Mohon tunggu...
Politik

Pesta Demokrasi

21 April 2015   09:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu pada tanggal 9 April 2014 merupakan pesta rakyat demokrasi Indonesia. Dikatakan pesta rakyat demokrasi karena pada tanggal 9 April 2015 semua rakyat melakukan pemilihan umum untuk memilih kepala pemerintahan. Disitulah rakyat beraspiran mengeluarkan pilihannya sesuai yang diinginkan. Namun kita masih meyakini bahwa pilihan yang kita ambil saat ini merupakan suatu kepercayaan positif untuk masa depan kehidupan bagi bangsa Indonesia. Salah satu nilai ukuran dilihat dari bagaimana perjalanan bangsa ini melaksanakan pesta demokrasi, yaitu pemilu yang telah digelar selama 3 kali dan ratusan kali Pemilukada yang berulang-ulang telah digelar semenjak reformasi.

Dari pemilu tersebut, kita melihat sejauhmana partisipasi masyarakat sebagai pemilih yang merupakan bagian paling penting dari esensi legitimasi dari sistem demokrasi kita itu. Dalam konteks ini, tentu kita amat cemas menilai, apakah legitimasi dari sistem demokrasi kita ini mampu menjadi pilar penting kehidupan berbangsa bernegara, jika dari periode pemilu ke pemilu berikutnya, angka partisipasi pemilih bukannya semakin tinggi, malah semakin turun. Jika hal itu terjadi, maka tentu ada sesuatu yang salah, dan kesalahan itu terus melembaga karena kita selalu abai pada esensi korektif fakta perjalanan demokratisasi itu. Pengabaian atas esensi korektif fakta perjalanan demokratisasi karena oleh elit politik kerap dimaknai sebagai kemunduran demokrasi.Fenomena tidak mencoblos, alias golput dalam pemilu makin meningkat.  Atau dengan kata lain tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif pasca reformasi cenderung menurun.

Di Pemilu 1999 sebesar 93,30 persen, Pemilu 2004 sebesar 84,07 persen, dan di Pemilu 2009 sebesar 70,99 persen.  Artinya, angka golput dalam pemilu menurut data tersebut mengalami kenaikan sebagai berikut: 6,70%  pada pemilu tahun 1999, 15,93% pada pemilu tahun 2004, dan 29,01 % pada pemilu tahun 2009. Tingginya angka golput tersebut tidak bisa digeneralisasi sebagai pihak yang tidak mau berpartisipasi. Ada dua problem mengapa akhirnya masyarakat tidak bisa memilih. Dalam konteks inilah kita tidak bisa serta-merta mendeclair bahwa golput merupakan salah satu penghambat dalam pesta demokrasi. Pertama golput karena subyektif problem.Problem ini merupakan faktor krusial mengapa akhirnya masyarakat menjadi golput. Subyektif problem ini terjadi karena secara teknis, politis dan ideologis masyarakat akhirnya tidak bisa/mau memilih.

Golput teknis terjadi karena pemilih terkendala secara teknis seperti keliru menandai surat suara atau tidak hadir ke TPS. Golput karena faktor politis, yaitu merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan. Sedangkan golput ideologis terjadi karena tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan adanya beberapa segolongan umat Islam yang mengharamkan demokrasi dan sekaligus mengharamkan pemilu dengan logika bahwa pemilu adalah sebagai bagian atau instrumen dari sistem demokrasi yang dibidani oleh mereka yang berfaham liberal.Kedua adalah Golput karena faktor obyektif problem.Kondisi ini terjadi karena pemilih tidak terdaftar dalam DPT akibat buruknya sistem administrasi kependudukan.Untuk beberapa kasus di Indonesia faktor ini terjadi karena kondisi kondisi geografis akibat jauhnya lokasi atau jarak pemilih ke TPS.Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilukada, ditambah dengan angka statistik makin turunnya partisipasi pemilu legislatif dan pemilu presiden, maka Dua faktor tersebut diatas pada akhirnya menyumbang tingginya persepsi publik tentang Pemilu di Indonesia selama ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun