Mohon tunggu...
pungkaspung
pungkaspung Mohon Tunggu... Buruh - Hanya buruh yang butuh nulis

Hanya peminum kopi tanpa disertai senja, karena dominasi kopi dan senja akan membuat saya tidak kerja.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tiket Mahal, Apa yang Salah?

14 Juni 2019   00:00 Diperbarui: 14 Juni 2019   13:09 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Isu surutnya peminat dunia penerbangan sampai saat ini masih ramai digunjing para pengamat. Terlebih lagi semenjak harga naik saat natal kemarin dan tak kunjung turun tapi laba yang dicetak masih belum dapat menutup akumulasi kerugian pada tahun lalu. Bila para kompasianer lupa, dulu saat nilai dolar naik beberapa perusahaan penerbangan tetap nekat untuk mematok harga rendah. Ujungnya rugi pun menggunung.

Sampai laporan tahun 2018 laba bersih sebelum pajak garuda indonesia sebesar $19 juta. Setelah sebelumnya terkena rugi dampak melambungnya dolar sebesar $158 juta. Nah dari hitungan singkat ini dapat diketahui mengapa sampai hari ini maskapai BUMN tersebut masih meringkuk di bawah bayang-bayang kerugian. Meskipun tidak dapat dipungkiri kita sebagai masyarakat juga terasa terpukul akibat harga tiket yang mahal.

Saat ini pemerintah pun juga dibuat kalang kabut dengan harga tiket yang mahal. Sejumlah destinasi wisata mulai sepi, pun juga sejumlah usaha yang bersumber dari penumpang bandara juga terkena efek domino. Sejumlah kritik terhadap pemerintah khususnya kementerian perhubungan mulai dilontarkan. Kekesalan juga memuncak saat waktunya mudik tiket tak kunjung turun pula.

Seakan kita diantar dalam dilematika harga tiket. Harga tiket dianggap tidak adil dari sisi maskapai sebagai penjual juga dari sisi masyarakat sebagai pembeli. Lalu kita sama-sama bingung untuk mencari win-win solution. Bagaimana solusi singkat agar tiket aman di kantong dan pihak maskapai tidak melulu merugi dan berujung gulung tikar.

Sepertinya yang salah adalah settingan harga yang dipajang oleh maskapai. Dulu saya masih ingat saat bekerja di Balikpapan sekitar tahun 2015. Pesan tiket hari ini dan besok pasti beda harga, alhasil saat naik pesawat semua penumpang pasti berbeda-beda harganya. Tidak seperti sekarang, pembelian tiket H-1 dan H-7 harganya relatif sama. Strategi ini sepertinya akan dapat mensubsidi silang.

Selain kebijakan satu harga sepertinya pemerintah juga harus mempunyai stimulus untuk membuat investasi di bidang penerbangan ini menarik. Bila banyak maskapai penerbangan pasti persaingan akan semakin sehat. Ditambah bila semakin banyak maskapai pasti ada inovasi-inovasi untuk bersaing, seperti adanya maskapai yang khusus menangani penerbangan perintis misalnya. Jadi pemerintah tidak hanya melakukan setting pada tarif batas atas dan bawah yang sepertinya masih belum efektif.

Atau bahkan mengundang maskapai penerbangan asing untuk ikut bersaing di Indonesia. Seperti yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan pemerintah. Sepertinya strategi ini juga akan efektif untuk solusi, tapi sebaiknya ada persyaratan khusus untuk penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Karena kalau tidak pasti mereka akan mengambil trayek penerbangan yang ramai saja. Ujungnya tetap penerbangan ke berbagai daerah seperti Maluku dan papua tetap saja mahal.

Sebaiknya dalam hal penyediaan infrastruktur pemerintah juga menganggarkan subsidi untuk penerbangan pendek dengan pesawat kecil antar kabupaten yang dikatakan sepi. Seperti contohnya di Kalimantan, Maluku, dan Papua. Struktur geografis yang tidak memungkinkan pembangunan infrastruktur jalan raya, sebaiknya dialihkan untuk infrastruktur moda lain, seperti penerbangan misalnya. Sebatas untuk mewakili pemerataan ekonomi yang berlandaskan keadilan, saya rasa hal ini dapat dilakukan.

Karena indonesia tidak hanya pulau jawa, yang memiliki ragam transportasi dan fasilitas yang disediakan pemerintah. Seperti di Maluku, NTB, dan NTT. Pasti akomodasi yang sangat memungkinkan untuk dipakai saat darurat hanya pesawat. Tidak bisa melakukan justifikasi "bila pesawat mahal bisa naik kendaraan pribadi". Mungkin berbagai opsi untuk negara kepulauan ini dapat dipilih. Semoga nantinya tiket akan segera turun, agar opsi liburan ke Maladewa tidak menggeser destinasi seperti Raja Ampat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun