Abstrak:Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antar bangsa yang sangat rumit. Bangsa indonesia dituntut untuk dapat mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah penggunaan bahasa asing oleh masyarakat. fenomena bahwa bahasa asing lebih diprioritaskan oleh berbagai masyarakat, terutama oleh kalangan masyarakat kelas atas yang dari segi finansial cukup memadai. Adanya anggapan bahwa bahasa asing lebih bersifat maju dan memiliki gengsi sosial yang lebih tinggi. Dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang dengan bangga menggunakan bahasa asing di setiap kesempatan. Menjadikan bahasa asing sesuatu yang penting untuk dikuasai dan dipelajari. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai hal tersebut.
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, rasa setia, bahasa asing
Kesetiaan terhadap bahasa Indonesia adalah suatu sikap yang menunjukkan rasa bangga dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dibandingkan menggunakan bahasa asing atau kata yang bukan berasal dari bahasa Indonesia. Misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia asli atau yang sudah lebih dahulu ada bukan serapan yang berasal dari bahasa asing. Namun, dalam kenyataannya kini masyarakat pada umumnya cenderung lebih banyak memakai serapan bahasa asing dalam beberapa kata bahkan kalimat dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia asli dengan baik dan benar . Menariknya lagi, penggunaan bahasa asing tersebut supaya lebih mengena ke semua golongan masyarakat dan juga penggunaan bahasa asing dinilai lebih kreatif, efektif, dan mudah dipahami. Lemahnya rasa percaya diri penggunaan bahasa indonesia menggambarkan semakin rendahnya rasa setia masyarakat kita terhadap bahasa nasionalnya. Bahasa yang penuturnya tidak lagi setia atau ditinggal penuturnya akan dengan sendirinya mati. Padahal kematian bahasa merupakan kehilangan budaya yang tidak ternilai harganya.
Untuk itu, penyakit memudarnya kebanggaan serta kesetiaan berbahasa Indonesia terletak pada hilangnya pedoman berbahasa yang baik namun tetap mengadopsi aspek kreativitas masyarakat. Pusat bahasa sebagai instansi yang berwenang pada kebijakan kebahasaan, selama ini seolah mati suri sehingga belum mampu menghadirkan terobosan atas konservatifnya ejaan baku. Inilah yang kemudian menyebabkan kalangan pelajar sebagai generasi muda pelanjut dan penutur langsung, memilih untuk mengesampingkan Bahasa Indonesia pelajaran bahasa bagi kita sebagai bangsa yang sedang tumbuh dan berupaya mengokohkan jati dirinya agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju, kondisi di atas sangat memprihatinkan dan karenanya diperlukan kebijakan pemerintah dan dukungan seluruh masyarakat Indonesia untuk mengatasi persoalan tersebut. Jika tidak, saya khawatir bahasa Indonesia akan menjadi bahasa “asing” karena melimpahnya kosakata asing dari berbagai bahasa di seluruh dunia dan pada saat yang sama bahasa nasional akan lenyap. Saya takut jika kita tidak akan lagi mendengar orang berbahasa nasional.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang berfungsi sebagai alat komunikasi mempunyai peran sebagai penyampai informasi. Kebenaran berbahasa akan berpengaruh terhadap kebenaran informasi yang disampaikan. Berbagai fenomena yang berdampak buruk pada kebenaran berbahasa yang disesuaikan dengan kaidahnya, dalam hal ini berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar mempunyai beberapa konsekuensi logis terkait dengan pemakaiannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada kondisi tertentu, yaitu pada situasi formal penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Penggunaan bahasa seperti ini sering menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa seperti interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa asing yang tanpa disadari sering digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa yang digunakan menjadi tidak baik.
Berbahasa yang baik yang menempatkan pada kondisi tidak resmi atau pada pembicaraan santai tidak mengikat kaidah bahasa di dalamnya. Ragam berbahasa seperti ini memungkinkan munculnya gejala bahasa baik interferensi, integrasi, campur kode, alih kode maupun bahasa asing.
Sehubungan dengan semakin maraknya penggunaan bahasa asing yang digunakan oleh sebagian masyarakat modern, perlu adanya tindakan dari semua pihak yang peduli terhadap eksistensi bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan.
Sejarawan Swiss terkemuka, Hebert Luethy, sebagaimana dikutip Benedict Anderson (1990) bahwa “sebagai bahasa, bahasa Indonesia suka meminjam istilah asing apa saja dengan begitu melimpah, sehingga bahasa ini merupakan bahasa “sintesis”. Sikap sinis lain disampaikan oleh sejarawan Perancis , Jerome Samuel.
Kritik Luethy dan Jerome Samuel tidak berlebihan. Sebab, memang demikian keadaaanya. Sebagian orang berpendapat banyaknya istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia bisa dimengerti sebab bahasa Indonesia tergolong muda dan tidak memiliki kosakata yang cukup untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan akibat kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Malah menurut Pramoedya Ananta Toer bahasa Indonesia miskin dan belang-bonteng dengan mengambil kata-kata semua bangsa di seluruh dunia, sehingga bahasa Indonesia menjadi sangat terbuka.
Yang lain berpendapat bahwa mengadopsi istilah asing merupakan salah satu cara terbaik dan cepat untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia yang jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan bahasa-bahasa lain yang sudah mapan, seperti bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Perancis, dan sebagainya. Jadi sah-sah saja. Malah menurut P Ari Subagyo dilihat dari derajatnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sedang dipromosikan. Ia adalah bahasa yang belum jadi, dan karena itu diperlukan promosi dan kesetiaan yang besar dari pemiliknya.
Tetapi persoalannya adalah bukan adopsi istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, melainkan penggunaan istilah asing (Inggris) secara utuh di hotel dan tempat-tempat hiburan untuk menyambut tamu yang akan merayakan malam pergantian tahun. Misalnya, di Hotel Grand Melia, Jakarta terpampang tulisan “Romantic Red Flair”, di Hotel Borobudur di Bogor Café terpampang tema “Special New Year’s Eve Buffet”. Tempat hiburan Ancol Taman Impian memasang tema “Explore Your Imagination”. Hotel JW Marriot Surabaya memasang tema “The Spirit of Colours”, sedangkan Sheraton Surabaya Hotel & Towers mengusung tema “Celebrations are Better When Shared”.
Penggunaan bahasa asing sebenarnya tidak saja di hotel dan tempat-tempat hiburan, tetapi juga di nama rubrik beberapa media cetak, seperti ‘Main Issue’, ‘Woman’s Secret’, ‘Man of the Month’, ‘Life Style’ dan sebagainya. Dengan demikian, konstruksi budaya yang dibangun media, disadari atau tidak, semakin memarginalkan posisi bahasa Indonesia. Padahal, seharusnya media massa memiliki peran sangat penting untuk memberikan contoh pengokohan jati diri bangsa melalui penggunaan bahasa nasional dan mengangkat kearifan lokal dengan tetap menjaga kelestarian bahasa nasional.
Bagi pengkaji bahasa, alasan penyelenggara hiburan dalam menggunakan bahasa Inggris bukan persoalan sederhana. Setidaknya menyiratkan beberapa hal. Pertama, kurang percaya diri orang Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Kedua, dengan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, orang Indonesia merasa lebih keren. Tampaknya berbahasa tidak cukup hanya dengan maksud untuk menyampaikan pesan. Ada faktor lain mengapa orang milih bahasa tertentu dalam berkomunikasi. Salah satunya adalah faktor gengsi atau agar dianggap lebih keren.
Ketiga, dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dalam berbagai aktivitas, tanpa disadari orang Indonesia lebih suka memromosikan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Sejak akhir 1990-an Indonesia menjadi lahan subur promosi bahasa asing. Kita bisa melihat menjamurnya lembaga-lembaga kursus bahasa asing di berbagai tempat, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil di seluruh pelosok negeri, sehingga seolah-olah bahasa Indonesia tidak dianggap bahasa penting oleh pemiliknya sendiri. Malah ada kesan bahasa Indonesia “termarginalkan”.
Keempat, bahasa Indonesia terkena gempuran globalisasi, sehingga semakin tereduksinya nilai-nilai lokal dalam masyarakat. Indikasinya adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa nasional dan menurunnya rasa bangga berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat.
Keterbukaan bahasa Indonesia yang diakui oleh para pakar sebagai asal kelahirannya, justru kini mengalami perubahan makna. Kepungan bahasa-bahasa dari berbagai negara dan daerah lokal Indonesia justru dimaknai sebagai proses perusakan bahasa. Padahal, Bahasa Indonesia lahir memang melalui banyaknya impor kata-kata baru. Melihat proses penerimaan bangsa Australia untuk mempelajari Bahasa Indonesia di negerinya, tentu akan menjadi momentum perkembangan baru bahasa Indonesia dalam proses adopsi bahasa asing.
Bahasa Indonesia dalam proses kelahirannya merupakan bahasa yang terbuka dan terlahir melalui proses kreatif. Secara aklamasi bahasa tersebut berasal dari bahasa Melayu yang telah berproses melalui interaksi global di zaman kemajuan pelayaran abad pertengahan. Setidaknya dapat disebut bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sengaja dilahirkan dari proses kreatif masyarakatnya yang telah intens menerima pergaulan global antarnegara dengan bahasa pengantar yang diperoleh dalam lingkup Internasional.
Globalisasi merupakan momentum untuk pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka dan adaptif terhadap bahasa lain, bukan sebagai kekalahan bahasa Indonesia dalam interaksi sosial. Proses kreatif untuk melanjutkan gerakan impor kata mestinya bukan diartikan sebagai proses pembusukan terhadap bahasa Indonesia sebagai bagian dari jati diri bangsa. Hal itu sangat tidak masuk akal, tak lain karena mengandung cacat kenyataan berupa pengingkaran terhadap proses kelahiran bahasa Indonesia sebagai identitas bahasa baru yang dimulai dengan impor bahasa.
Tetapi itulah kenyataan pengingkaran bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka karena terpengaruhi oleh kesadaran tidak kreatifnya pengawal kebijakan kebahasaan. Kini, ketika usia kelahiran bahasa Indonesia sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan sudah mencapai 81 tahun, refleksi kreativitas justru terpasung dengan “menuduh” bahasa asing sebagai virus atas sakitnya Bahasa Indonesia. Dan parahnya, penentu politik kebijakan kebahasaan yang diperankan oleh Pusat Bahasa hanya menghadirkan solusi pragmatis berupa lahirnya UU kebahasaan, yang digabung dengan aturan penggunaan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan.
Penggunaan bahasa asing oleh masyarakat luas menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa pada saat sekarang dan masa yang akan datang. Dewasa ini, masyarakat sudah banyak yang memakai bahasa asing dan parahnya lagi generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari pemakaian bahasa asing ini. Bahkan generasi muda inilah yang banyak memakai bahasa asing daripada pemakaian bahasa Indonesia. Untuk menghindari pemakaian bahasa asing yang sangat luas di masyarakat, seharusnya kita menanamkan kecintaan dalam diri generasi bangsa terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dalam pergaulan internasional, bahasa Indonesia mewujudkan identitas bangsa Indonesia.
Seiring dengan munculnya bahasa asing dalam masyarakat, banyak sekali dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh bahasa asing terhadap perkembangan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa diantaranya sebagai berikut:
1)Eksistensi Bahasa Indonesia Terancam Terpinggirkan Oleh Bahasa Asing
Berbahasa sangat erat kaitannya dengan budaya sebuah generasi. Kalau generasi negeri ini kian tenggelam dalam pembususkan bahasa Indonesia yang lebih dalam, mungkin bahasa Indonesia akan semakin sempoyongan dalam memanggul bebannya sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Dalam kondisi demikian, diperlukan pembinaan dan pemupukan sejak dini kepada generasi muda agar mereka tidak mengikuti pembusukan itu. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa tercermin pada perilaku masyarakat yang mulai meninggalkan bahasa Indonesia dan terbiasa menggunakan bahasa asing. Saat ini jelas di masyarakat sudah banyak adanya penggunaan bahasa asing dan hal ini diperparah lagi dengan generasi muda Indonesia juga tidak terlepas dari pemakaian bahasa asing.
2)Menurunnya Derajat Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia masih sangat muda usianya dibandingkan dengan bahasa lainya, tidak mengherankan apabila dalam sejarah pertumbuhannya, perkembangan bahasa asing yang lebih maju. Seperti kita ketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikuasai oleh bangsa-bangsa barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia. Indonesia sebagai Negara yang baru berkembang tidak mustahil menerima pengaruh dari Negara asing. Kemudian masuklah ke dalam bahasa Indonesia istilah-istilah kata asing karena memang makna yang dimaksud oleh kata-kata asing tersebut belum ada dalam bahasa Indonesia. Sesuai sifatnya sebagai bahasa represif, sangat membuka kesempatan untuk itu.
Melihat kondisi seperti ini, timbullah beberapa anggapan yang tidak baik. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang miskin, tidak mampu mendukung ilmu pengetahuan yang modern. Pada pihak lain muncul sikap mengagung-agungkan bahasa inggris dan bahasa asing lainnya. Dengan demikian timbul anggapan mampu berbahasa inggris atau bahasa asing merupakan ukuran derajat seseorang. Akhirnya motivasi untuk belajar menguasai bahasa asing lebih tinggi daripada belajar dan menguasai bahasa sendiri. Kenyataan adanya efek sosial yang lebih baik bagi orang yang mampu berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia, hal ini lebih menururnkan lagi derajat bahasa Indonesia di mata orang awam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H