Pukul sepuluh, jalan-jalan di kota masih ramai seperti kepalaku yang dipenuhi alunan gitar musisi jalanan yang menyebut-nyebut namamu dalam lirik lagunya. Mataku deretan kata yang tidak mampu dibaca oleh siapapun, bahkan bagi seorang penyair yang kehabisan huruf untuk membuat sebaris puisi. Lenganku tidak lagi selengang halaman rumah bagi bahumu yang selalu kau rebahkan di sana, persis umpama seorang gelandangan yang tidur di emperan toko dan dikejar aparat keamanan.
Pukul sebelas, barista menyajikan secangkir cerita lama. Ia lalu meninggalkan kami berdua, mungkin memberi waktu untuk bernostalgia. Mulut cangkir angkat bicara, kami saling melempar pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh detak jantung masing-masing. Sesak di dadaku dan luka di badannya semakin menganga tatkala bibir kami bertemu. Kuhirup aroma tubuhnya pelan-pelan. Di luar, deru kendaraan mulai gelisah seiring ingatan yang mulai berdatangan.
Pukul dua belas.
Mana yang lebih pahit: kopi, atau rindu yang disimpan sendiri?
Makassar, 09 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H