Mohon tunggu...
Puput Jumantirawan
Puput Jumantirawan Mohon Tunggu... -

Pimpinan Umum LPM AKLaMASI

Selanjutnya

Tutup

Catatan

UU Bantuan Hukum untuk Siapa?

25 Juni 2012   12:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal mula regulasi pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia adalah pasal 250 HIR. Mengatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup, ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma. Begitu ketentuan dari pasal 250 HIR. Pada tahun 1970 lahirlah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di dalam Pasal 35, 36, dan 37 mengatur tentang bantuan hukum. Dalam perkembangannya Prof. Zeylemaker pada tahun 1940 mendirikan biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum dengan maksud memberikan nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu dan juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Perkembangan bantuan hukum mulai masuk ke dunia kampus pada tahun 1953 Prof, Ting Swan Tiong di perguruan Tjandra Naya mendirikan Biro Konsultasi Hukum . Berkat usulan Prof, Ting Swan Tiong pada sekitar tahun 1962 berdiri pula Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia.

Sedangkan pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berawal dari ide S.Tasrif tahun 1968 menurutnya bantuan hukum bagi si miskin merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian Adnan Buyung Nasution, dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum. Akhirnya Kongres mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Banyak ahli hukum memandang S.Tasrif dan Adnan Buyung Nasution adalah orang paling berjasa dalam pembentukan LBH. Hasil kongres Peradi III ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lain di seluruh Indonesia. Untuk menaungi LBH yang ada terbentuklah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Sejauh ini, dukungan finansial bagi YLBHI diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar negeri, seperti Amerika Serikat, Swedia, Belgia, Belanda, Australia dan Kanada. Untuk menyokong pendanaan bantuan hukum rakyat Indonesia seharusnya Negara bertnggungjawab, walaupun sekarang ada tapi kurang maksimal. Hal ini juga mendorong lahirnya UU Bantuan Hukum.

Regulasi yang memuat Bantuan Hukum sebenarnya sudah banyak misalnya dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, untuk tindak pidana yang dituntut hukuman lima belas tahun atau lebih dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. UU Advokat juga sudah mengatur tentang bantuan hukum, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) juga ada yang mengatur tentang bantuan hukum. Menurut Suryadi Direktur LBH Pekanbaru peraturan yang ada belum maksimal, mestinya ada aturan yang lebih khusus lagi.

Judul diatas adalah tema diskusi yang ditaja Forum Pers Mahasiswa Riau (Fopersma) untuk merespon substansi Undang- Undang Bantuan Hukum yang disahkan DPR 4 Oktober 2011. Penyusunan UU Bantuan Hukum awalnya mempunyai semangat menjawab harapan masyarakat “miskin” pencari keadilan. YLBHI berperan aktif mendorong kelahiran UU Bantuan Hukum ini. Setelah UU Bantuan Hukum disahkan walaupun baru efektif digunakan tahun 2013, beberapa lembaga merasa ada pasal-pasal yang harus di yudicia review. YLBHI menilai UU ini tidak mampu menjawab harapan masyarakat “miskin” pencari keadilan.

Alasannya, pertama Penerima bantuan hukum dirancang hanya untuk kategori miskin secara ekonomi, padahal masyarakat yang termarjinalkan secara sosial dan politik pun berhak mendapat bantuan hukum dari negara. Sebagaimana Pasal 5 ayat 2, “Hak dasar yang dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang , layanan kesehatan,layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan”. Jelas sekali pasal ini membatasi penerima bantuan hukum hanya orang-orang miskin secara ekonomi.

Kedua,berdasarkan pasal 6 ayat 2, “pemberian bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum berdasarkan UU ini”. Penyelenggara bantuan hukum tidak independen dan birokratis,lantaran penyelenggara pemberian bantuan hukum oleh Mentri Hukum dan HAM, YLBHI kawatir ini akan berpotensi terjadi abuse of power. YLBHI merekomendasikan dibentuk komisi khusus untuk menangani ini.

Alasan ketiga, YLBHI memandang Menteri sebagai penyelenggara bantuan hukum memiliki tugas melakukan intervensi langsung kepada lembaga pemberi bantuan hukum yang selama ini konsen memberi bantuan hukum kepada rakyat miskin pencari keadilan. Ini berdasarkan pasal 6 ayat 3, “Menyusun dan menetapkan standar bantuan hukum berdasarkan asas-asas pemberian bantuan hukum”

Alasan YLBHI untuk melakukan yudicial review sangat relefan, sangat sempit tanggungjawab negara ketika yang berhak mendapatkan bantuan hukum hanyalah orang miskin (miskin dalam konteks ekonomi), sementara orang-orang yang termarjinal tidak berhak mendapatkan bantuan hukum? . Melihat Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dilindungi. Seharusnya bukan hanya mereka yang dilemahkan karena persoaln ekonomi saja, tapi juga mereka yang membutuhkan bantuan hukum lantaran politik, sosial juga budaya berhak mendaptkan bantuan hukum.

Menurut Dodi Haryono dosen Fakultas Hukum Universitas Riau Ada dua alasan pemberian bantuan hukum oleh negara pertama karena kepentingan keadilan, kedua. Kalau dilihat pasal 5 ayat 2 prinsip pemberian bantuan hukum hanya mempertimbangkan tidak mampu membayar advokat sedang untuk kepentingan keadilan yang memiliki arti lebih luas tidak dipertimbangkan.Misalnya saja di Riau konflik para aktivis dengan perusahaan atau penguasa sangat tinggi. Menurut Muslim koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) terdapat 92,4 persen kasus masuk jalur hukum, sedangkan yang mampu diakses hanya 1,5 persen. Apakah ini tidak perlu mendapatkan bantuan hukum?. Keadaan ini berbeda dengan konsep pemberian bantuan hukum di Eropa, lebih dikedepankan kepentingan keadilan. Sesuai Pasal 47 Piagam Hak-Hak Mendasar dari Uni Eropa. Menyediakan bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan untuk “menjamin akses yang efektif terhadap keadilan”.

Mempertanyakan independensi penyelenggaraan bantuan hukum oleh Menteri Hukum dan HAM untuk saat ini wajar saja, mengingat semua hal selalu dipolitisasi. Dalam pasal 7 ayat 1 huruf (b) disebutkan menteri berwenang melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau ormas untuk memenuhi kelayakan sebagai pemberi bantuan hukum.Kewenangan yang begitu besar dimiliki Kementerian Hukum dan HAM untuk menentukan lembaga mana yang berhak sebagai pelaksana Bantuan Hukum memungkin terjadinya apa yang dikawatiran YLBHI, lembaga yang selama ini konsen mengadvokasi masyarakat bisa-bisa tidak lulus seleksi dan dianggap ilegal. Ditambah lagi pasal 8 mensyaratkan pemberi bantuan harus berbadan hukum, terakreditasi, juga memiliki kantor tetap. Alamak, terkesan komrsil dan blunder dalam bagi-bagi kue anggaran. Ini sangat mungkin menyebabkan substansi menemukan keadilan bagi mereka yang miskin, termarjinal, terlindas oleh tirani tidak terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun