Mohon tunggu...
Pungky Prayitno
Pungky Prayitno Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bentuk lain ultraman

Selanjutnya

Tutup

Puisi

#23: Prosa Ganja

13 Februari 2011   09:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:38 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

aku sumingrah. duaratus enam puluh ribu. huaaah. akhirnya satu am bisa kukantongi hari ini. semoga cukup untuk bersenang-senang hingga esok lusa. setidaknya menahan rasa ingin sampai tiga hari. dompet ibu masih tebal. bisa kucuri lagi beberapa rupiah setelah tiga hari nanti. ini dulu. cukup. kotak kaca raksasa sudah di depan mata. senyumku mengembang. senang. abang dengan jas putih berambut gimbal menyambutku datang. setelah tujuh hari mencari alasan dulu untuk dicuri, dua ratus enam puluh ribuku bertransaksi hari ini. datang. tukar. pegang. simpan. pulang. barang sudah ditangan, bersiaplah senang setidaknya sampai dua ratus enam puluh ribu genap lagi mengisi kantong. ini namanya menghibur diri dalam hati. iya, barang ditangan, tapi perjalanan pulang tidak dekat. panas matahari sangat sanggup membuat perjalanan ini teramat-mungkin ditambah sangat- tidak menyenangkan! bernyanyi pelan. menghilangkan segala kesuh kesah tentang si barang yang kini tinggal melakoni tugasnya sebagai pembuat senang. mengalihkan perhatian dari ketidaknyamanan atas panas matahari yang semakin menusuk setiap inci lapisan kulit. perih! nyanyiku semakin sumbang. keluhan dalam perjalanan ini akhirnya tergumamkan. sendirian. ah. dulu! dulu sekali! bapa adalah junkie kelas teri. hobinya melinting dan memamerkan pada anaknya yang laki-laki, tentang hidup yang harus begitu begini. sambil mengoceh, tangannya terus melinting. membakar. girang. lalu melayang dan hilang. itu dulu. dulu sekali. waktu setiap hari aku mencicipi lintingan bapa sesuka hati. ikut hilang dan terbang bersama fantasi kesadaran. waktu si pembuat senang adalah masih rumput yang dikeringkan. dua puluh ribu. waktu itu tidak perlu dikalikan tiga belas untuk mendapatkan satu am. rumput yang dikeringkan tidak mahal. tidak dibutuhkan aneka rupa tekhnologi dan temuan-temuan masa kini untuk membuat dia berbentuk dan berasa begitu. dua puluh ribu tanpa dikali tiga belas, dia tetap membuat senang. sama. seperti hari ini, besok, dan mungkin lusa nanti. dulu. itu dulu. waktu rumput ini masih punya tempat di bumi. masih disisakan tanah untuk tetap tumbuh meninggi. masih punya alasan untuk terus menjadi tumbuhan. pembuat senang. sumber kebahagiaan. ladang uang. sayang, bapa bilang yang begitu tidak akan mungkin pernah terulang. katanya, manusia terlanjur menjadikan senang sebagai tuhan. seperti mereka yang merusak bumi tanpa belas kasihan. seperti kalian yang terus menggerus lingkungan tanpa memikirkan. dan seperti aku yang menyadarkan hidup pada ganja buatan. ah. yang penting senang. --------- [caption id="attachment_89785" align="aligncenter" width="450" caption="shutterstock.com"][/caption] Sudah beberapa hari Acul kerap menghubungiku. Dia sakau, aku paham. Aku sudah melakukan kontrol berkali - kali. Intensitas cahaya, kimiawi, kelembapan udara, air, dan suhu. Mungkin ini Cannabis Sativa yang terbaik yang pernah ditanam di laboratorium ini. Atau bahkan di dunia. Hari Rabu, aku janji dengannya. Di sini. Di laboratorium ini. Polisi? Tidak pernah ada yang mencurigai laboratorium biologi rekayasa genetika sebagai media transaksi. Tidak pernah ada. Lagipula laboratorium ini milik pemerintah untuk menjaga eksistensi tanaman yang hampir punah. Aku yakin harganya layak. Tanaman itu sudah mendapat perlakuan khusus. Bekerja pada negara hanya membuatku semakin miskin. Pegawai rendahan sepertiku tidak bakal kaya. Kecuali dengan cara seperti ini. Menjual Cannabis. Ketika semakin langka, harga akan semakin mahal. Memang benar hukum supply dan demand. “Ini tanaman untuk proyek apa? Sengaja sinar ultravioletnya lo matiin?” “Ohh itu untuk obat psikologis, anti depressant. Depkes yang minta, paling buat jadi bahan prozac” “Ya jangan ditaro di jalan dong, ini kan ngalangin orang mau lewat” “Oh sori. Soalnya sebentar lagi akan diambil sampelnya” Syukurlah Andri tidak sadar aku berbohong. Ganja semakin sedikit, wajar kalau dia tidak pernah melihat sebelumnya. Suhu bumi yang semakin gila membuat penghuninya juga gila. Dia datang. Uangnya sudah berpindah saldo. Setengah untuk reproduksi, setengah untuk rumah bordil. Aku senang. Aku sumringah. ------------ [caption id="attachment_89784" align="aligncenter" width="450" caption="tanya bagaimana (shutterstock.com)"]

12975872591940830590
12975872591940830590
[/caption]

Bahkan, untuk yang seperti ganjapun, kita tidak lagi menyediakan sisa. lalu bagaimana dengan ekosistem lainnya?

tanya bagaimana.

-selesai-

Purwokerto-Jogja, 13 february 2011

Pungky dan Fikri anggurmerah.

Ayo! Lakukan sendiri bukti cintamu pada bumi!

***Am : paket ukuran kecil untuk ganja. Junkie : pecandu ganja

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun