Membaca isu radikalisme saat ini butuh kehati-hatian. Karena isu radikalisme tidak lagi sebatas tentang paham yang bersifat radic atau mendasar dan asasi. Radikalisme dikembangkan sebagai paham yang membenarkan tindak kekerasan termasuk sebagai radikalisme dan dibelokan sebagai cikal-bakal lahirnya aksi-aksi terorisme. Isu radikalisme yang sedang dipopulerkan oleh pemerintahan Joko Widodo atau yang dikenal dengan panggilan Jokowi saat ini, bukan dengan memberikan penjelasan tentang pendefinisian tentang radikalisme yang tepat, namun dominan menciptakan tuduhan.
Mencermati isu radikalisme di Indonesia saat ini, penulis berasumsi bahwa isu radikalisme adalah produk "diiklankan" oleh pemerintahan Jokowi. Tentu sebagaimana iklan pada umumnya, iklan radikaalisme sedang menyasar pasar domestik dan internasional. Targetnya adalah bersifat ideologis, yaitu; pertama, isu radikalisme telah dikembangkan sedemikian rupa dengan melewati batas-batas terminologi radikalisme pada umumnya. Perkembangan pendefinisian radikalisme cenderung mengalami proses pengaburan makna radikalisme. Hal ini merupakan pesan yang ditujukan kepada dunia internasional sebagai pelopor gerakan liberalisme dengan fitur bawaannya adalah sekulerisme. Kedua, isu radikalisme telah menjadi perisai kekuasaan yang mengalami kegagalan dalam memenuhi janji-janji politik. Isu radikalisme dijadikan sebagai alat perekat kepentingan pragmatisme pemerintahan yang berkolaborasi dengan liberalisme-kapitalisme dan pada akhirnya adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara sekulerisme.
Pada poin pertama, mengenai isu radikalisme sebagai pesan yang ditujukan pada komunitas liberalisme-kapitalisme. Isu radikalisme merupakan penegasan dan komitmen pemerintahan Jokowi tentang orientasi pemerintahan periode kedua ini, yang disampaikan kepada dunia luar, tentang arah kebijakan pemerintahan Jokowi.
Jokowi mendukung agenda liberalisme dengan membuka ruang seluas-luasnya pada agenda kapitalisme melalui kedok penanaman modal asing bernama investasi dan hutang dengan tujuan mewujudkan negara Indonesia sebagai negara sekuler, sebagai persayaratan liberalisme. Maka isu radikalisme secara terang benderang dapat ditemukan pada serpihan-serpihan agenda kepentingan liberalisme dan pada tingkat tertentu bertujuan pada program sekulerisme di Indonesia.
Paham sekuler yang merupakan anak kandung dari liberalisme, dengan tujuan pemisahan agama (baca: Islam dengan negara). Karena Islam telah diposisikan sebagai agama yang mengahalangi liberalisme, sebagaimana tesis Samuel P. Huntingthon dalam The Clash of Civilizations (1996), bahwa identitas budaya dan agama menjadi sumber konflik utama di dunia era pasca perang dingin. Dengan meminjam perspektif Huntingthon tersebut, maka identitas agama Islami dianggap sebagai ancaman potensial dalam perkembangan liberalisme dan mengabaikan komunisme sebagai ancaman politik global.
Serpihan-serpihan agenda liberalisme dapat ditemukan secara terang-terangan melalui provokasi pemerintahan Jokowi dengan membenturkan Pancasila dengan Islam. Isu radikalisme dibuat dengan menciptkan opini sesat tentang ketidakcocokan antara Pancasila dengan Islam, melalui cara membangun stigmatisasi atas siimbol-simbol Islam sebagai kategori radikalisme. Narasi pemerintahan Jokowi pada periode kedua, lebih menonjol adalah menggunakan narasi radikalisme dengan mengarahkan tuduhan kepada kelompok Islam yang aktivitasnya pada politik (negara). Islam politik dilabelkan kepada mereka yang menjadikan pendukung gerakan formalisme dan syimbolisme Islam pada negara dengan tuduhan sebagai Islam radikal. Hal ini sebagaimana diungkapkan Oliver Roy dalam bukunya Gagalnya Islam Politik dengan menggunakan terminologi Islam politik sebagai Islamisme.
Pada Poin kedua, penggunaan isu radikalisme oleh pemerintahan Jokowi setidaknya dalam jangka pendek dapat mengalihkan isu kegagalan pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan janji-janji politik. Kegagalan pemenuhan janji-janji Pilpres tersebut, dimanipulatif oleh pemerintahan Jokowi dan tentu didukung oleh agen-agen liberalisme yang berwatak sekulerisme sedemikian rupa, dengan cara memprovokasi isu radikalisme oleh pemerintahan Jokowi. Maka dengan demikian, terlihat secara jelas bahwa isu radikalisme, telah dijadikan sebagai perisai atas kegagalan pemerintahan Jokowi dalam merealisasikan apa yang telah menjadi janji-janji politik pada periode pertama 2014 - 2019 dan berpotensi mengalami kegagalan pada periode kedua tahun 2019-2024.
Mencermati kedua poin di atas, pesan yang ingin disampaikan penulis adalah bahwa isu radikalisme tanpa memperjelas pendefinisian radikalisme, menggambarkan orientasi kekuasaan lebih dominan, dari pada menyelesaikan persoalan radikalisme. Agenda sekulerisasi dan pelanggengan kekuasaan, terlihat secara jelas melalui pernyataan para pendukung Presiden Jokowi. Mereka tanpa malu-malu berbicara tentang penambahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Meskipun penambahan masa jabatan Presiden masih sebatas isu-isu yang belum mengental menjadi agenda politik Jokowi yang signifikan, tetapi wacana ini perlu mendapatkan atensi khusus. Karena isu tersebut bisa jadi sebagai test the water dalam rangka mengukur respon masyarakat dan tentu mempunyai agenda tersembunyi dibalik wacana tiga periode tersebut. Meskipun dalam perkembangannya, ide tiga periode telah dibantah sendiri oleh Jokowi melalui akun twitter pribadinya pada tanggal 2 Desember 2019.
Pelanggengan kekuasaan dan Jokowi ingin memastikan program sekulerisasi dapat diwujudkan menjadi ideologi baru bangsa dengan cara memanfaatkan ideologi Pancasila. Pemanfaatan tersebut, dapat ditemukan dalam berbagai kebijakan strategis pemerintahan Jokowi melalui penciptaan narasi-narasi tentang bahaya radikalisme. Dari sisi ini, isu radikalisme dijadikan sebagai "Jalur Tol" menuju sekulerisasi di Indonesia. Karena pada sisi lain, keberadaan Islamisme oleh negara dijadikan sebagai hambatan terbesar dan menjadi penghalang utama dalam perkembangan liberalisme dengan memproduksi sekulerisme. Ideologi pancasila sebagai ideologi negara, oleh penguasa yang berwatak liberalisme-kapitalis, Pancasila telah dijadikan interior untuk memperindah ruang-ruang kerja pemerintahan tanpa ada usaha serius dalam mengimlementasikannya di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Eksistensi Ideologi Pancasila
Dengan posisi ideologi pancasila seperti yang diuraikan di atas, maka satu-satunya yang dianggap sebagai penghalang dalam penguasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam perspektif kaum liberalisme-sekulerisme yang ada dalam tubuh pemerintahan Jokowi, penghalang utama sekulerisasi adalah kelompok islamisme. Gagasan sekulerisme ini, sempat dilontarkan secara terbuka oleh Presiden Jokowi, dengan menyatakan bahwa agar memisahkan agama dan politik. Pernyataan tersebut disampaikan pada kunjungannya di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada hari Jumat tanggal 24 bulan 03 tahun 2017. Presiden Jokowi berpendapat,bahwa seharusnya dihindarkan dengan tidak mencampuradukkan politik dan agama.
Lebih jauh Presiden Jokowi mengungkapkan, bahwa "...agama dan politik dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik". https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39408231. Dari pandangan Presiden Jokowi tersebut, maka gagasan islamisme yang bercirikan formalisasi Islaam ke dalam negara, dituduh sebagai kelompok radikal (baca: Islam Radikal). Penciptaan stigmatisasi radikalisme oleh negara, dengan mengemas isu bahaya radikalisme, maka negara dan dalam hal ini pemerintahan Jokowi yang didukung kaum liberalisme-kapitalisme global sedang melakukan sebuah agenda sekulerisasi di Indonesia.
Sekulerisasi telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini, meskipun masih kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi, masih tetap menggunakan bungkusan ideologi Pancasila. Namun gagasan sekulerisasi melalui pola pemisahan agama dengan negara, dengan menciptakan "hantu-hantu" tentang bahaya radikalisme Islam dengan membuat ciri-ciri yang mengarah pada Islam, terus dilakukan. Islamisme sebagaimana pandangan Roy, bahwa ciri islamisme adalah penggunaan simbol-simbol Islam dalam aktivitas politik. Maka Jenggot, celana Cingkrang, Cadar dan polisi diberi tugas baru untuk mengawasi mesjid-mesjid, sebagai bagian dari program baru pemerintahan Jokowi periode kedua ini.
Pada konteks seperti yang dijelaskan di atas, eksistensi Pancasila tidak lebih sebagai pembenaran oleh kekuasaan yang sedang melakukan agenda sekulerisasi dengan cara membenturkan Pancasila dengan umat Islam. Pembenturan ini dapat ditemukan melalui pengaitan atribut dan simbol-simbol Islam dengan membuat stigma negatif, bahwa penggunaan simbol-simbol Islam sebagai Islam radikal. Dari sinilah negara (pemerintah) telah terjerumus dan tunduk pada kepentingan sekulerisasi yang hadir dengan mengatasnamakan ideologi Pancasila. Tujuannya adalah memberantas radikalisme. Namun sampai saat ini, pendifinisian tentang radikalisme belum memiliki kejelasan, sehingga kesan yang muncul dan ditampilakan pada agenda deradikalisasi adalah deislamisasi.
Program sekulerisasi yang didukung oleh pemerintahan Jokowi adalah dengan melakukan pemisahan secara total antara Islam sebagai agama dengan pemerintah (negara) dan inilah yang disebut sebagai sekulerisme. Islam Radikal telah dijadikan musuh bersama oleh pemerintah dengan mengatasnamakan Pancasila dan disokong oleh kaum liberal dalam mewujudkan sekulerisasi di Indonesia.
(Wallahuallam bishawab)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H