Pedih sekali rasanya membaca berita tentang aborsi yang dilakukan sepasang muda mudi di Cilacap. Betapa tanggung jawab menjadi ketakutan tersendiri bagi mereka yang terlanjur melakukan hubungan terlarang berakhir kehamilan tanpa pernikahan. Tentu saja ini bukan kasus yang pertama, beberapa bulan lalu halaman-halaman surat kabar sempat juga memberitakan pembunuhan bayi yang dilakukan ibu dan kakeknya sendiri. Mundur beberapa bulan lagi, sederet kasus aborsi dan pembunuhan bayi oleh orang tua sendiri menjadi pemandangan cukup sering di koran. Pembunuhan yang bagi banyak perempuan apalagi ibu, sanggup membuat hati tersayat-sayat.
Betapa tidak, yang dibunuh adalah bayi bahkan janin yang sama sekali belum mengerti apa-apa. Sebabnya, tentu sudah menjadi rahasia umum. Pasangan muda yang nekat melakukan hubungan suami istri tanpa ikatan sah pernikahan, tak pernah siap dengan tanggung jawab besar yang menunggu di depan mata: kehamilan. Kebebasan pergaulan tentu saja tersangka nomor satu. Kesusahpayahan orang tua mengontrol anak usia remaja di tengah kegilaan jaman juga kerap menjadi alasan paling wahid. Sudah tak bisa kita menyalahkan siapa-siapa. Jaman terlanjur edan, anak-anak terlanjur terjerembab pada pergaulan yang luar biasa sulit dikendalikan.
Sudah bukan saatnya saling menyalahkan
Lalu apakah semuanya kesalahan anak-anak dan pergaulannya? Bisa iya, namun lebih banyak tidak. Karena bagaimanapun anak-anak dan perkembangannya menjadi remaja lalu dewasa, adalah hasil didik dan asuh orang tua. Kesiapan para remaja menuju usia siap dan ingin secara biologis, juga hasil tangan kasih orang tua dan keluarga. Karenanya, penting sekali membangun komunikasi sejak dini di rumah. Membiasakan anak membicarakan segala yang ia alami dan rasakan, termasuk pengalaman seksualitas. Orang tua harus benar-benar sigap, kapan anak mulai mimpi basah, kapan anak mulai penasaran dengan seks, kapan anak mulai tertarik dengan lawan jenis, dan kapan anak sudah memasuki usia ingin mengalami perilaku seks.
Dan apakah kehamilan diluar nikah yang banyak terjadi menjadi kesalahan orang tua? Lagi lagi jawabannya iya, namun lebih banyak tidak. Karena tidak bisa ditutupi bahwa kemampuan orang tua menjaga anak dan remaja dari pergaulan jaman sekarang, berada di titik sulit yang teramat sangat. Pengetahuan dan pengalaman seksual tidak hanya bisa di dapatkan di buku-buku pelajaran atau majalah-majalah dewasa, tapi lebih sederhana, anak dan remaja jaman sekarang dihadapkan pada media-media yang boleh dibilang kebablasan. Televisi, internet, sosial media seperti facebook dan twitter, atau penyaji video gratisan seperti youtube, terang-terangan menyodorkan banyak materi yang sangat mampu memancing rasa penasaran anak maupun remaja terhadap seks.
Hal yang bisa dilakukan sekarang adalah kerja sama banyak pihak untuk membantu anak-anak dan remaja mendapatkan pengetahuan seks sesuai porsinya. Pendidikan seks sejak dini sudah tidak bisa lagi dianggap tabu dan jorok. Bertahan untuk tidak memberikan anak pendidikan seks adalah merelakan mereka mendapatkan pengetahuan ‘asal-asalan’ dari luar.
Berhenti Menghakimi
Kebanyakan, pelaku aborsi dan pembunuhan terhadap bayi adalah mereka yang takut akan tanggung jawab. Takut akan resiko dikucilkan masyarakat atau lebih parah, diusir dari keluarga. Nama baik dan martabat orang sekitar menjadi taruhan besar. Belum lagi tanggung jawab menjadi orang tua dan berumahtangga yang betul-betul di depan mata sekalipun belum siap. Jalan pintas menjadi pilihan. Bayi dalam kandungan atau yang baru dilahirkan, menjadi korban untuk segera dihilangkan agar tak sama sekali ada jejak.
Kalau ada berita soal aborsi atau pembunuhan, komentar yang paling sering keluar dari orang adalah bahwa pelaku sudah tidak waras. Jahat. Tega. Anak sendiri kok dibunuh! Mau enaknya saja, saat sudah diberikan anak, malah lari dari tanggung jawab. Ujung-ujungnya masyarakat hanya menuntut pelaku segera diberikan hukuman setimpal. Akhir-akhirnya masyarakat hanya memaksa pihak berwenang memberikan ganjaran yang bikin kapok.
Pernahkah sedikit saja kita, sebagai masyarakat, mengerti bahwa mereka yang melakukan aborsi atau pembunuhan bayi sebenarnya adalah korban? Korban keganasan jaman yang belum pernah disentuhkan dengan pendidikan seks atau semacamnya. Korban dari kebablasan media yang tidak pernah dipedulikan kedua orang tua. Korban atas ketidakpedulian masyarakat tentang rasa penasaran soal seks yang terus ditutupi karena dianggap tabu dan jorok. Bisakah kita sedikit peduli? Sedikit belajar bahwa menghakimi dan mengucilkan sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Belajar bahwa menjadi masyarakat, adalah berusaha bijak terhadap yang baik maupun yang jahat.
Daripada terus menghakimi dan memaki, mengapa tidak kita (sebagai masyarakat) yang intropeksi? Sudahkah kita peduli dengan media dan medio yang mereka konsumsi? Sudahkah kita mau mengajak mereka untuk mengerti bahwa seks usia dini beresiko besar yang akan sulit mereka emban? Sudahkah kita sendiri membatasi ‘konsumsi’ kita sendiri? Agar peredaran tidak semakin besar dan gamblang.
Belum lagi resiko post natal depression bagi perempuan yang baru melahirkan. Serangan depresi pasca persalinan yang mudah menyerang ibu baru yang memiliki tekanan mental luar biasa. Jangankan membunuh bayinya, dirinya sendiripun sangat mudah mereka habisi. Saat-saat mereka butuh tempat berbagi dan bersandar diri, adakah kita peduli?
Suatu pagi, seorang tukang bubur pernah berkata. Dia bilang, buburnya semakin laris karena bubur ayam sedang jadi pepatah baru. Pepatahnya begini: Kalau nasi sudah jadi bubur, daripada terus disesali, bukankah lebih baik ditambah kuah kuning, suwiran ayam, muncang dan bawang goreng. Bubur ayam tidak kalah nikmat dengan nasi putih, kan?
Semoga bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H