklaim buku ini sebagai biografi perjalan spiritualnya. Tentunya membuat orang mengharapkan banyak dari buku ini.

Dari beberapa teman saya yang mebaca bukunya dan kemudian menonton Film Eat Pray Love memberikan tanggapan yang tak jauh berbeda. Pada intinya mereka kecewa akan filmnya secara keseluruhan. Kebanyakan mengharapkan sesuatu yang lebih dari filmnya apalagi karena di bintangi aktor sekaliber Julia Roberts dan Javier Bardem. Namun mereka memiliki satu pendapat yang sama mengenai film tersebut; perjalanan dalam film Eat Pray Love membuat mereka ingin melakukan perjalanan liburan.

Akhirnya saya pun berkesimpulan bahwa pendapat saya mengenai buku dan film Eat Pray Love ternyata tidak jauh berbeda dengan pendapat orang umum kebanyakan yaitu; membosankan, tidak jelas jalan ceritanya, dan tidak memberikan inspirasi. Namun pemandangan yang sangat di ekspos dalam filmnya membuat orang-orang "memaafkan" film Eat Pray Love yang tanpa alur cerita.

Walaupun demikian, sebagai orang Indonesia saya berterima kasih kepada Eat Pray Love karena telah memperkenalkan Indonesia kepada dunia dan Elizabeth Gilbert belajar tentang Cinta di Indonesia. Ironis, karena orang-orang Indonesia sendiri harus mengulangi pelajaran mengenai cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun